Oleh
: Dina
RUU KUHP meluaskan definisi pemerkosaan,
salah satunya pemerkosaan suami terhadap istrinya (marital rape). Delik ini
saat ini sudah ada dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT).
"Marital Rape (Perkosaan dalam
Perkawinan) ditambahkan dalam rumusan Pasal 479 supaya konsisten dengan Pasal
53 UU 23/2004 tentang PKDRT yaitu tindak pidana kekerasan seksual berupa
pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat
delik aduan," kata Guru Besar hukum pidana UGM Prof Marcus Priyo Gunarto
dalam Diskusi Publik RUU KUHP di Hotel JS Luwansa, Senin (14/6/2021).
Sementara itu, Komnas Perempuan mengungkap
data aduan dari istri yang mengaku diperkosa suami.
"Berdasarkan Catatan Tahunan 2021,
jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk 2020.
Tahun 2019, data kasus mencapai 192 kasus yang dilaporkan," ucap
komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini.
Bagi Theresia, laporan itu menunjukkan
adanya kesadaran dari istri melihat bahwa ada tindakan yang disebut pemerkosaan
dalam rumah tangga.Perhatian dan keberanian melaporkan kasus perkosaan dalam
perkawinan menunjukkan kesadaran korban bahwa pemaksaaan hubungan seksual dalam
perkawinan adalah perkosaan yang bisa ditindaklanjuti ke proses hukum,"
katanya.
Dalam catatan detikcom, sedikitnya sudah
ada 2 kasus yang dikenakan pasal tersebut. Kasus pertama terjadi di Denpasar
pada 2015, yaitu Tohari memperkosa istrinya yang sedang sakit-sakitan. Beberapa
pekan setelah itu, Siti meninggal dunia. Atas hal itu, PN Denpasar menjatuhkan
hukuman 5 bulan penjara kepada Tohari.
Kasus kedua adalah Hari Ade Purwanto
memaksa istrinya berhubungan badan di sebuah hutan di Pasuruan, Jawa Timur,
pada 2011. Hari beralasan sudah kewajiban istri melayani suami, sesuai dengan
agama yang ia yakini.
Namun pembelaan diri Hari ditolak dan
akhirnya dihukum 16 bulan penjara. Putusan itu bergeming hingga tingkat kasasi
dengan ketua majelis hakim Prof Komariah E Sapardjaja serta hakim anggota
Suhadi dan Salman Luthan.
Marital rape merupakan istilah yang terus
digaungkan oleh para pengusung gender untuk menyerang hukum-hukum Islam
sekaligus melemahkan lembaga perkawinan
Islam. Termasuk Pemerkosaan adalah istilah yang tidak bisa diterapkan dalam kasus
kekerasan yang mungkin terjadi dalam rumah tangga, karena fakta dan solusi hukumnya
berbeda.
Kekerasan terjadi justru ketika diterapkan
hukum-hukum sekuler liberal yang akhir dari akal manusia yang lemah. Tatkala
hukum ini berlaku maka hanya kerusakan yang terjadi tak terkecuali dalam ranah
rumah tangga.
Mulai dari permasalahan ekonomi,
perselingkuhan dan sebagainya yang mana hal tersebut terjadi karena sistem
rusak yang diterapkan di negeri ini. Dan tak jarang hal tersebut memicu
perceraian semakin meningkat. Ditambah dengan individu suami dan istri tidak
memahami kewajiban dan hak masing-masing dalam rumah tangga maka kekerasan
antar kedua belah pihak seolah menjadi solusi atas permasalahan yang mereka
hadapi.
Berbeda dengan sistem Islam. Sistem yang
lahir dari Sang Khaliq yang terbukti mampu memberikan kesejahteraan dan
berhasil mencetak generasi cemerlang yang tumbuh dari keluarga Muslim.
Dalam Islam, negara akan ikut berkontribusi
dalam menciptakan lingkungan keluarga yang sesuai dengan syariat. Memberikan
edukasi yang benar mengenai hak dan kewajiban suami istri.
Hubungan suami-istri dalam konteks
kewajiban mereka mengurus kehidupan rumah tangga adalah relasi yang bersifat
ta’awwuniyyah (hubungan saling menolong dan membantu). Seorang suami bertugas
mengerjakan tugas-tugas yang ada di luar rumah.
Adapun istri berkewajiban mengerjakan
tugas-tugas di dalam rumah. Seorang suami berkewajiban menyediakan pembantu
untuk membantu tugas-tugas yang tidak bisa ditunaikan istri.
Dalil yang melandasi pasal ini adalah Sunah
Nabi saw. Imam Ibnu Abiy Syaibah menuturkan sebuah riwayat dari Dhamrah bin
Habib yang berkata, “Rasulullah saw. telah menetapkan atas putrinya, Fathimah
ra. untuk mengerjakan tugas-tugas (di dalam rumah) dan telah menetapkan atas
‘Ali ra, mengerjakan tugas-tugas di luar rumah.” (HR Ibnu Abiy Syaibah dalam
Mushannif Ibnu Abiy Syaibah).
Ketika kedua belak pihak suami dan istri
Memahami hak dan kewajibannya masing-masing serta berupaya maksimal menjalankan
perannya maka bukan hal yang mustahil keharmonisan keluarga dapat tercapai
didukung pula sistem negara yang baik yang tidak membebankan keluarga
masyarakat dengan sulitnya ekonomi maupun pergaulan yang salah sehingga tak
perlu adanya aturan-aturan baru dibuat terlebih hal itu sejatinya tidak
menyelesaikan permasalah keluarga.