Komisaris BUMN di Simpang Jalan, Antara Prestasi dan Balas Budi



Oleh : Ummu Hanif (Pengamat Sosial Dan Keluarga)

           Dunia perpolitikan Indonesia kembali memanas. Riuh rendah menggiring opini terkait penggangkatan beberapa nama, yang selama ini dikenal sebagai tim sukses Jokowi, sebagai komisaris BUMN. Sebut saja salah satunya, artis Abdi Negara Nurdin alias Abdee Slank yang diangkat menjadi komisaris PT Telkom pada Jumat (28/05/2021) kemarin. 

Tak hanya Abdee Slank, deretan nama ini juga mendapatkan jabatan sebagai komisaris BUMN. Mereka adalah Ahmad Erani Yustika (PT Waskita Karya), Dini Shanti Purwono (PT Perusahaan Gas Negara), Bambang Brodjonegoro (Telkom Indonesia), Budiman Sujatmiko (PT Perkebunan Nusantara V), Said Aqil Siradj (PT Kereta Api Indonesia), Wishnutama  (Telkom Indonesia), Eko Sulistyo (PT PLN), Dyah Kartika Rini (PT Jasa Raharja), Gatot Eddy Pramono (PT Pindad), Fadjroel Rachman (Waskita Karya), Kristia Budiyarto, dan Zuhairi Misrawi (PT Yodya Karya).
Bagi yang pro, mereka menyatakan bahwa penunjukan tersebut sudah mellaui proses yang cukup panjang. Dan mereka yang terpilih, diharapkan mampu memberi warna baru pada deretan BUMN yang dimaksudkan. 

Adapun yang kontra, mereka menilai pengangkatan para komisaris tersebut bukan karena kapabilitas mereka, melainkan karena politik balas budi. Salah satu yang berpandangan demikian adalah Waketum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas. Dalam wawancaranya dengan CNN Indonesia pada 30 Mei 2021, beliau menyatakan bahwa orang – orang yang didudukkan untuk menjadi pimpinan dari BUMN tersebut terutama untuk posisi sebagai komisaris adalah orang-orang yang dinilai oleh banyak pihak tidak tepat, tidak kompeten dan tidak mumpuni. Penunjukannya terkesan lebih banyak bernuansa sebagai balas budi, karena yang bersangkutan telah berkontribusi di dalam pilpres dan atau pemilu yang baru lalu.

Sebenarnya, kalau kita mau jujur, harusnya kita juga perlu khawatir dengan pemilihan personel yang belum memiliki cukup pengalaman untuk berada di koorporasi. Mengingat BUMN selama ini dijadikan mesin pertumbuhan ekonomi dan salah satu elemen utama untuk membiayai keperluan negara. Hal ini sebenarnya juga diaminkan oleh menteri BUMN, Erick Thohir , yang berencana memberikan training atau pendidikan untuk komisaris BUMN yang tidak memiliki pengalaman di korporasi agar memiliki pola pikir yang sama dengan BUMN.

Kekhawatiran ini tentu bukan tanpa alasan karena selama ini, akibat dikelola secara oligarki dan tidak profesional, BUMN tidak mampu tumbuh kuat dan profesional. Banyak BUMN yang gulung tikar ataupun menawarkan pensiun dini pada karyawannya.
PT Timah Indonesia, PT Indofarma, PT KAI, PT Hutama Karya, PT Garuda, PT Pertamina, PT Kertas Leces, PT Krakatau Steel, PT Dirgantara Indonesia, dan Waskita Karya merupakan sederet BUMN yang merugi.

BUMN adalah milik negara. Melalui BUMN, negara mengelola harta milik umum (rakyat) atau mengelola layanan untuk umum, sehingga poros kerja BUMN seharusnya adalah kemaslahatan rakyat, bukan kepentingan individu, kelompok, partai, atau rezim.
Banyaknya utang BUMN dan kerugiannya menunjukkan bahwa pejabat yang diserahi urusan ini telah menelantarkannya. Padahal penelantaran tersebut merupakan sebuah hal yang terlarang dalam Islam dan pelakunya akan berdosa.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut Imam Fudhail bin Iyadh, hadis ini merupakan ancaman bagi siapa saja yang diserahi Allah Swt. untuk  mengelola urusan publik (seperti BUMN), baik urusan agama maupun dunia, kemudian ia berkhianat. Maka, ia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga.

Disinilah pentingnya pola pikir Islam dalam mengelola dunia ini, yang selanjutnya dipraktekkan dalam sebuah negara yang berlandaskan sistem Islam, sehingga kemaslahatan umat bisa tercapai, bukan hanya kemaslahatan pribadi, golongan maupun partai.

Wallahu a’lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak