Oleh: Sulastri (Relawan media).
Beralihnya pola transaksi masyarakat dari yang
sifatnya manual menjadi digital, nyatanya telah merubah segala aktivitas masyarakat. Digitalisasi terjadi
nyaris di semua sektor. Proses ini pada akhirnya memaksa manusia untuk
melakukan berbagai macam hal di dunia digital.
Migrasi aktivitas manusia ke ranah digital telah
membuka celah terbukanya bisnis baru, utamanya dilakukan oleh mereka yang tak
peduli batasan kepemilikan dan pemanfaatannya, serta halal haram dunia bisnis.
Kasus kebocoran data pada dasarnya telah ada sejak
arus perkembangan teknologi kian pesat dan penggunaan internet untuk kebutuhan
bisnis serta memudahkan interaksi antara manusia. Beberapa peristiwa kebocoran
data yang pernah dialami penduduk Indonesia, Sebagaimana yang dilansir CNN
Indonesia.com(26/06/2020) diantaranya adalah:
1. Bocor 230 Ribu Data Pasien Covid-19 di Indonesia
Pada 20 Mei 2020, data warga terkait Covid-19 di Indonesia
diduga telah dicuri oleh peretas (hacker). Mereka diduga menjual data pasien
terinfeksi virus corona tersebut di forum dark web RapidForums.
2. 2,3 Juta Data KPU Diduga Bocor
Pada 21 Mei, data 2,3 juta warga dan pemilih Indonesia
diduga bocor di forum RapidForums. Hal ini diungkap oleh akun @underthebreach
yang sebelumnya mengungkap soal penjualan data 91 juta pengguna Tokopedia.
3. Data 1,2 Juta Konsumen Bhinneka Bocor
Sekelompok peretas ShinyHunters pada 11 Mei mengklaim
memiliki 1,2 juta data pengguna Bhinneka.com. Peretas berhasil membobol
data pengguna Bhinneka dan menjual total 73 juta data pengguna dari berbagai
situs lain di dark web.
4. 13 Juta Akun Bukalapak Diduga Bocor
Pada 5 Mei data 13 juta akun Bukalapak yang bocor
kembali diperjualbelikan di forum hacker RaidForums. CEO Bukalapak
Rachmat Kaimuddin menegaskan tidak ada data baru pengguna layanan e-commerce
itu yang bocor dan dijual di forum hacker.
5. 91 Juta Akun Tokopedia Bocor dan Dijual
Tokopedia dilaporkan mengalami peretasan, bahkan
jumlahnya diperkirakan 91 juta akun dan 7 juta akun merchant. Peretas yang sama
juga membocorkan mencuri data dari Bhinneka.
Kebocoran data berulang tentu memberikan kerugian bagi
warga. Begitu mudah data kependudukan kebobolan. Analis media sosial Drone
Emprit and Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, mengatakan sejumlah masyarakat
tidak paham dengan potensi kejahatan akibat kebocoran data pribadi. Data itu
seperti nama lengkap, tempat tanggal lahir, alamat, nomor telepon hingga email.
Ancaman yang berpotensi terjadi
adalah scam dan phishing. Scam adalah tindakan
penipuan dengan berusaha meyakinkan pengguna, misal memberitahu pengguna jika
mereka memenangkan hadiah tertentu yang didapat jika memberikan sejumlah uang.
Sementara phishing adalah teknik penipuan
yang memancing pengguna. Misal untuk memberikan data pribadi mereka tanpa
mereka sadari dengan mengarahkan mereka ke situs palsu (Solopos, 21/5/2021).
Dari data beberapa tahun lalu saja, kita bisa melihat
besarnya peluang bisnis jual beli big data. Saat ini, lebih 26 juta
penduduk Indonesia merupakan orang-orang yang aktif di
dunia e-commerce. Angka tersebut adalah representasi dua hal, yakni
peluang dan persaingan. Ini adalah pasar besar digital.
Jika para pebisnis digital membeli data, besar peluang
bagi mereka untuk menentukan produk dan strategi pasar untuk meraup keuntungan
bisnis yang lebih besar. Di sinilah simbiosis mutualisme antara penambang data
dan pebisnis digital.
Permasalahannya adalah, data pribadi bukanlah milik
umum. Mengambil tanpa izin dengan cara meretasnya lalu memanfaatkannya dengan
memperjualbelikan data tersebut tentu tak bisa dibenarkan. Sayangnya, sekuritas
data di negeri ini lemah yang dibuktikan dengan berulangnya kasus serupa. Namun
inilah fakta yang terjadi, karena memang dalam sistem kapitalis apapun bisa
dilakukan demi meraih keuntungan dan materi.
Tentu permasalahan data ini tak bisa diserahkan semata
urusan para pebisnis.
Negara harus hadir untuk mengurai masalah keamanan
data, dengan mekanisme yang khas dan mendasar untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menjauhkan masyarakat dari kekhawatiran saat menjalankan aktivitas di dunia
siber.
Di sisi lain melindungi dan menjaga data pribadi warga
negara adalah tanggung jawab negara. Mestinya tugas antarlembaga itu tidak
tumpang tindih, saling sinergi, dan ketika muncul masalah tidak mudah saling
lempar tanggung jawab.
Negara juga harusnya memastikan jaminan keamanan data
tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik pihak tertentu. Sebab,
bagaimanapun juga melindung privasi warga negara adalah kewajiban negara.
Dengan sifat dunia digital yang seolah tanpa batas,
tentu ada rasa waswas pada para penggunanya. Kekhawatiran akan keamanan data
pribadi harusnya bisa dipadamkan tidak hanya melalui mekanisme peningkatan perlindungan
dan keamanan data siber dengan sejumlah aturan maupun perundang-undangan.
Lebih dari itu, negara harus hadir melakukan edukasi
ke tengah-tengah masyarakat terkait batasan kepemilikan dan pemanfaatan data
pribadi. Hal ini akan mencegah terjadinya peretasan data dan
memanfaatkannya untuk keuntungan bisnis, ataupun kepentingan tertentu.
Sebagai tools yang digunakan untuk
menjalankan transaksi ekonomi dan muamalat lainnya, sudah selayaknya dunia
digital dibarengi dengan pemahaman bahwa aktivitas di dunia maya kurang lebih
sama dengan dunia nyata, sama-sama akan dimintai pertanggungjawaban.
Edukasi mengenai muamalat yang dibolehkan maupun tidak
dapat dimasifkan oleh negara dengan menggunakan platform media. Dalam
negara Khilafah, media sendiri memegang peranan penting dalam melakukan edukasi
mengenai hukum-hukum syariat di tengah-tengah masyarakat.
Hukum-hukum syariat ini dengan sendirinya akan
membentuk pemahaman masyarakat dalam menjalankan aktivitas mereka, termasuk di
dunia digital. Ini adalah upaya preventif dalam memberikan keamanan pengguna
dunia digital.
Sisi gelap dunia digital seperti peretasan dan jual
beli data harus senantiasa diperhatikan, dengan meningkatkan keamanan data yang
berpijak pada wajibnya negara melindungi rakyat dan mewujudkan kemaslahatan
atas apa pun yang mereka miliki. Sehingga dalam menjalankan mekanisme
perlindungan data, negara benar-benar memaksimalkan penjagaannya sebagaimana
negara menjalankan fungsinya sebagai junnah (pelindung) rakyatnya.
Dengan memahami hal tersebut, penting bagi satu negara
untuk melakukan berbagai inovasi teknologi dalam rangka mencegah kebocoran data
untuk kepentingan imperialisme digital. Di sinilah pentingnya menyiapkan dan
mengelola SDM, melakukan manajemen teknologi hingga menjadi negara yang mandiri
dan terdepan dalam masalah teknologi digital.
Tentu dibutuhkan visi politik negara dalam menjalankan
perannya menjawab tantangan teknologi. Jika berkaca pada masa Rasulullah, masa
di mana bangsa Romawi menguasai teknologi perang, maka Rasulullah saw. pun
mengutus beberapa sahabat untuk mempelajari teknologi perang pada masanya.
Jika digitalisasi menjadi platform yang saat
ini menjadi ajang “perang” dan manuver antarnegara, maka negara Khilafah pun
akan melakukan itu sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Anfal: 60,
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa
saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang
dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan
orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah
mengetahuinya.”
Jika simbol kekuatan negara mengalami pergeseran ke
ranah digital seperti saat ini, maka negara Khilafah pun wajib menunjukkan
kapasitasnya sebagai negara pertama yang menguasai teknologi digital yang
tentunya ditopang dengan ekonomi dan SDM mumpuni.
Inilah mekanisme yang seharusnya ditempuh untuk
mewujudkan keamanan data penduduk di tengah arus digital. Tidak hanya menjamin
keamanan secara preventif tapi juga sistemis melalui peraturan dan peningkatan
penjagaan data digital melalui penguasaan teknologi digital, dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan warga negara Khilafah.
Wallahualambishawaab.