Oleh : Asih Senja
"Cita-cita saya memberangkatkan haji orang tua"
Itulah jawaban umum mayoritas anak bangsa bila ditanya tentang cita-citanya. Hal ini lumrah adanya karena haji adalah rukun iman yang kelima. Di Indonesia sendiri, naik haji bukan hanya masalah dana dan transportasi saja, birokrasi dan antrean keberangkatan juga cukup membuat ibadah haji terasa sulit dilakukan. Maka wajar bila haji sangat dinanti-nanti oleh mayoritas umat negeri ini.
Sayangnya, cita-cita sebagian besar anak bangsa tahun ini harus dikubur dalam-dalam. Pemerintah resmi membatalkan keberangkatan ibadah haji tahun ini. Alasannya karena kasus Covid-19 yang kembali meninggi.
Hal ini tentu disayangkan oleh berbagai pihak. Para calon jamaah yang sudah mengantre bertahun-tahun harus kembali masuk ke daftar antrean karena kembali batal berangkat. Pelaksana tugas Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama, Khoirizi, mengakui pembatalan keberangkatan haji selama dua tahun berdampak pada antrean yang semakin panjang. Sungguh disayangkan, betapa penantian panjang harus kembali dialami oleh para calon jamaah.
Memang benar, salah satu syarat berangkat haji adalah mampu dalam keamanan. Maka bila ada yang merintangi kaum muslimin seperti wabah covid saat ini dapat menjadi pembatal syarat mampu dalam haji. Hal ini juga pernah terjadi , misalnya pembatalan ibadah haji karena wabah pada tahun 1814, juga pada tahun 1837 dan kolera tahun 1846.
Syarat mampu dalam haji sejatinya juga ditetapkan pada khalifah. Khalifah harus mampu mengurus pelaksanaan haji dan keperluan para jemaah haji. Hal ini dikarenakan Khalidah adalah pengurus rakyat seperti sabda Nabi SAW
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari)
Dalam pemilihan pengelola haji, Khalifah harus memilih orang yang benar-benar kompeten. Mereka haruslah orang-orang yang bertakwa yang sadar betul bahwa h yg diamanahkan padanya adalah hajat hidup orang banyak sehingga dia tidak akan mudah meminjamkan-minjamkannya untuk pengelolaan bencana atau malah dibuat main saham, misalnya.
Selain itu , apabila negara menerapkan ONH nilainya harus dibangun berdasarkan paradigma mengurus urusan jemaah haji dan umrah, bukan paradigma bisnis dengan berbagai kelas yang bisa dipilih sesuai harga kantong jamaah. Maka, paradigma kapitalis haruslah dihindari dalam pengelolaan ibadah haji ini.
Dalam khilafah, negara adalah satu kesatuan. Maka tidak akan ada keribetan masalah visa haji dan umrah yang ribet dalam pengurusannya. Hal ini karena tidak ada batas daerah dan negara, sebagaimana saat ini. Seluruh jemaah haji yang berasal dari berbagai penjuru Dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor.
Lingkup "mampu" dalam pelaksanaan ibadah haji pada nyatanya meliputi berbagai aspek dan setiap aspek itu saling berkaitan. Maka, pembatalan ibadah haji dan tak kunjung usainya kasus covid saat ini bukanlah tak berkaitan. Karena sejatinya setiap bidang aspek kehidupan kita saling berkaitan, dan pengait itu adalah islam.
Karena islam adalah mabda yang harus diterapkan dalam kehidupan. Jadi, bukan saat hajinya saja pakai syariat namun dalam pengelolaannya pun haruslam memakai syariat islam. Ya, syariat yang menjadikan iman dan taqwa landasan utamanya, halal dan haram sebagai standar baik- buruknya.
Bila ingin menjadi pemimpin yang mampu meriayah ibadah haji, haruslah dia menjadikan islam sebagai landasan dalam pengelolaannya. Karena sejatinya islam lah yang mampu menyelesaikan setiap permasalahan kehidupan.