Oleh Ghazia Al-Ayyubi
(Guru & Aktivis Muslimah)
Krisis pangan sudah tidak asing lagi terdengar ditelinga kita. Banyaknya kabar duka yang memprihatinkan. Seperti kesulitan mendapat pangan, mahalnya harga pangan, sampai tidak menjumpai pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal tersebut sudah menjadi konsumsi publik yang saat ini tak pernah bisa tertutupi. Sebagaimana duka keluarga Suriah. Sepasang suami istri hanya bisa makan secuil roti. Sejak awal 2020 mereka telah berhenti makan keju dan daging. Keadaan sulit ini diperparah pula dengan kenaikan harga roti dan pembatasan pemerintah. Akhirnya mereka hanya mengandalkan secuil roti yang dicelupkan kedalam teh untuk menjadi asupan setiap harinya. (Republika.co.id, 30/5/2021)
Sungguh miris potret krisis pangan roti yang berstatus sebagai makanan pokok di Suriah. Tentu tidak dapat dibayangkan apabila secuil roti terpaksa menjadi makanan sehari-hari. pastilah, secuil roti yang dikonsumsi tidak mampu mencukupi kebutuhannya. Selain itu, seringkali warga Suriah melakukan perjalanan sampai melalui pos pemeriksaan untuk sekedar mendapat roti.
Dengan demikian, krisis Suriah terbilang sebagai konflik kekurangan pangan yang sangat menyedihkan. Bagaimana tidak, kebutuhan pangan yang bersifat pasti harus diganti hanya dengan secuil roti. Maka dari itu, peristiwa mengiris hati yang berlangsung selama bertahun-tahun ini, mesti segera tuntas sampai ke akarnya.
Krisis Gandum di Suriah
Jika ditilik, krisis ini berlangsung setelah 2011, yaitu sejak berkecamuknya konflik Suriah. Akibatnya, krisis gandum telah menyulap harga roti menjadi mahal. Hal tersebut membuat penderitaan mereka semakin bertambah.
Atas kesusahan warga Suriah mendapat roti, finalnya menuntun kita untuk memahami sebab-musabab terjadinya krisis yang semakin hari kian mengkhawatirkan.
Sebab Terjadinya Krisis
Sekurang-kurangnya ada tiga penyebab krisis Suriah. Pertama, konflik yang berlangsung selama satu dekade mengakibatkan krisis gandum semakin parah, lahan pertanian berkurang, pabrik pembuat roti terpaksa harus berhenti beroperasi karena konflik. Alhasil, memperoleh roti bagakan mencari air di padang pasir. Keberadaannya sangat diperebutkan warga Suriah.
Kedua, adanya kebijakan distribusi roti yang diskriminatif semakin memperparah kondisi. Artinya pemerintah membatasi jumlah roti bersubsidi yang boleh dibeli warganya. Hal ini semestinya tidak boleh terjadi, karena tugas negara adalah meriayah atau mengurus termasuk menjamin pemenuhan kebutuhan semua rakyatnya. Bukan malah membatasinya.
Ketiga, sistem pemerintahan kapitalisme-demokrasi, gagal atasi krisis. Penanggulangan pemerintah Suriah tentu menjadi perhatian cukup besar yang harus dipahami. Maka dari itu, kritikan Seorang peneliti Suriah di Human Rights Watch, Sara Kayyali mengatakan bahwa "jutaan orang kelaparan di Suriah, sebagian besar karena kegagalan pemerintah untuk mengatasi krisis roti yang ditimbulkannya," (Republika.co.id, 30/5)
Oleh karena itu, tiga sebab musabab ini harus diberantas sampai ke akarnya. Maka, satu-satunya jalan untuk memberantas krisis Suriah hanyalah dengan mengubur sistem pemerintahan demorasi-kapitalisme. Karena sistem inilah yang melenggangkan dua sebab pertama di atas. Yaitu konflik dan krisis yang semakin parah.
Islam Solusi Tunggal Atasi Krisis
Islam bukan sekedar agama, tetapi juga suatu mabda atau ideologi yang menyejahterakan umat. Umat akan dipenuhi haknya dengan baik hanya ketika Islam yang menjadi pengatur segala urusannya. Maka dari itu, syariat Islam pun mencakup pengaturannya dalam bernegara.
Kebijakan syariat akan gerak cepat dalam memberantas konflik yang terjadi di negaranya. Agar tidak semakin berpengaruh buruk pada lahan pertanian gandum yang menjadi bahan pangan pokok. Kemudian Islam juga senantiasa menjamin kebutuhan pangan setiap rakyatnya tanpa pandang bulu, karena hal itu adalah aktivitas meriayah atau mengurus umat yang menjadi kewajiban negara.
Pemerintah Islam yang sebelumnya pernah berdiri sekitar dua belas abad, juga terkenal dengan kecakapannya dalam memenuhi kebutuhan pokok warganya. Mencakup sandang, papan, dan pangan. Setiap warga dipastikan kebutuhan utamanya mampu terpenuhi dengan baik, meskipun saat terjadinya konflik.
Dengan demikian, umat harus menyadari penyebab krisis yang utama ini, agar hak warga tidak lagi menjadi korban di masa yang akan datang. Maka, berakhirnya konflik hanya akan terjadi saat hukum Islam dijadikan pengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Allah Swt berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
(QS. Al-Ma'idah [5]: Ayat 50)
Wallahu a'lam bishawab.