Oleh Aning
(Muslimah Peduli Umat)
Stunting adalah kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek atau perawakan pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir. Umumnya disebabkan asupan makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting masih menjadi masalah yang menghantui balita di negeri ini, pemantauan Status Gizi (PSG) menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 29,6% di atas batasan yang ditetapkan WHO (20%).
Tahun 2015 Indonesia tertinggi ke-2 di bawah Laos untuk jumlah anak stunting. Indonesia merupakan negara nomor empat dengan angka stunting tertinggi di dunia. Lebih kurang sebanyak 9 juta atau 37 persen balita Indonesia mengalami stunting (kerdil). Upaya menurunkan angka stunting terus dilakukan Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Jawa Barat (Jabar). Melalui program Edukasi Protein Ayam dan Telur, diharapkan semakin banyak pihak yang menaruh perhatian terhadap persoalan kesehatan tersebut.
Stunting merupakan permasalahan yang kompleks. Sedangkan solusi yang ditawarkan selama ini cenderung sebagai solusi parsial dan belum mampu mengatasi akar permasalahan. Program yang telah dikeluarkan pemerintah seperti 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan), pelihara satu ayam tiap keluarga, hingga pembentukan UU Pembangunan Keluarga nyatanya belum mempan mengatasi kekurangan gizi kronis di bawah bayang-bayang sistem bernama sistem kapitalis yang saat ini digunakan dunia. Kondisi ini terjadi tidak lain karena paradigma kapitalis menjadi landasan berpikir para penguasa negeri. Adapun sistem kapitalis menjadikan materi satu-satunya yang menjadi perhatian. Maka wajar, kebijakan yang dikeluarkan belum sepenuhnya memprioritaskan kesejahteraan rakyat.
Sistem kapitalis faktanya makin memperparah permasalahan stunting di dunia pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya. Melambung tingginya harga bahan pokok dan kebutuhan hidup membuat para wanita khususnya ibu-ibu turut banting tulang demi membantu suami memenuhi kebutuhan rumah tangga. Para ibu yang harusnya fokus menjaga asupan gizi diri dan calon bayinya justru dipusingkan dengan bekerja di luar rumah. Para ibu yang harusnya fokus mengasuh bayi dan balita, banyak yang menelantarkan tanggung jawab pengasuhan dan bertambah payah pula dengan adanya peran tambahan untuk keluar dari himpitan ekonomi. Hal ini menyebabkan hak anak semakin terbengkalai, dan pemenuhan asupan gizi pun jadi tak beraturan dan luput dari perhatian sang ibu. Akhirnya banyak anak negeri yang mengalami defisiensi gizi hingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Padahal usia bayi hingga balita ialah periode emas yang harus mendapat perhatian ekstra dan asupan gizi yang baik.
problem stunting ini tidak bisa diserahkan begitu saja pada masing-masing keluarga atau individu. Dalam hal ini, negara tentu memiliki peran besar dalam membersamai rakyatnya yang terjerat berbagai kesusahan. Namun, yang tampak saat ini justru pemerintah seolah berlepas tangan dan membiarkan rakyat berjuang sendiri, terlebih kini saat pandemi. Bantuan sosial yang disalurkan pemerintah banyak yang tidak tepat sasaran dan hanya dinikmati sebagian golongan. Disaat yang sama, rakyat diminta pula untuk menjaga gizi ditengah berbagai kesulitan ekonomi yang menghimpit. Hal ini juga menunjukkan bahwa kapitalisme menempatkan pemerintah hanya sebagai fasilatator terhadap permasalahan yang ada di tengah masyarakat.
Di dalam Islam, fungsi negara ialah murni sebagai ra’in (pengurus) warga negaranya baik muslim ataupun non muslim. Pemimpin di bawah sistem islam ialah orang yang benar-benar bertanggung jawab atas rakyatnya. Bukan sebagai fasilitator semata seperti dalam sistem kapitalis yang digunakan saat ini.
Hak mendapatkan pemenuhan pangan dan gizi merupakan hak setiap rakyat, termasuk di dalamnya hak anak-anak yang akan menjadi generasi penerus peradaban. Tentu saja hal ini akan mampu tercapai dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah dibawah naungan khilafah. Yang mampu atasi masalah tanpa masalah, bukan sekedar mimpi dan wacana belaka. Dalam peradaban Islam, lapangan pekerjaan terbuka lebar serta mendorong laki-laki untuk bekerja guna memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Apabila kondisi yang tidak memungkinkan seorang kepala rumah tangga memenuhi kewajibannya mencari nafkah, maka pemenuhan nafkah dilimpahkan pada wali istrinya.
Sistem keuangan dalam peradaban Islam pun dibentuk guna mengatasi persoalan ekonomi negara, berupa baitul mal. Sumber pemasukan baitul mal salah satunya adalah zakat yang dikeluarkan oleh kaum muslimin. Dikelola oleh negara dan disalurkan bagi rakyat yang benar-benar tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Stunting merupakan persoalan kemanusiaan, pemenuhan hak-hak rakyat dalam mendapati penghidupan yang layak. Dari sisi ekonomi, lingkungan, SDA, dll. Dalam Islam menjadi fokus utama negara, karena Islam menempatkan pemimpin Islam sebagai pelayan dan penjaga rakyatnya.
Pemimpin yang menjadikan syariat Islam sebagai pedoman dalam menentukan berbagai kebijakan, tak hanya sekedar menempatkan Islam sebagai agama. Tetapi juga, sebagai aktivitas praktis dalam sebuah aturan hidup. Secara sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, dll.
Maka, penerapan sistem Islam menjadi hal yang penting. Sehingga dibutuhkan sebuah negara yang bisa menerapkan semua syariat Islam tanpa pilih.
Sebagaimana firman Allah swt:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian” (TQS al-Baqarah [2]: 208).
Wallahu'alam bishowab
Tags
Opini