Keadilan Hukum Tunduk di Kaki Koruptor



Oleh: Dwi Aminingsih, S.Pd 
(Pemerhati Masalah Sosial dan Politik Islam)


Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memotong hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari dari sebelumnya 10 tahun menjadi empat tahun penjara dalam kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp 600 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan," demikian disebutkan dalam laman putusan Mahkamah Agung pada Senin, 14 Juni 2021 (suara.com, 15/06/2021)

Potongan hukuman itu diberikan lantaran Pinangki dinilai menyesali perbuatannya. Selain itu, hakim menilai Pinangki adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya (news.detik.com, 20/06/2021).

Kekecewaan vonis sunat oleh Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dirasakan oleh banyak pihak. Bagaimana tidak, orang yang sudah terbukti melakukan tiga kejahatan sekaligus justru mendapat keringanan hukuman. Tidak harus menjadi pakar hukum untuk bisa menilai apakah seorang Pinangki ini layak mendapatkan potongan hukuman dari 10 tahun menjadi 4 tahun. Apakah setiap terdakwa yang menyesali perbuatannya akan mendapatkan potongan hukuman? Apakah setiap terdakwa perempuan yang mempunyai anak balita juga mendapatkan potongan hukuman seperti Pinangki? Jawabannya tentu saja tidak karena bergantung siapa yang menjadi terdakwanya. Hukuman akan dipotong jika terdakwa adalah pejabat serta memiliki kekuatan finansial. Dan hal itu tidak berlaku bagi terdakwa yang bukan pejabat serta rakyat jelata.

Rakyat sudah sering disuguhi drama pemberian hukuman terhadap pelaku suap maupun korupsi yang tidak adil. Mereka yang seharusnya dijatuhi hukuman berat karena merugikan negara tapi malah diberi hukuman ringan bahkan seringkali kasus berhenti dan pelaku menghilang. Hukum menjadi tumpul dihadapan para koruptor di negeri ini. Kemana rakyat harus mencari keadilan jika hukum tebang pilih.

Itulah hukum sekuler. Tidak akan pernah memberikan kepuasan bagi seluruh rakyat. Hukum sekuler adalah hukum buatan manusia yang sudah pasti banyak kelemahan dan kekurangannya karena manusiapun juga makhluk yang lemah dan banyak kurangnya. Hukum sekuler juga hukum yang merujuk pada akal manusia berdasarkan suara terbanyak. Sehingga hukum yang dihasilkan sangat bergantung suara terbanyak datang dari suara siapa. Apakah suara rakyat atau suara sekelompok orang yang tidak peduli nasib rakyat? Dan seringkali yang terjadi suara terbanyak muncul dari sekelompok orang yang tidak peduli terhadap rakyat sehingga hukum yang dihasilkan tidak sejalan dengan rakyat. Hukum sekuler juga tidak memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan. Yang ada justru hukum seringkali dipermainkan dengan uang dan jabatan.

Sangat berbeda sekali dengan hukum di dalam Islam. Hukum Islam adalah hukum yang berasal dari Allah SWT, Dzat yang maha kuat dan maha sempurna. Maka hukum yang dibuat oleh Allah untuk manusia adalah hukum yang sempurna, yang memberikan kebaikan bagi manusia. Hukum Islam bersumber dari Al-Qur'an, As-sunah, ijmak sahabat, dan qiyas. Maka sudah pasti hukum yang dihasilkan adil tidak ada perselisihan karena merujuk pada Wahyu Allah SWT. 

Sanksi di dalam Islam juga bersifat sebagai jawabir (penebus dosa) yang artinya pelaku kemaksiatan jika sudah diberi sanksi seperti yang diperintahkan dalam Islam maka itu bisa menghapus dosanya sehingga di akhirat tidak akan dihukum lagi oleh Allah. Selain sebagai jawabir, sanksi dalam Islam juga sebagai jawazir (mencegah terjadinya kemaksiatan yang baru). Sanksi yang diberikan akan memberikan efek jera kepada pelaku dan kepada orang lain. Karena pemberian sanksi akan ditunjukkan kepada khalayak umum. 

Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya : 107)

Untuk itu, masihkah berharap kebaikan dan keadilan pada hukum sekuler? Cukup jelas di depan mata, potongan hukuman yang diberikan kepada Pinangki adalah bukti ketidakadilan dan akan terus berulang dengan kasus Pinangki - Pinangki yang lain. Saatnya bangkit menumbangkan sistem sekuler dan memperjuangkan sistem Islam agar negeri ini bersih dari suap dan korupsi. 

Rasulullah saw bersabda:
“Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” (HR. Abu Dawud)

Wallahu'alam bisshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak