Konflik dan Krisis Pangan Dunia, Umat Kian Menderita



Oleh : Wulan Ummu Nisa , S.Pd



Puluhan juta orang di tiap negara yang mengalami konflik berkepanjangan menderita kelaparan. Sebut saja Myanmar, negara yang masih hangat-hangatnya mengalami kudeta. Akibat dari ketakseimbangan politik di wilayah tersebut, tak lagi ditemukan lapangan pekerjaan. Pabrik-pabrik tutup, membuat warga jadi tuna karya. Mereka terpaksa bertahan dari tabungan atau bantuan (lenterasultra.com, 29/5/21).

Contoh lain adalah Suriah. Sebuah negara yang telah mengalami konflik selama satu dekade. Sebanyak 12,4 juta dari 16 juta warga Suriah menderita kerawanan pangan. Mereka harus berbagi roti, bahkan setiap hari harus makan secuil. Itupun jika mereka mendapatkan makanan pokok, kalau tidak mereka akan menahan lapar hingga esok harinya (republika.co.id, 1/6/21).

Penyebaran Covid-19 yang tak kunjung usai juga turut mewarnai kasulitan pangan dunia. Berbagai sektor ekonomi telah terpukul hebat akibat Covid-19 ini, termasuk ancaman bagi ketahanan pangan global. Menurut World Food Programme (WFP) 130 juta lebih masyarakat dunia terancam menghadapi kelaparan akibat pandemi ini. 

Telah diketahui secara umum bahwa ketahanan dan kedaulatan pangan di negeri ini sangat lemah akibat lalainya negara mewujudkannya. Jika saat tidak terjadi wabah saja problematik pangan tidak terselesaikan, apalagi pada saat menghadapi pandemi, ketidaksiapan pemerintah makin terlihat.

Di saat belahan bumi yang lain kelaparan,   masih ada negara yang mengalami surplus pangan. Negara-negara pelaku kapitalis, telah berhasil menggarong kekayaan SDA negara berkembang. Melalui perusahaan-perusahaan yang bercokol di negeri orang. Dalam sistem kapitalisme, negara melegalkan kapitalisasi pengelolaan pangan sehingga korporasi mengusai mayoritas rantai pasok pangan. Sementara pemerintah hanya sebagai regulator, fasilitator yaitu pembuat aturan dan kebijakan yang notabene lebih menguntungkan korporasi.

Inilah yang menjadi sumber penyebab krisis pangan Dunia. Selain itu sekat nasionalisme telah mampu mempengaruhi kemanusiaan untuk mengulurkan bantuan. Negara yang notabene sama-sama muslim, tak sedikit pun hati mereka tergerak untuk memberikan bantuan. Mungkin kapitalisme telah berhasil mendidik mereka menjadi individualis. Sehingga mereka berfikir, masalah negara lain bukan tanggung jawabnya, meskipun kepada saudara muslim.

Di tengah ketidakmampuan sistem kapitalisme neoliberal menyelamatkan manusia dari wabah, diikuti krisis multidimensi  yang terjadi akibat konflik. seharusnya makin menyadarkan kaum muslimin bahwa kita butuh sistem baru.
Sistem yang akan menyelamatkan manusia dan dunia dari berbagai malapetaka, serta membawa solusi yang akan menyejahterakan. Sistem hari ini telah gagal menyejahterakan manusia, baik pada saat tanpa wabah, terlebih lagi ketika terjadi wabah.

Satu-satunya harapan umat hanyalah kepada sistem Islam dan Khilafah. Inilah sistem yang dibangun di atas landasan wahyu Allah SWT dan dituntun oleh Rasulullah SAW serta dilanjutkan para Khalifah setelahnya. Sistem yang pernah berdiri 12 abad lebih ini, telah menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi berbagai krisis di masanya.

Khilafah juga  menyatukan wilayah di bawah satu perisai agar syu’ur keislaman terjaga. Jika ada saudaranya yang menderita, kaum muslim lainnya akan langsung mengulurkan tangan. Karena mereka merasa ada ikatan persaudaraan. Meskipun berbeda suku, warna kulit, bahasa hingga geografi. Tidak seperti saat ini, karena tak ada pemimpin yang satu dan sekat nasionalisme umat jadi terpecah dan individualis.

Negara yang menjadikan sistem Islam sebagai pijakan, akan senantiasa menjadikan rakyat sebagai tanggung jawabnya.  Waallu alam bishowab.

*Penulis dan Penggiat Literasi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak