Oleh: Mauli Azzura
Masih menjadi kesedihan saat bulan ramadhan berlalu dengan cepat, dan dalam keadaan masyarakat yang masih menjalankan hari raya Idul Fitri dengan diselimuti ancaman pandemi covid-19. Seperti tahun sebelumnya, larangan mudik dan berkerumun juga masih digencarkan demi meminimalisir penyebaran virus covid-19.
Setelah sebulan berpuasa dan mengharapkan ampunan dosa dari Allah, maka kaum muslimin telah kembali pada yang fitrah.
Allah berfirman,
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
(QS. Ar-Rum: 30)
Pasti, di hari yang fitri akan menjadikan kita semakin bersyukur. Mungkin juga, bisa sebagai bahan untuk instropeksi baik dari individu, masyarakat. Bahkan, sebagai umat Rasulullah terutama dalam hal rasa syukur yang luar biasa, karena ditengah-tengah wabah pandemi covid-19, dan situasi memilukan dengan melihat saudara-saudara kita di Palestina tentu akan menjadikan kita semua sebagai hamba yang selalu bersyukur. Sebab, masih bisa menikmati hidup dengan normal dan berkecukupan.
Saat memandang saudara-saudara kita yang tengah panik dan waspada akan serangan zionis. Kita disini masih harus berdiam dan mematuhi kebijakan agar covid-19 tidak menyebar makin luas, sementara kita disini masih harus berdiam dan mematuhi kebijakan tersebut. Pentingnya muhasabah dan banyak-banyak beristighfar untuk kehidupan saat ini yang mungkin belum tentu kita akan menjumpai Ramadhan tahun berikutnya. Itulah seharusnya sikap kaum muslimin dalam menjalankan kehidupan sekarang.
Namun, karena masyarakat dilemahkan dengan peraturan dan kebijakan, maka masyarakat tidak punya pilihan lain selain mematuhinya. Seperti, adanya larangan mudik, tetapi membuka tempat wisata. Begitu pula, adanya larangan pergi ke sekolah, tapi tetap halal bihalal dan sebagainya. Mirisnya, peraturan dan kebijakan tidaklah dianggap memiliki keadilan sesuai sila ke 5.
https://www.babe.news/article/i6965711964353856001?app_id=1124&c=fb&gid=6965711964353856001&impr_id=6965823284966852865&language=id®ion=id&user_id=6806196524332385281
Sangat miris, negeri dengan aturan kapitalis buatan manusia, di mana saat kita seharusnya tetap taat selepas Ramadhan, malah kepemimpinan mempertontonkan kemaksiatan dengan dalih halal bihalal. Bukannya sepeninggal Ramadhan menjadikan kita semakin taat, tetapi para pemimpin menunjukan kemaksiatan secara jelas. Bahkan, kemaksiatan tersebut dianggap wajar karena masyarakat kita merasa sudah biasa melakukannya.
Ternyata, pasca Ramadhan tidak memberikan rasa takut yang besar kepada Allah, malah sebaliknya, yakni terjebak pada berbagai aktivitas keharaman.
Seperti inilah saat sistem Islam diabaikan. Gambaran-gambaran kemaksiatan bebas di perlihatkan karena mereka mempunyai jabatan dan wewenang. Berbeda dengan sistem Islam yang akan menerapkan syariat dalam seluruh pengaturan kehidupan individu, masyarakat dan bernegara, serta memastikan seluruh umat bisa meraih takwa, maka sistem Islam akan mengatur semua kegiatan dan aktivitas masyarakat yang pasti jauh dari kemaksiatan yang mengarah pada keharaman dan dosa.
Wallahu a'lam bishshowab