Pajak ! Bukti Kezaliman Nyata Terhadap Rakyat



Oleh : Murni, SE (Relawan Media)


Anomali kebijakan pemerintah dari wacana tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kebutuhan pokok atau sembako, pendidikan bahkan pajak ibu melahirkan tengah menuai kritik. Bukanlah kali pertama pemerintah memberikan kekecewaan pada rakyatnya. 


Sejak polemik pandemi covid-19 rakyat sudah dibuat kecewa dengan penanganan pemerintah yang lambat dan minim, belumlah lagi wacana pemerintah yang tertuang dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) berisi ketentuan bahwa sembako tak lagi termasuk dalam obyek yang PPN-nya dikecualikan. Namun, pemerintah berjanji akan memperkuat bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat miskin dan rentan miskin bila sembako dikenakan tarif PPN.


Bagi Menteri Keuangan Yustinus Prastowo, kebijakan tersebut sangatlah adil daripada mengecualikan tarif PPN untuk sembako yang bisa dinikmati semua kalangan (kompas.com, 09/06/2021). Ia menuturkan, pengecualian PPN yang terlalu banyak dan bisa dinikmati semua orang membuat penerimaan PPN tak optimal. Terlebih jika dibandingkan dengan negara lain seperti Thailand, Singapura, India dan Cina, Indonesia merupakan negara dengan fasilitas pengecualian PPN terbanyak sehingga kadang distortif dan tidak tepat.


Sementara pandangan berbeda dari Ketua MPR RI Bambang Soesatyo.  Bahkan beliau meminta pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan membatalkan rencana mengenakan pajak PPN terhadap sektor sembako dan pendidikan. Ia menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Di samping itu, sektor sembako-pendidikan juga sangat berkaitan dengan naik turunnya inflasi. (antaranews.com, 13/06/2021).


Menyorot Pajak Sebagai Sumber Utama Pendapatan Negara


Sudah jatuh, tertimpa pajak pula. Begitulah adagium untuk menggambarkan kondisi rakyat saat ini. Inilah dampak sistem kapitalisme liberal yang sungguh zalim. Seorang ahli pemerintahan Barat, Arthur Vanderbilt mengatakan, “Pajak adalah urat nadi (lifeblood) pemerintah".  Pajak dalam sistem kapitalisme adalah sumber utama pendapatan negara. Semua dikejar pajak, yang kaya bahkan warga miskin sekali pun.


Dalam sistem kapitalisme, pajak dan utang merupakan tulang punggung negara. Pembiayaan seluruh kegiatan negara diambil dari kedua sumber pendapatan tersebut, termasuk untuk penanganan dampak dari wabah pandemi ini, pembangunan infrastruktur dan lain -lain, semua diambil dari pajak. Maka wajar bila ada defisit APBN. Ironisnya, pemerintah tidak memaksimalkan potensi SDA negara yang begitu melimpah, justru dimonopoli dan diprivatisasi oleh para korporasi dan pemilik modal. 


Pajak akan dinaikkan atau diperluas untuk meningkatkan penerimaan negara. Hal tersebut tentu akan semakin membebani rakyat yang kehidupannya sudah sulit selama ini. Rakyat seolah-olah menjadi sapi perahan yang harus mencukupi anggaran negara. Padahal seharusnya rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan penjagaan dan pemeliharaan oleh negara (riayah).
Sistem kapitalisme pun telah melahirkan ketidakadilan pajak. Hal ini nampak atas penghapusan pajak rumah mewah, yaitu Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22, guna mengurangi beban biaya pengembang dan mendorong gairah industri sektor properti. Belum lagi banyak orang kaya "Maling Negara" menikmati berbagai fasilitas kemudahan hidup dari negara dengan pengampunan pajak (tax amnesty). Sebaliknya, rakyat kebanyakan kian ditekan dan diburu hartanya. 


Inilah realita kehidupan umat hari ini. Mereka dihadapkan pada kondisi hajat hidup yang ditelantarkan, sementara beban hidup semakin berat. Penguasa justru menambah berat beban kehidupan mereka dengan berbagai pungutan/pajak secara zolim. Padahal di sisi lain, negara tidak menjamin kesejahteraan bagi seluruh warganya.
 
Pajak dalam Pandangan  Islam 

Pajak (dharibah) bukan merupakan sumber pemasukan utama dalam negara Islam. Dalam pandangan Islam, Negara bertanggung jawab penuh untuk mengurusi rakyatnya. Memastikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mendasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Pajak dalam Islam hanya diberlakukan saat negara benar-benar krisis keuangan.


Adapun terkait pemasukan negara, Islam telah menyerahkan hak sepenuhnya kepada negara untuk mengelola SDA yang berlimpah, guna dimanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan rakyat. Pendapatan dari pengelolaan SDA inilah yang kemudian masuk ke kas negara (Baitul Mal) selain beberapa pos-pos pemasukan lainnya.

Pemungutan Pajak tersebut  diberlakukan tetapi hanya bagi golongan yang benar-benar mampu. Dan kondisi tersebut hanya bila Baitul Mal dalam keadaan kosong. Mampu dalam arti mempunyai kelebihan harta setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional tergantung standar hidup mereka di wilayah tersebut. Selain dari pengelolaan SDA, pemasukan negara lainnya juga berasal dari Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; Jizyah; Kharaj; ‘Usyur; Harta milik umum yang dilindungi negara; Harta haram pejabat dan pegawai negara; Khumus Rikaz dan tambang; Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; Harta orang murtad. Penerimaan dari sektor pajak hanya diberlakukan apabila kondisi baitul maal kosong.

 Jadi, rakyat tidak diharuskan membayar pajak apabila sumber keuangan negara lainnya masih mencukupi. Artinya pemungutan pajak ini bukan bersifat tetap tapi insidental, hanya saat kas negara kosong. Bukan malah dijadikan pendapatan wajib negara. Bahkan non Muslim pun  tidak dikenai pajak karena mereka telah membayar jizyah.

Untuk itu bukanlah hal yang mustahil untuk menjadikan negara bebas pajak selama Islam dijadikan sebagai standar. Islam bukan hanya untuk mengatur individu, tapi juga masyarakat bahkan negara. Aturan ini telah terbukti mampu menyejahterakan rakyatnya bukan hanya Muslim, tapi juga non-Muslim pun ikut merasakannya. 
Dengan aturan seperti ini, keadilan akan tercipta. Kebutuhan rakyat tetap terpenuhi dengan jaminan dari negara dan rakyat terbebas dari berbagai pungutan. Inilah sistem Islam yang begitu kompleks mengatur lini kehidupan.
Wallahu a’lam bishshawab.
 
 
 
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak