Sumber gambar: republika.co.id
Oleh: Ummu Diar
Perceraian publik figur yang beberapa tahun lalu menikah diusia dini, menjadi buah opini di dunia maya. Sedihnya, ada yang mengarahkan pendapat bahwa nikah dini sulit bisa abadi. Kendati hanya opini, hal ini menarik untuk didalami.
Apalagi jika cermat melihat, abadi tidaknya pernikahan tidak tergantung dari usia saat menikah. Dini ataukah dewasa ataukah tua. Yang sudah usia matang pun tak sedikit yang hanya bertahan dalam hitungan singkat. Sehingga sebenarnya tidaklah kelanggengan pasutri tergantung dari sisi usia awal pernikahan.
Toh, jika mau jujur, di masyakarat banyak dijumpai orang menikah muda. Dan di antara mereka ada yang tetap langgeng dan bahagia hingga menikmati hari tua bersama-sama. Bedanya, mereka bukan publik figur. Atau kisah mereka tidak terdedah di media sosial, sehingga positive vibes mereka tidak viral.
Untuk melanggengkan pernikahan sejatinya dibutuhkan banyak hal. Diantaranya:
1. Ilmu agama dan kemampuan mempraktikkannya. Menikah adalah bagian sunnah agama, wajar bila ilmu agama tentangnya harus dilahap semua. Bagaimana syarat siap nikah, apa kriteria calon, kewajiban masing-masing pasutri sesudah menikah, hingga aturan ketika terpaksa berpisah.
2. Ilmu praktis kerumahtanggaan. Dalam pernikahan, di samping ilmu agama yang mengokohkan iman, juga ada ilmu atau skill rumahan yang harus dikuasai pasutri. Bagaimana suami menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga, kreatif menemukan sumber pendapatan untuk menghidupi keluarga. Memelihara rumah dari kerusakan teknis agar anak istri nyaman di dalamnya, dll.
Begitu pun istri, bukan hanya dandan dan mempercantik diri yang dipikirkan. Tapi seorang istri harus bisa memegang alat bersih-bersih untuk membantu suami menjaga papan, tempat tinggal. Bisa mengatur keuangan dan menyesuaikan pengeluaran sesuai keadaan. Bisa mencuci ompol anak untuk menjalankan salah satu tugas pengasuhan, dll.
Semua skill berkaitan dengan bertahan dan berjalannya kehidupan di keluarga wajib ditambahkan diluar ilmu agama. Andaikan khatam puluhan kitab jika berumah tangga tak bisa memejemen rumahnya, apakah dijamin bahagia? Andaikan ahli ceramah tapi di saat yang sama tidak mampu memberi nafkah, apakah anak istri mampu selamanya qonaah?
3. Kepiawaian komunikasi dan sabar tingkat tinggi. Sebab menikah hakikatnya adalah menyatukan dua orang dengan dua kepala dengan segala macam perbedaan dan permasalahannya. Komunikasi yang tak dapat dipahami satu sama lain hanya menimbulkan emosi. Bila tak diselimuti kesabaran tingkat tinggi untuk berusaha saling memahami, apakah rumah tangga jadi ladang caci maki?
4. Dukungan iklim eksternal yang baik. Pasutri adalah bagian dari keluarga besarnya, bagian dari masyarakat di area tinggalnya, dan bagian penduduk negara. Maka usaha menumbuhkan kebahagiaan dalam keluarga kecilnya akan semakin terjaga bila hal di luar itu turut memberi dukungan.
Peran masyarakat menyajikan kehidupan bersahaja adalah sumbangsih yang tak terelakkan bagi baiknya keluarga kecil. Apalagi dukungan dari negara, tentu meringankan beban tanggungan. Kebutuhan murah dan mudah dijangkau, fasilitas pendidikan dan kesehatan nyaman lagi terpercaya, kontrol tayangan bebas unsur bebas inspirasi bagi pelakor dan pebinor, adalah hal penting lainnya.
Sehingga dengan langkah di atas dan dukungan lingkungan, langgeng jadi pasutri tidak ada kaplingan usia. Siapapun yang siap dan mampu, hatta yang masih dianggap dini pun akan bisa menjadi satu dari sekian banyak keluarga yang bahagia. Langgeng jadi pasutri hingga di surga nanti.