Oleh Cahaya Septi
Penulis dan Aktivis dakwah
Korupsi merupakan musuh bersama semua masyarakat, sistem dan ideologi. Korupsi juga telah dianggap sebagai salah satu musuh besar kemanusiaan. Di negara mana pun, pemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda besar negara yang memerlukan upaya besar pula mengatasinya.
Karena penyebab terbesar munculnya perilaku korup berasal dari sistem, maka upaya yang mampu menghilangkan korupsi hingga ke akarnya harus dilakukan secara sistemik.
Sistem yang Anti Korupsi
Pemberantasan korupsi sangat ditentukan oleh sistemnya. Karena itu pemberantasan korupsi harus dimulai dengan meninggalkan sistem yang terbukti korup dan gagal memberantas korupsi. Lalu diikuti dengan mengambil dan menerapkan sistem yang benar-benar anti korupsi. Sistem itu tidak lain adalah sistem Islam.
Dalam sistem Islam, hukum juga tidak bisa diutak-atik. Apalagi ditetapkan sesuka hati oleh penguasa. Sebabnya, hukumnya adalah hukum Allah Swt. Bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah yang di-istinbath dengan istinbath syar’i yang sahih.
Dalam sistem Islam, perubahan hukum atau undang-undang untuk melemahkan pemberantasan korupsi, termasuk melemahkan lembaga pemberantas korupsi, tidak akan terjadi. Tentu masih banyak lagi aspek mendasar dalam sistem Islam yang menjamin sistem ini benar-benar anti korupsi.
Adapun secara praktis, pemberantasan korupsi dalam sistem Islam di antaranya dilakukan melalui beberapa upaya berikut ini.
Pertama: Penanaman iman dan takwa, khususnya kepada pejabat dan pegawai. Aspek ketakwaan menjadi standar utama dalam pemilihan pejabat. Ketakwaan itu akan mencegah pejabat dan pegawai melakukan kejahatan korupsi.
Kedua: Sistem penggajian yang layak sehingga tidak ada alasan untuk berlaku korupsi.
Ketiga: Ketentuan serta batasan yang sederhana dan jelas tentang harta ghulul serta penerapan pembuktian terbalik. Rasul saw. bersabda:
“Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul". (HR Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim)
Hadits ini mengisyaratkan: Pendapatan pejabat dan aparat hendaknya diungkap secara transparan sehingga mudah diawasi. Harta pejabat dan aparat harus dicatat, bukan hanya mengandalkan laporan yang bersangkutan.
Keempat: Hukuman yang bisa memberikan efek jera dalam bentuk sanksi ta’zîr. Hukuman itu bisa berupa tasyhir (pewartaan/ekspos), denda, penjara yang lama bahkan bisa sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan dampak korupsinya. Sanksi penyitaan harta ghulul juga bisa ditambah dengan denda. Gabungan keduanya ini sekarang dikenal dengan pemiskinan terhadap para koruptor.
Pemimpin Komandan dan Teladan
Sistem yang benar-benar anti korupsi tidak bisa jalan sendiri. Aktivitas dan efektifitas pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh aparatur yang anti korupsi itu sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh karakter pemimpin. Di sini diperlukan pemimpin “komandan” dan teladan.
Pemimpin ini memiliki ketakwaan. Rasa takutnya kepada Allah Swt. dan siksa-Nya begitu menghujam dalam kalbunya. Hal ini akan membuat dia konsisten dan konsekuen menjalankan hukum dan pemerintahan. Dia akan sangat keras menjaga harta rakyat dan negara. Bagi dia, tidak boleh ada harta rakyat dan negara yang hilang atau tersia-sia apalagi dikorupsi.
Pemimpin teladan hanya akan menunjuk dan memilih pejabat dari orang-orang terbaik, yang bertakwa serta memiliki kapasitas dan profesionalitas. Dia tidak akan menunjuk pejabat karena kedekatan, hubungan, kekerabatan, kolega, pertemanan dan kelompok.
Pemimpin yang baik akan bersikap tegas kepada siapapun, bahkan terhadap orang-orang dekatnya sekalipun. Dia tidak akan melindungi pejabat, kolega, kelompoknya atau siapapun yang terjerat korupsi.
Pemimpin yang baik itu memiliki ketegasan seperti dicontohkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra.
Jika Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali atau ‘amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitul Mal. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan juga Amr bin al-‘Ash (Ibnu ’Abd Rabbih, Al-’Iqd al-FarId, I/46-47).
Khalifah Umar pun bersikap tegas terhadap keluarganya sendiri. Ketika melihat unta milik Abdullah bin Umar paling gemuk di antara unta yang digembalakan di padang gembalaan umum, beliau menyuruh Abdullah bin Umar menjual unta itu. Lalu kelebihan dari modalnya dimasukkan ke kas negara. Khalifah Umar menilai, unta itu paling gemuk karena mendapat rumput terbaik mengingat Abdullah bin Umar adalah putra Khalifah.
Sementara saat ini banyak pejabat-pejabat atau petinggi negara yang korupsi, namun keberadaannya seolah dilindungi, mereka tidak peduli nasib rakyat, baginya uang dan jabatan semata. Padahal harta itu tidak akan dibawa mati dan sudah jelas korupsi itu tindakan curang karena mengambil milik orang lain tanpa hak, pelakunya berdosa dan di akhirat kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
WalLah a’lam bi ash-shawab.
(Sumber: Buletin Kaffah)
Tags
Opini