Lagi Batal Haji, Gegara Covid-19?




           
Oleh: Nurhaniu Ode Hamusa, A Md. Keb.
(Aktivis Muslimah Konawe)
 
10 tahun bukanlah waktu singkat menunggu, begitulah yang harus dirasakan  563 Calon Jemaah Haji (CJH) Kota Kendari Sulawesi Tenggara, akhirnya harus menahan hasrat untuk bisa berkunjung ke Tanah Suci untuk menyempurnakan Rukun Islam yang ke Lima.
 
Seperti yang diungkap Kepala Seksi Penyelenggara Haji dan Umrah, Kemenag Kota Kendari, H Sunardin bahwa, pembatalan haji tahun ini menjadi tahun kedua bagi 563 CJH Kota Kendari, setelah tahun lalu (2020) juga dibatalkan karena pandemi Covid-19.
 
Masih menurut sunardin yang mau berangkat ini sudah mati 10 tahun, karena mereka mendaftar sejak tahun 2012, padahal Sebelum pemerintah Indonesia mengumumkan pembatalan haji, kata Sunardin, 563 CJH tersebut sudah siap untuk diberangkatan jika tahun 2021 diizinkan untuk berangkat. Persiapan yang dilakukan mulai dari dokumen paspor hingga persyaratan vaksinasi Covid-19 (Telisik.id, 04/06/2021).
 
Informasi pembatalan telah disampaikan Menteri Agama (Menag) RI, Yaqut Cholil Qoumas di Jakarta,  Kamis (3/6/2021). Bahkan Menag telah menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 660 Tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1442 H/2021 M.
 
Senada dengan Kepala Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu, batalnya penyelenggaraan ibadah haji tahun 2021, faktor utama adalah masalah kesehatan, keselamatan dan keamanan jemaah haji, yang dijelaskannya via acara diskusi daring, sebagaimana dikabarkan tempo.co, 8 Juni 2021.
 
Sementara itu, pengamat Kebijakan Publik, Ahmad Khozinudin, S.H. menanggapi bagaimana mungkin alasan utama pembatalan haji adalah kesehatan, keselamatan dan keamanan jemaah haji, padahal pemerintah Saudi belum mengumumkan resmi sikapnya terkait haji, juga soal pendemi. Kalau otoritas Saudi melarang, dan alasannya pendemi baru masuk akal. 
 
Lalu, jika itu inisiatif pemerintah untuk melindungi keselamatan dan kesehatan masyarakat, tentu jawabannya bukan dengan membatalkan haji. Tetapi, menyiapkan segala hal yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan jama'ah, seperti membuat alur protokol kesehatan, chek kepastian kesehatan jamaah, memilah mana yang layak diberangkatkan dan nama yang ditunda, memprioritaskan yang tua dan kesehatan memungkinkan, berkorban dengan Saudi untuk pelaksanaan protokol kesehatan di Saudi, dan seterusnya jelas Ketua LBH Pelita Umat
 
Ini jemaah tidak pernah dicek, kesiapan menghadapi haji di musim pandemi tidak dijelaskan, tidak pula berkoordinasi dengan otoritas Saudi, tiba-tiba membatalkan haji dengan alasan kesehatan dan keselamatan terkait pandemi. Wajar, jika rakyat berpraduga masalahnya bukan kesehatan dan keselamatan jamaah, tetapi faktor lain. Diantarnya, masalah ketidakprofesionalan penyelenggara dan ketidaksiapan anggaran (Faktakini.info, 09/06/2021).
 
Oleh sebab itu pemerintah dalam hal ini jangan gegabah bertindak, cepat, namun kurang tepat dalam mempertimbangkan masalah yang bakal muncul akibat pembatalan Haji ini. Akibat penundaan haji selama 2 tahun menyebabkan antrian haji semakin lama. Tahun tunggu untuk DKI saja 25 tahun. Artinya, untuk yang daftar haji tahun 2021 akan berangkat tahun 2046. Provinsi Kalimantan Selatan saja antriannya mencapai 38 tahun,sementara Masa tunggu naik haji untuk Sulawesi Tenggara sampai 24 tahun, daftar antrian yang ada 11 ribu orang, Subhanallah.
 
Kenapa antreannya begitu panjang? Ini bermula dari adanya dana talangan haji dan tabungan haji. Jadi para pendaftar yang notabene baru punya sedikit uang (belum mampu) sudah bisa pesan kursi. Belum lagi orang kaya yang sudah haji lebih dari satu kali
 
Jika dibandingkan pengaturan Islam, maka menyelesaikan persoalan terkait penyelenggaraan ibadah haji, dengan sistem yang diterapkan saat ini, sungguh jauh perbedaannya, KH. Hafidz Abdurrahman (Khadim Ma’had Syaraful Haramain) merincinya sebagai berikut: Pertama, negara menyiapkan departemen khusus yang saling terkait dalam mengatur urusan jamaah haji mulai dari persiapan, keberangkatan, pelaksanaan hingga kepulangannya.
 
Kedua, terkait ongkos naik haji (ONH). Besarnya biaya benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan para jemaah haji. Misalnya ongkos transportasi, penginapan, makan, dsb. Perhitungan ini tidak didasarkan pada asas untung rugi, apalagi dana haji diputar untuk bisnis atau investasi.
 
Sudut pandang yang harus dipakai oleh pemimpin adalah sudut pandang syariat bahwa pelaksanaan ibadah haji merupakan perintah Allah dan meringankan biayanya, memudahkan urusannya merupakan termasuk ketaatan kepada Allah.
 
Seperti pada masa Kekhalifahan Utsmani, Khalifah Sultan Abdul Hamid II membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Ini memudahkan para jemaah haji dari pelosok untuk bisa ikut berhaji.
 
Begitu pun yang dilakukan Khalifah pada masa Abbasiyah, Khalifah Harun ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Mekah—Madinah). Dan sepanjang jalan tersebut dibangun pos-pos logistik untuk para jemaah sekadar untuk istirahat maupun yang kehabisan bekal.
 
Ketiga, penghapusan visa haji dan umroh. Para jemaah hanya perlu menunjukkan kartu identitas saja.
 
Rumitnya administrasi dan birokrasi terkait pelaksanaan haji sebenarnya karena negeri kaum muslim tersekat oleh batas-batas nasionalisme. Dengan adanya daulah sebagaimana daulah Islam di masa lalu, maka masalah birokrasi dan administrasi akan dengan mudah diselesaikan.
 
Keempat, pembatasan kuota haji dan umroh. Pembatasan ini sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw bahwa untuk ibadah haji hanya wajib satu kali seumur hidup.
 
Ini dimaksudkan memberi kesempatan kepada saudara muslim lainnya untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji pun akan diperuntukkan bagi yang benar-benar mampu secara lahir batin, baik dari sisi kesehatan maupun finansial. Sehingga bagi yang belum mampu tidak usah dipaksakan berutang hingga haji dengan dana talangan.
 
Kelima, pembangunan infrastruktur area Mekah-Madinah tidak boleh menghilangkan situs-situs sejarah, sehingga ketika umat berkunjung ke sana, mereka masih bisa napak tilas perjuangan Rasulullah Saw.
 
Karenanya, polemik haji saat ini tidak terlepas dari sistem sekuler yang menjadikan materi (keuntungan) sebagai asasnya. Tidak ada lagi asas ketakwaan dalam mengurusi rakyat. Kebijakan demi kebijakan seolah tidak lagi memihak kepada rakyat.
 
Dengan demikian, hanya sistem islam yang telah terbukti menjamin keamanan, serta keselamatan rakyat. Masihkah ragu dengan jaminan dari Sang Maha Mengetahui, Allah Swt. Wallahu’alam bishawab.
 
 
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak