Oleh Sisi Yanti, SE
(Aktivis Muslimah Muara Enim)
Wacana mengenai penghapusan sembako dan barang hasil tambang dari daftar kelompok barang yang tidak dikenai pajak sedang ramai diperbincangkan khalayak. Sebagian besar masyarakat merasa keberatan dengan kebijakan yang tidak masuk akal tersebut di tengah pandemi.
Pandemi Covid-19 yang belum juga mereda telah memerosotkan perekonomian masyarakat. Daya beli masyarakat turun drastis sebagai efek dari pandemi global. Namun, dengan alasan demi meningkatkan pendapatan negara, pemerintah hendak menjadikan sembako dan bahan hasil tambang sebagai BKP atau barang kena pajak (Bisnis.com, 10/6/21)
Dikutip dari cnnindonesia.com (9/10/21), sembilan bahan pokok yang akan dikenai pajak diantaranya beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi. Sedangkan hasil pertambangan dan pengeboran yang dimaksud adalah emas, batu bara, hasil mineral bumi lainnya, serta minyak dan gas bumi.
Kejutan untuk rakyat tidak hanya berhenti di situ. Pajak Pertambahan Nilai yang semula bertarif 10 persen akan dinaikan menjadi 12 persen dengan alasan agar sesuai dengan tren global. Dimana PPN menjadi salah satu struktur pajak yang makin diandalkan.
Masyarakat di kalangan grassroot hingga pengamat menilai kebijakan ini sangat zalim. Pimpinan organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti YLKI, KSPI, Asosiasi Petani Tebu, Ikatan Pedagang Pasar, dan sebagainya sontak bersuara menyampaikan penolakan.
Dikutip dari Jakarta (ANTARA) (13/06/21), Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta pemerintah khususnya Kementerian Keuangan membatalkan rencana mengenakan pajak PPN terhadap sektor sembako dan pendidikan, yang tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dia menilai rencana kebijakan tersebut bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan sektor sembako-pendidikan juga sangat berkaitan dengan naik turunnya inflasi.
"Pengenaan pajak PPN, otomatis akan membuat harga sembako maupun pendidikan naik tajam. Pada akhirnya akan menaikkan inflasi Indonesia," kata kata Bambang Soesatyo atau Bamsoet dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Sehingga untuk mengedukasi masyarakat sekaligus meluruskan info-info yang beredar soal rencana ini, Pemerintah melalui Ditjen Pajak sampai mengirimkan surel khusus kepada 13 juta wajib pajak.
Pemerintah mengaku sedang mencari cara agar bisa segera keluar dari dampak pandemi. Salah satunya dengan menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang berisi perubahan sistem perpajakan, termasuk mengatur ulang tarif PPN.
Ditegaskan bahwa kebijakan ini diambil demi memenuhi rasa keadilan masyarakat. Mengingat kebijakan yang sudah ada dipandang tidak tepat sasaran, tidak efektif, dan mengalami distorsi.
Melihat hal ini, Pemerintah cenderung dan terkesan memaksakan kehendak menambah pendapatan negara dengan cara memungut pajak pada rakyat. Namun hal Ini justru semakin membuktikan buruknya tata kelola pendapatan negara hingga berangapan bahwa jalan satu satunya yang katanya menyelamatkan rakyat hanya dengan pajak "memalak" rakyat.
Bagaimana tidak di sebut buruk bahkan pendapatan melorot atau defisit kalau pengelolaan SDA yang jika dikelola dengan benar justru benar- benar menjadi penopang penuh pendapatan negara tapi ini malah diserahkan kepada asing, aseng dan korporasi sehingga merekalah yang menikmati hasil keuntungannya. Belum lagi di tambah dengan banyaknya pemimpin negeri yang tidak amanah dan jujur dalam jabatannya. Hingga Pajak pun kian digenjot dengan berbagai dalih, yang kemudian semakin menunjukkan keserakahan dan kegagalan pemerintah kapitalis dalam mengelola negara sehingga negara ini menjadi lintah dan pajak adalah darah yang terus dihisap oleh negara yang menerapkan ekonomi neoliberal.
Pandangan Islam tentang pajak. Istilah pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” [Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256]. Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” (al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129)
Dalam APBN khilafah (APBN-K), sumber pendapat tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Berbeda dengan pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di baitul maal.
Karena itu, ini menjadi
instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.
Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di baitul maal tetap harus berjalan. Jika di vaitul maal ada harta, maka dibiayai oleh baitul maal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum Muslim.
Dalam rangka menghilangkan dharar di saat vaitul maal tidak ada dana inilah, maka khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya.
Oleh karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’. Negara khilafah juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain.
Begitulah Islam agama yang sempurna dan paripurna untuk mengatur umat manusia. Sangat berbeda dengan sistem kufur kapitalisme-neoliberal, setiap upaya yang dilakukan oleh penguasa hanyalah demi kepentingan para kapitalis dan cukong-cukongnya. Rakyat hanya dijadikan sebagai ‘sapi perah’.
Yang dilakukan rezim kapitalis saat ini hanyalah upaya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, meskipun harus mengorbankan rakyatnya. Merupakan hal yang msutahil, apabila pajak yang dipungut di tengah vandemi adalah demi kesehatan rakyat dan ekonomi bangkit. Alih-alih menjadi sehat dan bangkit, rakyat justru semakin sekarat dan melarat.
Wallahu a’lam bishawwab