Oleh: Hasni Tagili, M. Pd.
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Pemerintah berencana akan menjadikan bahan pokok atau sembako, serta biaya pendidikan untuk dikenakan sebagai objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Rencana tersebut berdasarkan revisi Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Wacana itu pun menuai penolakan dari berbagai pihak, termasuk anggota DPR-RI, salah satunya Ketua Kapoksi Fraksi Nasdem Komisi XI DPR-RI yang membidangi masalah keuangan, Fauzi H Amro M,Si. Menurutnya, kebijakan tersebut sangat kontraproduktif dengan program pemerintah dalam melakukan pemulihan ekonomi di masa pandemi (Telisik.id, 13/06/2021).
Fauzi menambahkan, kalau sembako dan biaya sekolah dikenai PPN akan semakin menyulitkan masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang serba susah. Seharusnya kebijakan pemerintah hadir meringankan beban rakyat bukan menyusahkan rakyat. Mengingat, sembako merupakan komoditas yang penting bagi masyarakat, demikian halnya pendidikan, itu adalah hak asasi yang dijamin Undang-Undang, tak boleh diliberalisasi diserahkan pada mekanisme pasar.
Menilik kebijakan kontraproduktif ini, sesungguhnya dalam konstelasi kapitalisme, bukan suatu hal yang aneh jika negeri ini kerap mewacanakan pemungutan pajak, bahkan mempropagandakan tentang warga negara yang baik adalah yang taat pajak. Hal ini karena negeri kita memang negeri kapitalis, yang menjadikan tumpuan sumber pemasukan kas negaranya.
Dalam sistem kapitalisme yang menerapkan kebijakan ekonomi liberal, pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal. Kebijakan ini dianggap dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonomi dan bisnis karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak.
Karenanya, cara gampang mendapatkan dana segar guna menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang yang membengkak adalah dengan menjadikan pajak sebagai solusi menyelamatkan keuangan negara. Itulah sebabnya dalam sistem kapitalis, pajak menjadi sumber pendapatan tetap bagi negara.
Wajar jika kemudian, negara mempropagandakan dengan gigih terkait kewajiban membayar pajak, karena perekonomiannya memang bertumpu pada pajak. Akibatnya, semua jenis barang dikenakan pajak, bahkan yang sedang diwacanakan yaitu sembako, barang-barang kebutuhan pokok yang seharusnya dijamin keberadaannya oleh negara.
Selanjutnya bisa ditebak, rakyat lagi yang harus menanggung beban yang makin berat ini dan bisa dipastikan bahwa kesejahteraan makin jauh dari harapan. Jika kebijakan ini benar-benar akan diterapkan, maka sesungguhnya penguasa telah bertindak zalim terhadap rakyatnya.
Padahal, berbeda dengan sistem Islam, sumber pemasukan utama negara seyogianya tidak boleh berasal dari utang dan pajak. Lembaga Baitul maal diambil dari zakat, pajak, hasil dari barang-barang tambang, perusahaan-perusahaan lokal dan manca negara. Pada masa Umar pemasukan itu diambil dari harta zakat, ghanimah, fa'i, kharaj, jizyah, dan 'usyr.
Lebih detail, sumber-sumber pendapatan negara dalam sudut pandang Islam, pertama, zakat. Zakat ialah pembersih harta yang disandarkan pada keimanana kepada Allah, bahwa dalam setiap harta yang diperoleh terdapat hak fakir, miskin, dan enam asnaf lainnya. Harta yang telah mencapai nishab, wajib dizakati. Pun, zakat terbagi dua, yakni zakat fitrah dan zakat maal.
Kedua, jizyah. Jizyah berasal dari kata jaza artinya membalas jasa atau mengganti kerugian terhadap suatu perkara, atau terhadap perbuatan yang telah dilakukan. Jizyah adalah sesuatu yang diwajibkan terhadap harta yang dimiliki setiap individu dari golongan ahlu dzimmah (nonmuslim) yang tingga di dalam kekuasaan Islam dan telah mengikat perjanjian dengan pemerintahan.
Dalam Al-Qur'an, definisi jizyah telah dijelaskan dalam firman Allah SWT Q.S. At-Taubah ayat 29. Artinya, "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk."
Ketiga, ghanimah dan fa'i. Keduanya memiliki definisi harta rampasan perang. Bedanya, ghanimah diperoleh dengan peperangan secara fisik, sedangkan fa'i tidak. Penaklukkan secara mutlak tanpa peperangan secara fisik.
Keempat, kharaj. Kharaj adalah pajak yang dipungut dari tanah kharaj atau pajak yang dikenakan atas tanah yang dimiliki warga nonmuslim atau pajak tanah secara umum. Pajak atas tanah (land tax); Kharaj ini ditentukan berdasarkan tingkat produktivitas tanah (land productivity).
Dalam Al-Qur'an, definisi Kharaj telah dijelaskan dalam firman Allah SWT Q.S Al-Hasyr ayat 7. Artinya, "Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya."
Kelima, al-Usyr. 'Usyr berarti sepersepuluh dan merupakan pajak produk pertanian. 'Usyr yaitu bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingakt bea orang-orang yang dilindungi adalah 5% dan pedagang muslim 2,5%. Hal ini juga terjadi di Arab sebelum masa Islam, terutama di Makkah sebagai pusat perdagangan regional terbesar.
Ayat tentang Usyr. Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (TQS. Al-Baqarah: 267).
Wallahu 'alam bisshawab.