Oleh : Melitasari
RUU KUHP yang mengancam suami 12 tahun penjara karena memperkosa istri menuai kontroversi. Selidik punya selidik, aturan itu saat ini sudah ada dan diatur dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
"Marital Rape (Perkosaan dalam Perkawinan) ditambahkan dalam rumusan Pasal 479 supaya konsisten dengan Pasal 53 UU 23/2004 tentang PKDRT, yaitu tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan," kata guru besar hukum pidana dari UGM, Prof Marcus Priyo Gunarto.
Komnas Perempuan mengungkap data aduan dari istri yang mengaku diperkosa suami.
"Berdasarkan Catatan Tahunan 2021, jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk 2020. Tahun 2019, data kasus mencapai 192 kasus yang dilaporkan," ucap komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini.
Bagi Theresia, laporan itu menunjukkan adanya kesadaran dari istri melihat bahwa ada tindakan yang disebut pemerkosaan dalam rumah tangga.
"Perhatian dan keberanian melaporkan kasus perkosaan dalam perkawinan menunjukkan kesadaran korban bahwa pemaksaaan hubungan seksual dalam perkawinan adalah perkosaan yang bisa ditindaklanjuti ke proses hukum," katanya. (Detiknews, Rabu 16/6/2021).
Marital rape adalah istilah yang terus digaungkan oleh kaum sekuleris dan gander untuk menyerang hukum-hukum Islam tentang hak dan kewajiban suami istri, serta melemahkan lembaga perkawinan islam dengan berbagai dalih kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.
Salah satunya menggolongkan pemerkosaan terhadap istri sebagai tindakan kriminal yang berhak mendapat perlindungan hukum. Padahal pemerkosaan adalah istilah yang tidak bisa diterapkan dalam kasus kekerasan yang mungkin terjadi dalam rumah tangga, karena fakta dan solusi hukumnya berbeda.
Namun dalam sistem yang menjunjung tinggi kebebasan sebagai falsafahnya, suatu perbuatan dilihat hanya berdasarkan asas manfaat. Apabila perbuatan tersebut dianggap merugikan, maka yang bersangkutan mempunyai hak untuk mengambil tindakan secara hukum tanpa melihat baik buruknya perbuatan tersebut berdasarkan syara.
Selain itu memisahkan antara agama dan kehidupan membuat manusia bebas berbuat tanpa aturan. Itulah sebabnya kekerasan dalam rumah tangga dalam sistem ini tidak dapat dielakkan, Sehingga solusinya bukan menghapus hukum-hukum Islam, tapi justru menjadikan Islam sebagai landasan dalam berkeluarga dan bernegara.
Penerapan Islam dalam rumah tangga dan negara dipastikan dapat mencegah segala tindak kekerasan, baik yang terjadi di dalam Rumah Tangga atupun di luar Rumah Tangga, karena semua transaksi berbasis syara. Dalam keluarga akan tegak mu'asyarah bil ma'euf dengan jaminan sistem yang mengokohkan.
Sistem yang paripurna ini aturannya berasal dari sang pencipta, sehingga setiap permasalahan lengkap dengan solusinya. Mengatur seluruh tatanan hidup dari mulai mengusurusi masalah kecil hingga masalah besar, dari mulai membangun keluarga hingga membangun negara.
Termasuk di antaranya mengatur hak dan kewajiban suami istri dalam berumah tangga.
Suami memiliki Haq atas istri, istri memiliki kewajiban terhadap suami, pun sebaliknya. Seorang istri wajib taat terhadap suaminya selama apa yang diperintahkan nya tidak bertentangan dengan hukum syara, termasuk melayani saat suami meminta haknya untuk berjima. Namun seorang suami juga wajib menggauli istrinya secara haq, dalam hal ini tidak memaksa ketika istrinya tidak berkenan karena suatu alasan.
Tentu saja jika keduanya mengerti akan hal dan kewajiban masing-masing, tidak akan ada pihak yang akan dirugikan. Perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga pun dapat diminimalisir. Hal ini tentunya diatur dalam aturan Islam, sehingga umat harus waspada dengan agenda-agenda kalangan sekuler dan feminis yang ingin menghapus sisa-sisa hukum Islam dengan dalih pembelaan terhadap hak-hak perempuan melalui jalur legislasi.
Tags
Opini