Pajak Sumber Pendapatan Negara Kapitalis, Bagaimana dengan Negara Islam



Oleh : Desi Ernawati


Sumber pendapatan negara yang mengacu pada undang-undang Nomor 17 tahun 2003, merupakan Hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih yang terdiri atas penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, dan penerimaan hibah.

Draf undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) beredar ke publik. Dalam draf yang didapat CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu, rencana pengenaan PPN terhadap sembako tersebut akan diatur dalam pasal 4A draf Revisi undang-undang. Dalam draf tersebut barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan/pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Dengan penghapusan itu berarti barang tersebut akan dikenai PPN. (Cnnindonesia, 11/6/2021)

Hal ini sejajar dengan isu pengambilan pajak jenis baru kepada masyarakat akhir-akhir ini. Netizen dibuat riuh sebab adanya isu bahwa sembako, pendidikan dan biaya melahirkan akan segera dikenakan pajak. Bayangkan saja, di tengah kondisi serba kesusahan saat ini (dimana masyarakat masih dihantui oleh virus Corona jenis baru), masyarakat justru ditambah kesulitannya dengan penambahan jenis pajak semacam ini yang notebene merupakan kebutuhan dasar masyarakat.

Sungguh inilah potret buram kapitalisme. Pajak merupakan salah satu sumber utama pendapatan bagi negara setelah hutang. Saat hutang tidak bisa lagi terkejar, maka mau tak mau negara akan mengejar pajak. Sialnya, bukan para kapital besar yang harus digenjot pajak sebab mereka dianggap punya peran besar untuk dibesarkan di badan sendiri. Justru rakyat lah yang harus menerima imbas tersebut.

Masalah perpajakan ini, sudah lama sebenarnya menjadi polemik di tengah masyarakat. Pasalnya, masyarakat sudah begitu familiar dengan kata-kata pajak karena begitu banyaknya pajak yang dikenakan pada mereka, seperti pajak penghasilan (PPh), pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai dan pajak daerah lainnya.

Begitu banyaknya pajak yang telah dikenakan kepada masyarakat, sehingga menambah jenis pajak tentulah bukan hal yang bijak, bahkan bisa dikatakan zalim. Sebab akan dikenakan pada kondisi pandemi seperti saat ini dimana masyarakat berkutat dengan berbagai penderitaan, mulai dari penyakit, kematian, hingga masalah ekonomi.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan masa-masa saat Islam masih berkuasa. Islam memiliki sistem keuangan yang canggih yang tidak memungkinkan negara untuk memalak rakyatnya demi memenuhi lumbung anggaran negara yang kosong. Islam mengenal yang namanya Baitul Mal sebagai suatu pos yang dikhususkan untuk menampung semua pemasukan atau pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslim.

Baitul Mal memiliki sumber pemasukan tetap, yakni fai', ghanimah atau al anfal, Kharaj, jizyah dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya; pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang serta harta zakat. Semuanya merupakan sumber pendapatan negara, dan pajak tidak termasuk didalamnya.

Pajak bukanlah termasuk sumber pendapatan negara. Islam tak pernah mengenakan pajak kepada masyarakat secara keseluruhan sepanjang masa kejayaannya. Pajak hanya diberlakukan oleh Khalifah pada masa-masa yang sulit, Baitul mal kosong dari sumber pemasukan lainnya. Pemungutannya bersifat sementara dan berlaku saat itu saja. Pajak yang dipungut pun diambil dari sisa nafkah (kebutuhan hidup) mereka, serta dari harta orang kaya, menurut ketentuan syariah.

Inilah sistem Islam, sistem yang penuh dengan keutamaan dan keagungan. Sifatnya yang sempurna tidak memungkinkan cacat hadir didalamnya kecuali sebab lalainya manusia. Sungguh tiada yang lebih sempurna selain aturan dari Sang Pencipta. Aturan terbaik dalam mengatur negara pun harusnya kita kembalikan pada Al-Quran dan As Sunnah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak