KPK Dilumpuhkan, Korupsi Menjadi-jadi, Islam Solusinya


 

Oleh : Hardi Jofandu 
(Konten Kreator Dakwah)


Korupsi di negeri ini sudah menjadi penyakit akut dan semakin menjadi-jadi. Dari tahun ke tahun, kejahatan korupsi masih saja marak dilakukan oleh para pejabat yang tidak berprikemanusiaan. Bahkan, dalam kondisi pandemi covid-19 pun --ditengah sulitnya ekonomi masyarakat --, perilaku korupsi malah makin menjadi-jadi, dari kasus suap benih Lobster sampai korupsi Bantuan Sosial. 

Kejahatan korupsi tentu saja merugikan negara dan masyarakat. Menurut ICW, sepanjang tahun 2020, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 56,7 Triliun. Angka ini 4 kali lipat lebih besar dari tahun 2019 yang hanya sekitar Rp 12 Trilliun. 

"Naik empat kali lipat dibanding tahun 2019, tahun 2019 kerugian negara sekitar 12 Triliun," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam diskusi Virtual, Senin (22/3/2021) 

Sementara itu, Lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang getol memberantas dan mengungkap korupsi, kini dilemahkan bahkan dilumpuhkan. Setelah dilemahkan dengan disahkannya revisi UU KPK, kini KPK dilumpuhkan hingga tak lagi berdaya dengan disingkirkannya 75 Anggota KPK yang selama ini menjadi tulang punggung KPK. Atas nama TWK (Tes Wawasan Kebangsaan), 75 Orang tersebut tersingkir. 

Penyebab Korupsi Marak 

Bila kita analisis, kejahatan korupsi setidaknya memiliki beberapa sebab, yaitu : 

1). Lifestyle atau Gaya Hidup Komsumtif 

Bila kita melihat pelaku-pelaku korupsi, mereka semua bukanlah orang miskin yang ekonominya sulit. Yang korupsi itu justru dari kalangan elit, orang-orang kaya. Artinya, mereka melakukan korupsi bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi untuk memenuhi gaya hidupnya (lifestyle)nya. Mereka ini hidup dalam ekosistem yang seolah-olah ada tuntutan untuk lebih lagi. Ingin punya villa disana-sini, ingin punya mobil dengan berbagai macam merek, ingin punya pesawat pribadi dan lain-lain. Ini tentu saja menjadi penyebab yang mendorong seseorang melakukan korupsi.


2). Politik Berbiaya Tinggi 

Tak bisa dipungkiri bahwa untuk menduduki jabatan di dalam sistem Demokrasi haruslah menggelontorkan biaya besar. Untuk pencalonan bupati dan walikota saja, KPK mengungkap bahwa biayanya berkisar Rp20-30 Miliar, sedangkan pencalonan gubernur berkisar Rp20-100 Miliar.


Tingginya biaya politik ini tentunya menjadi salah satu alasan maraknya kejahatan korupsi. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat terdapat 30 kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi selama tahun 2017. Terdapat indikasi aksi korupsi tersebut dilakukan untuk melancarkan dana pemilihan umum yang lampau. (Kontan.co.id, 20/02/2018). 

Jadi tidak diragukan lagi bahwa tingginya biaya politik menjadi penyebab terjadi praktik korupsi. 

3). Sanksi yang Ringan

Selama ini sanksi atas pelaku korupsi di negeri ini terbilang ringan dan tidak memberi efek jera bagi pelakunya. ICW menyebutkan bahwa rata-rata koruptor masih dihukum ringan. Berdasarkan pemantauan ICW, sepanjang Januari - Juni 2020, pelaku Korupsi rata-rata dihukum 3 tahun pidana penjara. 

"Rata-rata vonis untuk semester 1 2020 ternyata hanya 3 tahun penjara. Tentu ini ironis sekali karena masuk dalam kategori hukuman ringan berdasarkan penilaian ICW," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana saat pemaparan 'Hasil Pemantauan Tren Vonis Persidangan Perkara Korupsi Semester 1 tahun 2020' yang digelar secara daring, Minggu (11/10/2020). 

Menurut ICW hukuman ringan terhadap koruptor mempunyai 3 implikasi serius : 

Pertama : hal itu menegasikan nilai keadilan bagi masyarakat sebagai pihak yang terdampak korupsi. 

Kedua : Vonis ringan meluluhlantakan kerja keras penegak hukum yang telah bersusah payah membongkar praktik korupsi. 

Ketiga : menjauhkan efek jera baik bagi terdakwa maupun masyarakat. (Kompas.com)


Islam : Solusi Hakiki 

Sistem Demokrasi telah sangat nampak tidak mampu memberantas Korupsi yang ada di negeri ini. Sistem politik Demokrasi malah memberikan celah bertindak korupsi. Tak malu lagi korupsi dilakukan berjamaah dan saling membantu menutupi masalahnya. 

Islam memiliki problem solving atas segala masalah, termasuk dalam masalah korupsi. Setidaknya ada beberapa cara Islam membasmi korupsi, yaitu : 

1). Ideologi Islam 

Islam tidak sekedar mengatur ritual, tetapi juga mengatur kehidupan. Khususnya dalam pemilihan penguasa dan pejabat negara. Pemimpin negara (khalifah) diangkat berdasarkan ridha dan pilihan rakyat untuk menjalankan pemerintah sesuai dengan Al-Qur'an dan as-Sunnah. Begitupun dengan pejabat yang diangkat untuk melaksanakan syariah Islam. 

Pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota majelis umat memiliki sifta yang berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi. Ini untuk menekan korupsi, suap dan lainnya. Sekalipun demikian, tetap ada perangkat yang disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai negara. Selain itu, terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh dengan cara tidak syar'i, baik diperoleh dari harta milik negara atau milik masyarakat. 

Pemerintahan Islam akan membentuk Badan Pemeriksa Keuangan. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Dawlah Khilafah menyebutkan untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari badan pemeriksa keuangan. 

2). Takwa dan Zuhud 

Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Karena itu, ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela. 

Ditambah lagi, keimanan yang kokoh akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakn tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. 

Ketika takwa dibalut dengan Zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qonaah dengan pemberian Allah, maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Bukan dunia tujuannya, tetapi ridho Allah dan pahala menjadi standarnya. Mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat atau pegawai negara hanya sarana untuk izzul islam wal muslimin. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya. 

3) Politik Riayah 

Politik Riayah bertujuan untuk mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa. Bukan tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus. Karena itu, untuk menjamin loyalitas dan totalitas dalam mengurusi umat, pemerintahan Islam memberikan gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

Gaji cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier. Di dalam pemerintahan Islam biaya hidup juga murah karena politik ekonomi negara adalah menjamin pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif akan digratiskan pemerintah seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, jalan dan birokrasi. Adapun kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga yang murah. 

Perekonomian dalam pemerintahan Islam akan digerakkan dengan berbasiskan sektor riil yang akan memberikan lapangan kerja yang luas bagi rakyat (Abddurrahman Al-Maliki, Politik Ekonomi Islam) 

Sistem moneter yang diterapkan berbasis emas yang terbukti anti inflasi. Karena itu, harga-harga stabil dan rakyat tetap bisa menjangkau barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya. (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan dalam negara Khilafah)


Calon pejabat atau pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya, saat menjabat pun dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan maka diverifikasi apakah penambahannya itu syari atau tidak. Jika terbukti korupsi, maka harta akan disita dan dimasukkan di kas negara. Pelakunya akan diproses hukum. 

4). Sanksi tegas dan efek jera 

Sanksi tegas dalam Islam memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Karena itu hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmasisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. 

Khalifah Umar pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah yang saat itu menjadi gubernur Syam. (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah. Hlm. 123)


*** 

Sudah sekian lama, kasus korupsi tidak ada habisnya di negeri ini. Malahan, angkanya makin meningkat dan caranya pun beragam. Ya, kita sadari bahwa semua ini terjadi bukan hanya semata karena faktor individu, melainkan juga karena faktor sistem. Sistem Demokrasilah yang membuka celah bagi maraknya korupsi di negeri ini. 

Karena itu, kita seharusnya tidak lagi mengharapkan Demokrasi untuk membasmi korupsi. Sebagai muslim, kita yakin bahwa solusi dari semua ini hanyalah Islam yang hanya bisa diterapkan dengan adanya syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah. Wallahu a'lam bish shawab.[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak