Marital Rape, Serangan dan Pelemahan terhadap Hukum Pernikahan dalam Islam



Oleh : Devi Aliya *


Kaum liberal sekuler tak henti-hentinya menyerang hukum-hukum Islam dari berbagai aspek. Keluarga sebagai benteng pertahanan terakhir kaum muslimim pun tak luput dari serangan mereka. Berbagai upaya mereka lakukan untuk melemahkan keluarga muslim di antaranya adalah menyerang lembaga pernikahan.

Pernikahan yang dibangun dengan dasar ketakwaan tentunya mengharapkan sakinah mawaddah warahmah. Namun ketenangan pernikahan menjadi terusik dengan munculnya hukum marital rape. Marital rape ini dimasukkan dalam RUU KUHP dengan meluaskan makna pemerkosaan dalam rumah tangga. Hal ini pun menjadi polemik di masyarakat. 

Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) mengatur pasal tentang tindak pemerkosaan atau rudapaksa yang dilakukan suami terhadap istri, maupun sebaliknya (marital rape). Aturan itu tercantum dalam pasal 479 ayat 2 poin a RUU KUHP.

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pelaku pemerkosaan dalam rumah tangga dapat dihukum pidana penjara paling lama 12 tahun.

"Termasuk Tindak Pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan (a) persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah," bunyi pasal pasal 479 ayat 2 poin a RUU KUHP.

Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswari, menyampaikan berdasarkan Catatan Tahunan 202, jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk 2020. Tahun 2019, data kasus mencapai 192 kasus yang dilaporkan. Bagi Theresia, laporan itu menunjukkan adanya kesadaran dari istri melihat bahwa ada tindakan yang disebut pemerkosaan dalam rumah tangga.

Dalam catatan detikcom, sedikitnya sudah ada 2 kasus yang dikenakan pasal tersebut. Kasus pertama terjadi di Denpasar pada 2015, yaitu Tohari memperkosa istrinya yang sedang sakit-sakitan. Beberapa pekan setelah itu, Siti meninggal dunia. Atas hal itu, PN Denpasar menjatuhkan hukuman 5 bulan penjara kepada Tohari.
Kasus kedua adalah Hari Ade Purwanto memaksa istrinya berhubungan badan di sebuah hutan di Pasuruan, Jawa Timur, pada 2011. Hari beralasan sudah kewajiban istri melayani suami, sesuai dengan agama yang ia yakini.
Namun pembelaan diri Hari ditolak dan akhirnya dihukum 16 bulan penjara. Putusan itu bergeming hingga tingkat kasasi dengan ketua majelis hakim Prof Komariah E Sapardjaja serta hakim anggota Suhadi dan Salman Luthan.

Apa Itu Marital Rape?

Marital rape dimaknai sebagai pemerkosaan atau pemaksaan hubungan seksual dalam pernikahan atau perkawinan. Pihak istri biasanya yang menjadi korban dalam kasus marital rape. Bentuk-bentuk marital rape di antaranya adalah hubungan seksual suami dan istri yang dipaksakan, dimanipulasi, disertai ancaman, dan tidak ada pilihan. 

Menurut dr. Reni Utari dalam sehatq.com (9/01/2020) Korban marital rape dapat mengalami masalah fisik dan psikologis dalam waktu yang lama. Efek tersebut juga termasuk merasa diri terhina, menyalahkan diri sendiri, dan merasa ketakutan. Belum lagi korban pemerkosaan pernikahan yang mengalami kekerasan fisik.

Marital Rape dalam Tinjauan Hukum Positif

Profesor Suteki memberikan pandangan hukumnya terkait marital rape ini. Menurut beliau, terjadinya polemik perihal perkosaan dalam perkawinan pada Pasal 479 RUU KUHP, disebabkan oleh kekurangpahaman warga terhadap bahasa hukum perundang-undangan. Hal ini bisa terjadi karena proses pembahasan dan paska pembahasan yang kurang melibatkan masyarakat umum dan awam terhadap konten RUU tersebut. Artinya, di sini masih ada kendala persoalan komunikasi hukum (legal communication). 

Komunikasi hukum yang tidak baik akan berakibat pada timbulnya miskomunikasi, yang berakibat lanjut pada misunderstanding terhadap pasal-pasal yang seharusnya bila dipahami dengan baik tidak akan menimbulkan keresahan, apalagi penolakan yang tidak perlu. Misal persoalan "memperkosa isteri sendiri dipidana" 

Beliau yang merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro juga pakar Sosiologi Hukum dan Filsafat Pancasila memberikan analisa implikasi hukum dari Pasal 479 RUU KUHP. Analisanya dari sisi apakah seorang suami atau istri dipenjara karena melakukan perkosaan seksual atas keduanya?  Ada dua kemungkinan yaitu :

1. Mungkin

Dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 479 ayat (1) maka bisa saja seorang suami memerkosa istrinya. Dengan syarat yaitu si istri sedang tidak mau berhubungan badan dan si suami melakukan kekerasan. Karena memang sudah ada kejadian.

Hal ini bisa pada kejadian yang sangat ekstrem seperti kasus Tohari dan  Hari Ade Purwanto. Tidak bisa digeneralisasikan karena memang pasangan itu tidak bisa hidup bersama lagi sebagai suami istri. 

2. Tidak mungkin. 

Meskipun delik ini adalah bukan delik aduan, tetapi karakter delik yang sangat privat ini bisa diperkirakan bahwa suami atau istri tidak akan melaporkan kepada pihak berwajib ketika terjadi "perkosaan" di antara keduanya bila mereka masih berkeinginan untuk hidup bersama sebagai suami istri. Jadi kemungkinan pidana ini akan berjalan misalnya terkait dengan situasi ekstrem. 

Misalnya, sepasang suami istri sudah tidak hidup harmonis, sudah tidak bisa menyatukan diri sebagai suami istri, lalu di antara mereka melakukan perkosaan seksual dengan alasan karena mereka masih terikat hubungan suami istri. Nah, dalam keadaan seperti ini, baik suami atau pun istri yang diperkosa dapat melaporkan kepada pihak berwajib.

Marital Rape dalam Tinjauan Hukum Islam

Landasan pernikahan yang dianjurkan oleh Islam adalah atas cinta dan kasih sayang antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 21 : 

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

Dengan berlandaskan rasa kasih dan sayang, rumah tangga dalam Islam akan dijalani dengan keikhlasan dalam meraih ketaatan dan keridhoan Allah SWT pun akan diraih.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda “Jika laki-laki mengajak istrinya ke tempat tidur, kemudian dia (istri) menolaknya, dan suami karena itu menjadi marah, maka dia (istri) akan dilaknat (dikutuk) oleh para malaikat sampai pagi,” (HR Bukhari 4697).

Dalam hadits lain juga disebutkan, “Jika suami mengajak istrinya ke tempat tidur, maka hendaklah ia memenuhinya, walaupun sedang di dapur,” (HR Tirmidzi 1160).

Dari hadits di atas dipahami sebagai sebuah keharusan perempuan untuk melayani keinginan seksual suaminya dalam kondisi apa pun atau istri tidak boleh menolak. Jika istri menolak maka dianggap sebagai sebuah pembangkangan terhadap suami. Penolakan istri dalam hal ini dipandang sebagai nusyuz atau kedurhakaan dan itu akan dilaknat para malaikat sampai pagi.

Lalu bagaimana jika istri sedang sakit sehingga merasa berat untuk melayani suami? Atau istri sedang mengalami kondidi psikis yang kurang baik? Bolehkah istri menolak hasrat suami? 

Dalam hal maka istri bisa menyampaikan ke suami dengan komunikasi yang baik. Suami harus memahami keadaan istri dan tidak boleh memaksanya. Rasulullah memberikan tuntunan dalam sabdanya berikut :

Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya atau membahayakan (orang lain).” (HR Ahmad,  Malik dan Ibnu Majah) 

Allah Swt juga berfirman dalam surah Annisa’ ayat 19 : 

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ 

Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” 

Dari sini maka bisa dipahami tidak ada istilah marital rape dalam hukum pernikahan Islam. Serangan kaum feminis liberal tidak akan pernah berhenti. Dengan kedok melindungi hak-hak perempuan melalui jalur legislasi, sejatinya mereka ingin menghapus hukum-hukum Islam khususnya dalam hukum pernikahan.

Agar kehormatan perempuan terjaga serta rumah tangga tetap utuh hanya dengan jalan menerapkan hukum-hukum pernikahan Islam. Negara pun akan dan harus melindungi hak dan kewajiban suami istri dengan melegislasi hukum pernikahan sesuai syariat Allah SWT dan Rasul-Nya. Wallahu ‘alam


*(Penulis, Aktivis Muslimah)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak