Sri Gita Wahyuti A. Md
Ibu Rumah Tangga Aktivis Pergerakan Muslimah
Kamis, 3 Desember tahun lalu, saat menghadiri Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2020 Provinsi Jabar dengan tema "Bersinergi Membangun Optimisme Pemulihan Ekonomi" di kota Bandung,
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memprediksi bahwa pada tahun 2021 ini, provinsi Jawa Barat akan mengalami krisis pangan, sebagai pengaruh dari adanya penutupan impor dari negara pengekspor beras seperti Vietnam dan Thailand, sejak semester dua tahun 2020 terkait pandemi Covid-19. Dikutip Pikiran Rakyat, 4/12/2020)
Penyebaran Covid-19 memang belum berhenti. Bahkan semakin meluas. Selain tingginya korban meninggal, wabah ini membawa dampak buruk pada politik dan ekonomi. Juga menjadi ancaman bagi ketahanan pangan global. Berbagai sektor ekonomi terpukul hebat, diakibatkan oleh Covid-19 ini. Menurut World Food Programme (WFP) 130 juta lebih masyarakat dunia terancam menghadapi kelaparan.
Sebelum terjadi wabah, diperkirakan terdapat 22 juta jiwa rakyat Indonesia menderita kelaparan kronis serta rawan pangan. Ini terjadi di 88 kabupaten/kota seperti disebutkan data ADB dan Kementan. Jika pemerintah lalai dalam membangun ketahanan dan kedaulatan pangan, kondisi ini akan semakin parah.
Kurangnya upaya pemerintah mengantisipasi kondisi nonteknis, seperti perubahan iklim dan serangan hama mengakibatkan stok pangan menjadi langka. Belum lagi, sejumlah komoditas seperti beras, gula dan daging masih tergantung pada impor. Karena kebijakan penekanan pandemi corona di negara eksportir, maka impor pun menjadi terganggu. Ini menyebabkan barang-barang tersebut menjadi mahal dan langka.
Inilah salah satu gambaran lemahnya ketahanan dan kedaulatan pangan di negeri kita. Dalam keadaan normal saja, pemerintah abai apalagi dalam kondisi pandemi. Selama ini pengelolaan pangan dikuasai oleh para korporasi sedangkan pemerintah hanya menjadi regulator pembuat kebijakan yang menguntungkan korporasi tersebut. Demikianlah, jika pangan suatu negara bergantung kepada negara lain, maka negara mudah untuk dijajah dan dikuasai.
Hal ini berbeda dengan politik pertanian yang terdapat pada sistem Islam yang mengacu pada peningkatan produksi pertanian dan distribusi pangan yang adil. Dengan sistem Islam negara akan menghentikan keran impor dan memberdayakan sektor pertanian.
Negara juga akan menetapkan kebijakan intensifikasi pertanian dengan cara meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara mengupayakan penyebarluasan dan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani, membantu pengadaan berbagai sarana produksi pertanian seperti mesin-mesin, benih unggul, pupuk dll.
Negara juga akan menetapkan kebijakan extensifikasi pertanian dengan cara membuka lahan-lahan baru, menghidupkan tanah mati dan memerintahkan kepada orang yang memiliki tanah untuk mengelola tanahnya. Bagi yang membutuhkan modal, negara akan memberinya dari baitul mal, sehingga para pemilik tanah bisa mengelola tanahnya secara optimal. Jika pemilik tanah mengabaikannya selama tiga tahun, maka tanah tersebut akan diambil alih dan diberikan kepada yang lain.
Negara juga melarang penimbunan barang dan permainan harga di pasar. Larangan tersebut menjadikan stabilitas harga pangan akan terjaga sehingga bisa dipastikan tidak akan terjadi kelangkaan barang di tengah-tengah masyarakat.
Kebijakan distribusi pangan dilakukan dengan cara melihat kebutuhan pangan per kepala, agar berapa banyak kebutuhan yang harus dipenuhi negara untuk setiap keluarga, bisa diketahui.
Dari sini jelaslah, jika negara menerapkan sistem Islam, maka ketahanan pangan akan terwujud dan Indonesia akan menjadi negara yang mandiri tanpa ketergantungan kepada negara lain.
Wallahu a'lam bishshawab.