(oleh : Ummu Hanif, Penggamat Sosial dan Keluarga)
Konflik Israel dan Hamas kembali meletus pada 10 Mei 2021 lalu, beberapa hari sebelum Idulfitri. Alasan Hamas meluncurkan serangan roket adalah membalas sikap aparat keamanan Israel yang menghalangi dan menyerang warga Palestina saat beribadah di kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem.
Selain itu, mereka juga membalas sikap pemukim Israel karena hendak mengusir para penduduk Palestina yang menetap di kawasan Sheikh Jarrah, sebelah timur Yerusalem. Perseteruan sengit antara Hamas dan Israel ini, membuat puluhan ribu warga Palestina kehilangan tempat tinggal dan mengungsi.
Sementara itu, berbagai pemimpin dunia islam mengusulkan dan berupaya memfasilitasi adanya gencatan senjata antara Palestina-Israel. Seperti halnya Uni Emirat Arab (UEA) yang siap memfasilitasi perdamaian Palestina-Israel. Sedangkan Organisasi Kerja sama Islam (OKI) menyatakan bahwa untuk mencapai perdamaian abadi harus dengan dialog, solusi dua negara, dan resolusi PBB (aceh.tribunnews.com, 23/05/2021).
Ada juga Sudan yang menyatakan hal serupa. Bagi Sudan, normalisasi dengan Israel disambut baik. Kunjungan pejabat Israel ke Sudan juga disambut baik dalam beberapa bulan terakhir (kumparan.com, 22/05/2021).
Kalau kita meruntut sejarah, sudah berapa kali upaya gencatan senjata antara Palestina dan Israel telah terjadi. Namun tentu kita masih sangat mengingat, semua hanya sekedar seremonial. Israel kembali berulah, dan darah kembali tumpah.
Sejatinya, gencatan senjata yang diusulkan berbagai pemimpin dunia Islam hanya menegaskan tiadanya pembelaan sempurna terhadap saudara muslim Palestina. Di sisi lain, gencatan senjata juga dapat dimanfaatkan oleh zionis Israel untuk memulihkan kekuatan dan kembali melakukan pengkhianatan, sebagaimana yang sudah terjadi selama ini.
Dan seperti yang telah di duga, Pasukan militer Israel menyerang warga Palestina kembali di sekitar masjid Al-Quds, padahal Israel-Palestina sedang dalam kesepakatan gencatan senjata. Pertempuran lanjutan antara Israel dan Hamas di Gaza tak terelakkan lagi. Korban makin banyak berjatuhan.
Serangan udara Israel di jalur Gaza telah menewaskan sebanyak 244 orang selama 11 hari konflik. Sedikitnya 232 warga Palestina, termasuk 65 anak-anak. Sedangkan Israel melaporkan 12 warganya, termasuk 2 anak-anak, terbunuh akibat serangan roket Hamas. (kompas.com, 21/05/2021)
Yang selalu menjadi pertanyaan, kemana kekuatan militer negeri-negeri muslim di sekitar Palestina, bahkan di dunia? Bukankah secara data, kekuatan militer negeri-negeri muslim lebih besar dibandingkan negara Israel jika disatukan? Belum lagi jika dihitung kekuatan militer negeri-negeri muslim yang lebih besar. Tetapi kenapa tidak juga dilakukan? Kenapa dunia Islam enggan mengerahkan militernya? Apa hambatan “laten” yang membuat negeri-negeri muslim seakan mati kutu menghadapi ketidakadilan ini? Apa bahaya besar yang akan dihadapi negeri-negeri muslim jika berani melawan Israel dan sekutunya?
Sebagaimana yang dilansir www.viva.co.id, pada 9 september 2020, Organisasi Global Firepower (GFP) merilis hasil pemeringkatan negara berdasarkan basis kekuatan militer. Pemeringkatan tersebut menggunakan lebih dari 50 faktor untuk menentukan skor indeks kekuatan militer atau PowerIndex (PwrIndx) dengan kategori mulai dari kekuatan militer, produksi minyak, keuangan, hingga logistik. Dan ada lima negara muslim dengan kemampuan militer mumpuni, yaitu Mesir, Turki, Iran, Pakistan, dan juga Indonesia. Sebagai contoh, Mesir. Mesir memiliki total 920 ribu personel militer, dengan perincian personel aktif 440 ribu, personel cadangan 480 ribu. Kekuatan militernya meliputi darat, laut, dan udara.
Kekuatan militer udara Mesir meliputi jet tempur, pesawat militer, pesawat serang, helikopter, helikopter serang, dan lainnya. Kekuatan daratnya meliputi tank dan kendaraan lapis baja. Sedangkan kekuatan lautnya meliputi kapal selam dan angkatan laut. Selain itu, kekuatan militer Mesir dari aspek sumber daya alam dan logistik juga besar. Produksi minyak Mesir mencapai 589.400 barel per hari (bph).
Belum lagi jika dihitung kekuatan militer negeri-negeri muslim yang lebih besar. Jika ini semua diatur dengan rapi sedemikian rupa, apalagi ada persatuan politik dan ideologis negeri-negeri muslim ini menjadi satu, bisa kita bayangkan betapa sebenarnya kaum muslimin bisa dan bahkan dengan mudah menghentikan kezaliman negara Israel dan sejenisnya.
Namun ternyata, kekuatan besar negeri muslim itu harus lunglai karena telah terbelenggu kesepakatan terkait jeratan hutang. Demikianlah negara-negara besar termasuk Israel dengan ideologi kapitalismenya selalu berusaha dan telah berhasil mengukuhkan pengaruhnya dan mencengkeramkan kekuatannya atas negeri-negeri muslim, lewat jerat ekonomi.
The Economist mencatat utang Arab Saudi mencapai US$118,37 miliar pada 2020. Jumlah tersebut setara 14,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara itu. Utang Uni Emirat Arab mencapai US$174,46 miliar di 2020. Jumlah tersebut setara 14,8 persen dari PDB negara produsen minyak itu. Utang Qatar mencapai US$63,03 miliar di 2020. Jumlah tersebut setara 16 persen dari PDB negara tersebut. Sedangkan negara Islam lainnya, yang juga memiliki utang versi data Bank Dunia antara lain, Mesir sebesar US$98,70 miliar di 2018, Iran sebesar US$6,32 miliar, Lebanon US$79,34 miliar, Turki US$445,13 miliar, Tunisia US$34,66 miliar, dan Turkmenistan US$907,33 juta. Bagaimana dengan Indonesia? Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri Indonesia pada akhir Mei 2020 sebesar US$404,7 miliar. Nilai itu setara Rp5.922 triliun (kurs Rp14.633 per dolar AS) (cnnindonesia.com, 20/07/2020).
Demikianlah permainan negara-negara besar yang memiliki kapital besar, didukung sistem riba kapitalisme. Mereka menjerat dunia Islam dengan utang dengan imbal balik bunga tinggi, atau dengan imbal balik politik yang tentunya berbuntut panjang. Terjadilah semacam normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel dan berlaku seperti itu sepanjang masa karena dunia Islam sudah dipegang titik terlemahnya oleh Barat.
Konflik Israel-Palestina sejatinya adalah konflik agama dan ideologi. Tidak hanya soal hak asasi manusia atau masalah kemanusiaan semata. Maka sejatinya kaum muslimin butuh pelindung sejatinya, yakni institusi negara. Tak ada lain untuk mewujudkannya, selain dengan bersatunya kaum muslimin di bawah panji Tauhid. Tak ada lagi sekat nasionalisme yang menghalangi, kaum muslimin satu membela kaum muslimin yang lain.
Wallahu a’lam bi ash showab.