Oleh: Rindoe Arrayah
Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, tidak sepantasnya Indonesia memilikii utang dengan jumlah yang sangat fantastis. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini dikarenakan, penguasa begitu mudahnya menjual sebagian besar sumber daya alam kepada pihak asing dan aseng. Sehingga, kesejahteraan bagi rakyat jauh dari harapan untuk bisa diwujudkan.
Menanggapi kondisi utang negara, Ekonom Indef Bhima Yudistra mengatakan kekhawatirannya pada kemampuan bayar utang pemerintah yang semakin rendah. "Dengan naiknya utang, sayangnya rasio pajak terus menurun ini bisa kesulitan bayar," kata Bhima (Sindonews.com,27/4/2021)
“Total utang publik sekarang mencapai Rp8.504 triliun. Saya memperkirakan di akhir periode, pemerintahan ini akan mewariskan lebih dari Rp10.000 triliun kepada presiden berikutnya,” katanya dikutip melalui keterangan pers, Kamis (gelora.co, 3/6/2021).
Tercatat bahwa utang pemerintah pada periode April 2021 meroket menjadi Rp 6.527,29 triliun. Dengan rasio utang pemerintah mencapai 41,18% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah itu bertambah Rp 82,22 triliun dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya sebesar Rp 6.445,07 triliun (detikfinance, 7/6/2021).
Sudah menjadi rahasia umum, utang merupakan instrumen penting dalam sistem ekonomi kapitalis. Ketika pajak tidak mampu menutupi belanja negara, utang menjadi solusinya. Oleh karenanya, dalam sistem kapitalis berutang itu wajar adanya. Namun, jika utangnya sudah mencapai 6.000 Triliun tentu di luar batas kewajaran.
Jika menilik kembali sejarah pada masa pemerintahan Khilafah Islamiyah sistem keuangan tidak bertumpu pada pajak dan utang. Itulah sistem Baitulmal, sistem keuangan dengan berbagai jenis penerimaan dan pengeluarannya. Terdapat tiga pos jenis pemasukan.
Pertama, bagian fa’i dan kharaj. Fa’i adalah salah satu bentuk rampasan perang, dan kharaj adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi tanah di mana para pemilik tanah taklukan tersebut membayar kharaj ke negara Islam.
Kedua, bagian pemilikan umum. Kepemilikan umum adalah izin dari al-Shari’ kepada jemaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepemilikan umum meliputi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan, dan barang tambang yang depositnya tidak terbatas, yaitu barang tambang yang jumlahnya sangat banyak.
Ketiga, bagian sedekah. Bagian sedekah terdiri dari zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian danbuah-buahan, zakat ternak unta, sapi, dan kambing (muslimahnews.com, 3/1/2021).
Ketiga poin di atas yang pernah diterapkan kekhilafahan telah terbukti bisa menjadi solusi. Untuk itu, sudah saatnya mencampakkan sistem Kapitalisme-Sekularisme dan menggantinya dengan sistem kehidupan yang berlandaskan risalah Islam dengan menerapkan syari’at-Nya di seluruh lini tanpa terkecuali agar diperoleh keberkahan.
Wallahu a’alam bishshowab.