Mungkinkah Kita Berharap Keadilan pada Hukum Buatan Manusia?



Oleh Krisdianti Nurayu Wulandari


Tidak lama ini, rakyat kembali dihebohkan oleh potongan hukuman yang diperoleh Pinangki Sirna Malasari. Mantan jaksa Pinangki ini telah terbukti melakukan tiga tindak pindana:
1. Menerima suap sebesar 450 ribu dolar Amerika dari Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa MA. (detiknews) 
2. Melakukan pencucian uang senilai Rp. 5,25 miliar. (kompas.com)
3. Melakukan permufakatan jahat untuk gagalkan ekesekusi Djoko Tjandra. (detiknews) 
Sebelumnya, Pinangki divonis  hukuman 10 tahun penjara serta denda 600 juta rupiah. Kemudian vonis Pinangki itu disunat Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara.

Dikutip dari website change.org, Minggu (20/6/2021) pagi ini, sudah ada 16.542 orang sudah meminta jaksa melakukan kasasi. Kekecewaan vonis sunat hukuman oleh Pengadilan Tinggi (PT)  Jakarta juga diutarakan oleh Deniarto. Berikut komentarnya, "Penegak hukum yang melanggar hukum harusnya hukumannya diperberat, kok ini malah dikurangi, wah payah nih..."

Petisi itu diprakarsai oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Pada intinya petisi online itu meminta Kejaksaan Agung untuk segera mengajukan kasasi atas vonis majelis tingkat banding yang menurunkan hukuman Pinangki. Hal itu untuk membuka kesempatan agar Pinangki dihukum lebih berat. (detiknews). 

"Oleh karena itu, ICW mau ajak teman-teman untuk bersuara lebih keras lagi. Kejaksaan Agung harus segera mengajukan kasasi untuk membuka kesempatan Pinangki dihukum lebih berat. Ketua Mahkamah Agung juga harus selektif dan mengawasi proses kasasi tersebut," seru ICW dalam petisinya.

Keadilan di dalam sistem Demokrasi-Kapitalisme sudah menjadi barang yang teramat langka. Hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Seolah hukum bisa dibuat sedemikian rupa oleh orang-orang yang berkuasa sehingga hanya memuluskan nafsu kepentingan pribadi mereka.

Demokrasi-Kapitalisme merupakan sistem yang berasal dari kejeniusan manusia. Saat ini, sistem inilah yang diterapkan di dunia. Akan tetapi, selama penerapannya, Kapitalisme tidak dapat menjadi solusi bagi hajat hidup banyak orang. 

Justru, dalam penerapannya banyak menunjukkan kegagalannya dalam mengatur seluruh aspek kehidupan. Sebab, dalam Kapitalisme yang menjadi asasnya adalah sekulerisme, yaitu memisahkan agama dari kehidupan.
Oleh karena itu, telah jelas bahwa kapitalisme yang notabene adalah buatan manusia akan selalu ada campur tangan dari manusia dalam pembuatan sebuah peraturan. Dan hal ini akan senantiasa berujung pada pertentangan diantara manusia itu sendiri. 

Sebagaimana kasus jaksa Pinangki yang mulanya mendapat hukuman 10 tahun penjara malah dipotong hanya menjadi 6 tahun penjara. Pemotongan hukuman ini menimbulkan rasa kekecewaan bagi rakyat. Bagaimana hal itu bisa terjadi hanya pada orang tertentu saja, akan tetapi pada rakyat yang lain tidak? Tentu saja, ini adalah tindakan yang tidak adil bagi rakyat.

Sejatinya, jika kita tetap berharap keadilan pada sistem kapitalisme ini yang telah nyata gagal dalam mewujudkan keadilan, maka akan membuat kita jatuh pada lubang yang sama untuk yang kedua kalinya.
Dengan adanya kesadaran terhadap rusaknya sistem kapitalisme inilah yang justru membuat kita semakin yakin untuk mengambil sistem alternatif yang lain. Yaitu sistem Islam. Mengapa sistem Islam? Karena sistem Islam berasal dari wahyu dan dapat dipastikan kebenarannya.

Pun terkait bukti akan penerapan sistem Islam tersebut sejarah telah mencatatnya. Selama 13 abad sistem Islam mampu menciptakan keadilan di tengah rakyatnya. Hukuman yang diberikan Islam tetap berlaku sama atas pelakunya, tidak pandang bulu. Baik penguasa ataupun rakyat biasa.
Di antaranya adalah kisah sengketa baju besi Khalifah Ali bin Thalib ra. dengan seorang laki-laki Yahudi. 

Diriwayatkan oleh Imam al-Hakim, bahwa baju besi Ali ra. hilang pada Perang jamal. Ali ra. ternyata mendapati baju besinya di tangan seorang laki-laki Yahudi. Khalifah Ali ra. dan orang Yahudi lalu mengajukan perkara itu
 kepada hakim bernama Syuraih. 
Ali ra. mengajukan saksi seorang bekas budaknya dan Hasan, anaknya. Syuraih berkata, "Kesaksian bekas budakmu saya terima, tetapi kesaksian Hasan saya tolak." Ali ra. berkata, "Apakah kamu tidak pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda bahwa Hasan dan Husain adalah penghulu para pemuda penghuni surga?" Syuraih tetap menolak kesaksian Hasan, dan memenangkan si Yahudi. Syuraih lalu berkata kepada orang Yahudi itu, "Ambillah baju besi itu."
Namun, Yahudi itu berkata, "Amirul Mukminin bersengketa denganku, lalu datang kepada hakim kaum Muslim, kemudian hakim memenangkan aku dan Amirul Mukminin menerima keputusan itu. Demi Allah, Andalah yang benar, wahai Amirul Mukminin. Ini memang baju besi Anda. Baju besi itu jatuh dari unta Anda lalu aku ambil. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah." Ali ra. berkata,"Karena Anda sudah masuk Islam, kuberikan baju besi itu untukmu." (Al-Kandahlawl, Hayah Ash¬Shahabah, 1/146).

Kisah ini menunjukkan bahwa keadilan telah ditegakkan, walau yang bersengketa adalah seorang kepala negara dengan rakyat biasa yang non-Muslim. Hukum syariah memang tidak membenarkan kesaksian seorang anak untuk bapaknya. Inilah prinsip syariah yg dipegang teguh oleh hakim Syuraih ketika mengadili perkara tersebut (Ahmad Da'ur, Ahkam Al-Bayyinat, hlm. 23). 

Inilah kehebatan dari keadilan sistem Islam. Semuanya akan terikat pada syariat Islam. Apabila ada seseorang yang melanggar syariat Islam, maka dia akan dijatuhi sanksi sesuai dengan sanksi yang telah ditetapkan atas perbuatan yang telah ia lakukan. Wallaahu A'lam bi al-Shawaab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak