Oleh : Eri *
Negara yang menganut sistem demokrasi selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dari nilai tersebut tercetuslah konsep 'Four Freedom' atau empat kebebasan yang meliputi bebas berpendapat, berekspresi, beragama dan memiliki. Empat kebebasan ini dijamin keberadaannya oleh negara dan diatur oleh perundang-undangan.
Sungguh ironi, retorika tak seindah fakta. Apalah artinya bila tindakan tak sesuai ucapan. Sering kali peraturan justru mengancam kebebasan berpendapat di negeri ini. Baru-baru saja pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) saat ini sedang melakukan sosialisasi terkait Rancangan Undang Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam draft RUU KUHP itu yang ditelisik JawaPos.com pada Senin (7/6), penghinaan terhadap martabat presiden dan wakil presiden dapat diancam 3,5 tahun penjara. Apabila menggunaan media sosial, diancam 4,5 tahun penjara. (jawapos.com 7/6/21)
Para ahli hukum menilai, pasal tersebut berpotensi disalahgunakan aparat. Bahaya multitafsir bisa terjadi sebab pasal dinilai kabur yang melahirkan kesewenang-wenangan. Termasuk Refly Harun menyebut bahwa draf terbaru RUU KUHP tersebut seakan membuat masyarakat kembali ke zaman orde baru dan penjajahan. "Jadi kita mau kembali kepada zaman orde baru dan jaman penjajahan ketika pasal-pasal di KUHP yang disebut pasal karet hendak dihidupkan kembali," ujarnya. (suara.com 8/7/21)
Pasal ini juga berpotensi tumpang tindih dengan UU ITE dan KUHP pasal pencemaran nama baik. Selain itu, menuai kontroversi lantaran dalam pasal tidak dijelaskan apakah penghinaan termasuk definisi penyerangan harkat dan martabat presiden. Anehnya, pasal penghinaan presiden yang diajukan ternyata peninggalan KUHP Belanda. Nampak, gaya kolonial penjajahan kembali diterapkan dengan membungkam suara kritis rakyat.
Fenomena ini, menggambarkan demokrasi telah mati. Undang-undang tidak mampu lagi melindungi hak rakyat untuk bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Janjinya memberikan ruang diskusi dan kritik sebagai proses mewujudkan pelayanan publik lebih baik hanyalah slogan belaka. Ini menegaskan lahirnya undang-undang karena penguasa yang antikritik.
Asas demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tapi tak mampu rakyat mengoreksi penguasa. Ancaman pidana selalu menghantui. Pemerintah menjadikan pasal ini sebagai tameng kekuasaannya. Dilihat, bagaimana pemerintah gencar mensosialisasikan RKUHP ke beberapa daerah dan berharap disahkan tahun ini.
Seharusnya, hukum melindungi seluruh lapisan masyarakat. Bukan tumpul ke atas, tajam ke bawah. Sehingga, ketidakadilan sering dipertontonkan. Menciptakan keadilan hakiki dalam sebuah sistem demokrasi tak lebih dari sebuah ilusi. Lalu, bagaimana Islam memberi ruang bagi rakyatnya dalam menyampaikan kritik atas kebijakan pemerintah?
Muhasabah atau kritik terhadap penguasa merupakan kewajiban umat Islam, termasuk amar ma'ruf nahi munkar. Allah subhanallah wa ta'ala berfirman dalam surat Ali Imran (3) : 110
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.”
Bahkan muhasabah atau kritik selalu dijaga eksistensinya dalam peradaban Islam. Pemimpin yang memberikan contoh terbaik dalam bersikap dan menerima kritikan adalah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam. Sikap ini pun diikuti oleh para sahabat dan Khalifah setelahnya.
Kita bisa belajar dari kisah sahabat yaitu Umar bin Khattab ra. Saat beliau menetapkan batas mahar seorang Muslimah adalah empat ratus dirham. Ada kekeliruan dalam keputusan beliau meski niatnya baik. Atas kebijakan tersebut, seorang Muslimah langsung menyampaikan kritikannya.
Muslimah itu mengingatkan Khalifah Umar tentang surat an Nisaa (4) : 20 terkait boleh memberikan mahar yang sangat banyak. Mendengar itu, Khalifah Umar tidak marah dan berkata "perempuan itu benar dan Umar salah. Ya Allah, ampunilah aku. Setiap orang lebih pintar dari ‘Umar,” keluh sang khalifah yang mendapat gelar “Al-Faruq” karena keislamannya merupakan pembatas antara seruan Islam secara sembunyi-sembunyi dan secara terang-terangan.
Masya Allah, sikap Khalifah sangat lapang menerima kritik. Selain itu, para pemimpin selalu mendorong dan mengapresiasi rakyatnya yang berani muhasabah kezaliman pemimpinnya. Bahkan tak segan untuk meminta maaf.
Politik dalam Islam adalah meriayah atau mengatur urusan umat berdasarkan syariat Allah subhanallah wa ta'ala. Sedangkan Khalifah sebagai pemimpin negara berkewajiban menerapkan syari'at Islam secara kaffah. Namun, Khalifah hanya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Sehingga, dibutuhkan peran rakyat untuk mengoreksi setiap kebijakan yang keluar dari syari'atnya.
Berbeda dengan sistem demokrasi yang memberi janji palsu, yang katanya menjamin kebebasan berpendapat. Baru menyampaikan kritik lewat media sosial, ancamannya bisa terjerat pasal UU ITE. Tak lupa diberi label radikal, ekstrimis dan tuduhan lainnya. Inilah sistem demokrasi kapitalis, apabila kritik mengganggu kepentingan pemerintah atau para kapital maka ancaman pidana didepan mata.
Maka jelas, selama sistem demokrasi yang diemban, kebebasan berpendapat hanya isapan jempol. Walhasil, apa yang harus umat lakukan saat ini adalah mencampakkan sistem kufur dan mengganti dengan sistem shahih. Sistem pemerintahan yang berbasis Islam yang menerapkan syari'at secara kaffah dalam bingkai Khilafah.
Waallahu a'lam bis shawwab.
*(Pemerhati Masyarakat)
Tags
Opini