Oleh : Ummu Hanif
(Pengamat Sosial dan Keluarga)
Isu serbuan impor daging ayam Brazil membayangi para peternak dan konsumen di dalam negeri. Peluang impor ayam dari Negeri Samba ini terbuka setelah Brazil memenangkan gugatan di WTO, yang meminta Indonesia membuka pasarnya untuk ayam dari Brazil.
Namun, terdapat sejumlah pertanyaan tentang pembukaan keran impor ayam Brazil ini. Selain persoalan keseimbangan pasar di dalam negeri dan soal perlindungan peternak, ada satu hal lain yang mencuat, yakni soal kehalalan ayam impor dari Brazil tersebut.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan menyatakan bahwa Indonesia belum sepenuhnya kalah dalam sengketa dengan Brazil terkait impor ayam. Pasalnya, saat ini pemerintah sedang mengajukan banding atas keputusan WTO tersebut. Sehingga, isu Indonesia akan kebanjiran impor ayam tidaklah benar. (www. cnnindonesia.com, 31/5/2021)
Bukan hanya Brazil yang menggugat Indonesia ke WTO terkait dengan aturan perdagangan. Uni Eropa misalnya, pada 2019 menggugat Indonesia terkait dengan pembatasan ekspor nikel, bijih besi, dan kromium yang digunakan sebagai bahan baku industri baja nirkarat Eropa. Kasus lainnya pada 2013, AS mengajukan gugatan ke WTO terkait kebijakan impor produk hortikultura. AS menganggap Indonesia terlalu protektif terhadap petani lokal.
Menghadapi gugatan – gugatan ini, Indonesia pun tak memiliki pilihan selain mengikuti putusan WTO dan menjalankannya dengan menderegulasi kebijakan perdagangan. Ironis memang, melindungi rakyatnya sendiri dari cengkraman aturan dagang dunia, pemerintah kita tidak bisa.
Demikianlah adanya, aturan main perdagangan bebas yang menjadi strategi Barat untuk menguasai dunia telah menyandra Indonesia. Atas nama kebebasan hak milik dalam hubungan perdagangan internasional, pemaksaan negara besar pada negara ketiga sah dilakukan. Dan di saat yang sama pula, produk negara – negara ketiga sangat sulit masuk ke negara maju. Dengan alasan kualitas ataupun kontinyuitas produk. Selain itu, negara makmur kerap menggunakan standar dan tarif untuk memproteksi dan menstabilkan pasar domestik mereka.
WTO sebagai organisasi dagang internasional, sebenarnya adalah kepanjangan tangan dari negara imperalis untuk terus menancapkan cengkramannya di negara – negara ketiga. Bersama bank dunia dan IMF, WTO membuka ruang perdagangan bebas dan mengurangi intervensi pemerintah terhadap pasar melalui berbagai skema, seperti demokrasi dan desentralisasi. Jebakan utang pun diberikan pada negara-negara ketiga dengan dalih percepatan pertumbuhan ekonomi. Padahal, semua itu adalah upaya negara kapitalis dalam menghegemoni ekonomi dunia. Pasar bebas adalah cara atau mekanisme mereka menghentikan campur tangan negara dalam perdagangan khususnya, dan kegiatan perekonomian pada umumnya.
Dalam pandangan Islam, perdagangan luar negeri islam (Khilafah) bersifat tidak bebas. Khilafah tidak berhubungan dengan negara kafir yang memerangi kaum muslimin, selain untuk urusan perang. Melakukan ekspor dan impor dengan negara tersebut hukumnya haram.
Sedangkan ekspor impor dengan negara kafir tapi tidak memerangi kaum muslimin, adalah boleh dengan beberapa ketentuan. Seperti tidak boleh menjual persenjataan, sistem komunikasi alat-alat berat dan strategis lain, jika komoditas tersebut digunakan untuk memerangi Khilafah. Adapun barang lain yang tidak strategis, seperti pakaian dan makanan, boleh menjualnya. Namun, dilarang jika ketersediaan komoditas tersebut sedikit dan membahayakan ketahanan pangan dalam negeri.
Maka dari itu, perdagangan luar negeri negara Khilafah sepenuhnya dikontrol penguasa. Warga negara Khilafah, baik muslim ataupun nonmuslim, dilarang melakukan perdagangan luar negeri tanpa seizin Khilafah.
Demikianlah islam mengatur sangat rinci perdagangan luar negerinya, semua itu bertujuan untuk menyelamatkan negara dan masyarakatnya, sehingga negara yang menerapkan sistem islam tidak akan tersandra aturan perdangan dunia. Dan penerapan sistem ekonomi islam secara sempurna, akan menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi warga negaranya, bahkan dunia. Wallahu a’lam bi ash showab.