Pajak Tulang Punggung Ekonomi Kapitalis, Lagi Lagi Masyarakat Jadi Korban



Oleh : Venti Budhi Hartanti, S.Pd.I

Baru-baru ini pemerintah akan berencana mengenakan PPN pada bahan pangan, biaya melahirkan dan pendidikan. Ini menegaskan pajak merupakan tulang punggung ekonomi kapitalis. Tentu saja kebijakkan ini sangatlah zalim.

 Bagaimana tidak, bahan pangan seperti bawang-bawang dan rempah-rempah yang merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat tidak luput dari pajak. Belum lagi biaya persalinan dan pendidikan. Pada saat yang sama beredar pula berita rencana menaikkan PPN hingga 12%. Mereka menegaskan bahwa kebijakkan ini dianggap efektif demi memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dalam akun resmi@ditjenpajakri (12/6/2021) dijelaskan bahwa cara ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pajak dan mengoptimalkan pendapatan Negara. 

Aroma ketidakadilan ini dirasakan karena pemerintah malah melonggarkan pajak untuk kaum kapitalis. Ini terlihat pemerintah justru mengobral pajak pembelian mobil hinggal 0%. Alih-alih menghapus berbagai pajak selama ini dibebankan kepada rakyat, serta mencabut berbagai kebijakkan yang sudah lama memberatkan rakyat. Pemerintah justru terus kreatif menciptakan varian baru pajak untuk memeras hak milik rakyat hingga tetes terakhir keringat mereka. 

Kebijakkan ini dibuat dengan alasan menambah pendapatan Negara dalam mengatasi pandemi. Salah satunya dengan menyiapkan Rancangan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakkan (RUU KUP) yang berisi perubahan perpajakkan. Termasuk mengatur tariff PPN. Aneh kebijakan ini tidak seimbang,alasannya pajak untuk pembelian mobil mewah,tas mewah atau barang barang yang itu bukan kebutuhan pokok seluruh masyarakat justru tidak diberlakukan. 

Bahan pangan yang itu merupakan bahan pokok yang itu terbilang untuk masyarakat ekonomi kebawah justru dikenai pajak. Belum lagi biaya pendidikan dan bersalin yang juga tidak ketinggalan akan dikenai pajak. Padahal semuanya itu tanggung jawab pemerintah. Sudahlah masyarakat miskin akan bertambah miskin beban mereka semakin banyak jika kebijakan ini benar benar akan diterapkan. Apapun alasannya tentulah ini tidak masuk akal dan bertentang dengan islam. Apalagi jika alasan ini dibuat untuk menambah pendapatan Negara tentulah ini sangat zalim.

Berbeda dengan sistem islam dalam menempatkan pajak dan menempatkan sumber pendapatan Negara. Dalam islam, sesungguhnya tidak ada pajak yang diambil dari masyarakat,seperti yang ada pada system kapitalisme. Dimana barang-barang semua dikenakan pajak. 

Termasuk rumah, kendaraan,bahkan makanan dan sebagainya. Bahkan tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan Rasululloh dan para khulafa rasyidin memungut pajak. Memang tidak dimungkiri,dalam islam dikenal dengan istilah dharibah. Akan tetapi, penerapan dan pengaturannya berbeda secara diametral dengan konsep pajak dalam system kapitalisme. 

Pajak dalam Negara islam bukanlah sumber tetap pendapatan Baitulmal (Kas Negara khilafah). Pendapatan ini bersifat incidental ketika kondisi kas Negara kosong dan itu pun hanya dibebankan kepada orang-orang kaya saja. (Lihat”Muqaddimah Ad-Dustur”, Al-Nizham al-Iqtishadi fil islam). 

Dan jika problem kekosongan kas Negara sudah teratasi,maka pajak pun harus segera dihentikan. Dengan demikian,pajak dalam islam tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak