Oleh Mustika Lestari
(Pemerhati Sosial)
Ironis, kasus pelecehan seksual di negeri ini kian tumbuh subur bak rumput liar. Dalam kurun waktu Januari-Mei 2021, tercatat kasus kekerasan seksual terhadap anak di Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara telah mencapai 35 kasus. Satuan Bakti Pekerja Sosial Perlindungan Anak Kementerian Sosial wilayah Konsel, Helvin Ezza mengatakan bahwa angka ini sangat tinggi dibanding tahun 2020 yang berjumlah 25 kasus.
Adapun motif pelaku, ada yang suka sama suka, bujuk rayu, hingga modus kenalan melalui media sosial. Dengan motif itu, korban diajak untuk bertemu kemudiaan melakukan pemerkosaan. Kasus terbaru, lanjut Helvin, Satuan Bakti Pekerja Sosial Perlindungan anak menangani lima kasus pencabulan, yakni satu kasus anak yang masih berusia tiga tahun, dua anak SD dan dua anak SMP. (telisik.id, 4/6/2021)
Menilik Biang Kejahatan Seksual terhadap Anak
Terkait hal ini, Aktivis Anak Wilayah Konsel, Desti Felani mengatakan bahwa seharusnya pemerintah membentuk Pos Layanan Perlindungan Sosial Anak (Pos LSPA) di setiap tingkat desa dan kecamatan. Harapannya, untuk mempermudah laporan dan penanganan kasus jika terjadi tindak kekerasan. Sementara untuk upaya pencegahan dapat dilakukan dengan penyuluhan dan sosialisasi, menggalakkan pendidikan bahaya kejahatan seksual di lingkungan masyarakat yang masih dianggap tabu. (http://telisik.id, 4/6/2021)
Memang tak bisa dipungkiri bahwa tindak kekerasan terhadap anak menjadi salah satu momok yang menakutkan bagi masyarakat. Bagaimana tidak, keberadaannya telah merebak di seluruh lapisan masyarakat termasuk anak-anak yang notabenenya adalah generasi emas bangsa ini.
Berbagai upaya pun telah dilakukan, mulai dari penyuluhan atau soaialisasi hingga edukasi kepada masyarakat. Tujuannya, untuk membangun kesadaran tiap individu hingga menumbuhkan inisiatif masyarakat dalam mencegah terjadinya tindakan amoral ini. Namun, faktanya nyaris tak menunjukkan adanya pengaruh yang berarti, justru dari tahun ke tahun kasus terus bermunculan bagai jamur di musim penghujan.
Jika berbicara faktor pemicu kejahatan sebagaimana disebutkan di atas, penyebabnya pun beragam. Dilansir dari Telisik.id (26/12/2020) lalu, Satuan Bakti Pekerja Sosial (Peksos) Kementerian Sosial Republik Indonesia di Konsel, Helpin menyampaikan, terjadinya kejahatan seksual pada anak karena kurangnya pengawasan orang tua dalam pergaulan anak. Selain itu, pengaruh video asusila yang diakses oleh anak-anak juga memicu kejahatan seksual sesamanya.
Menurut Helpin, saat ini literasi dalam penggunaan internet masih minim, sehingga sebagian masyarakat mudah terpapar konten negatif dari internet, kemudian anak-anak menjadi sasaran kejahatan seksual.
Menyaksikan sajian fakta ini, menjadi hal yang tak terelakkan bahwa inilah korban kegagalan pembangunan SDM dari penerapan sistem kehidupan sekularisme-liberal dalam mengatur manusia. Asas sekular yang memisahkan agama dari kehidupan serta memberikan kebebasan tanpa batasan kepada manusia menjadikan kehidupan mereka jauh dari tuntunan agama.
Masa anak-anak yang lekat dengan pencarian jati diri, pada waktu yang bersamaan orang tua lalai terhadap peran strategisnya sebagai benteng pertahanan pertama dan utama. Mereka tidak memberikan teladan yang baik kepada anak-anaknya dalam berakhlakul karimah, juga tidak membekali sang anak dengan akidah yang kokoh karena kesibukan keduanya dalam bekerja demi mengejar materi. Akibatnya, anak mudah terkontaminasi dengan gaya hidup bebas tanpa melihat baik-buruk, maupun halal-haramnya.
Apalagi, keberadaan konten media yang mempertontonkan tayangan yang tidak mendidik tanpa pengawasan yang ketat, akhirnya menjadi kiblat dalam memilih gaya hidup.
Lingkungan masyarakat yang tidak terikat dengan aturan agama, menjadikan mereka apatis terhadap individu di sekitarnya tanpa mencegahnya agar tidak melakukan kemaksiatan. Paham kebebasan yang telah mengakar di benak masyarakat, memberikan kebebasan kepada siapa saja untuk berbuat apapun, kapanpun dan dimanapun, seolah tak terjadi apa-apa.
Selain itu, keberadaan negara terkesan tidak menjaga keamanan dan kehormatan setiap warga negaranya. Negara justru berkontribusi dalam menjamin kebebasan, membuat masyarakat secara legal berbuat sesuai kehendaknya. Ditambah dengan penerapan sanksi yang tidak memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual, menjadikan kejahatan ini sebagai permasalahan berkepanjangan yang tak kunjung teratasi.
Di sisi lain, serangan kaum sekular-liberal terhadap umat Islam dengan tudingan radikalisme-teroris terus digencarkan. Ketika kaum Muslimah milenial berpegang teguh pada agamanya dituduh terpapar radikalisme. Ketika mereka menjaga kehormatannya dengan mengenakan pakaian syar’i dicap radikal hingga teroris.
Hal ini memicu ketakutan bagi Muslimah untuk taat kepada syariat Islam hingga pada saat yang sama, mereka justru mengumbar aurat, berpenampilan tabarruj hingga akhirnya memancing kejahatan seksual terjadi kepada dirinya.
Dalam kondisi ini, sangat wajar jika kasus kejahatan terhadap anak-anak milenial tak pernah beranjak dari negeri sekular ini. Realitanya, sosialisasi dan edukasi saja tidak cukup menjadi solusi bagi persoalan yang satu ini. Lemahnya sistem aturan buatan manusia hanya membuat negeri ini semakin rusak dalam berbagai lini kehidupan. Untuk itu, butuh solusi alternatif yang dapat menuntaskan hal ini hingga ke akarnya.
Islam Menjaga Kehormatan Manusia
Jika kita tidak menghendaki kehidupan ini rusak oleh jamur tindakan tak beradab manusia, maka kita harus menempatkan ajaran Islam itu sebagaimana mestinya. Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna, keberadaannya bukan sekadar agama ritual semata, lebih dari itu Islam adalah ideologi jika diterapkan dalam dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Untuk mengatasi bahkan mencegah adanya kejahatan seksual, Islam sendiri memiliki tiga pilar dalam penerapannya, yaitu ketaqwaan individu, kontrol sosial dalam masyarakat dan penerapan syariat Islam secara menyeluruh oleh negara.
Secara mendasar, Islam mengharuskan keluarga sebagai institusi terkecil pelaksana hukum syariat untuk memahamkan sejak dini anak-anaknya tentang sistem pergaulan Islam, batasan-batasan syariat antara laki-laki dan perempuan, perintah menutup aurat secara sempurna, dan lain sebagainya.
Keberadaan masyarakat adalah sebagai kontrol sosial yang melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar kepada anggota masyarakat agar terhindar dari perilaku maksiat kepada Allah SWT.
Adapun negara, senantiasa menanamkan akidah Islam, membangun ketaqwaan, memahamkan nilai-nilai moral, pemikiran dan sistem Islam pada setiap rakyatnya. Dengan keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat membentengi diri mereka dari sikap mengutamakan hawa nafsu.
Negara menutup akses konten-konten negatif, menutup tempat-tempat yang dinilai berpotensi memicu kejahatan. Negara juga wajib menerapkan sanksi bagi pelaku kejahatan seksual sesuai dengan hukum syariah yang berlaku.
Jika perbuatan yang dilakukan adalah zina, maka hukumannya adalah dirajam bagi yang sudah menikah, sementara dicambuk seratus kali jika belum menikah. Jika perbuatan itu adalah pelecehan seksual yang tidak sampai pada perbuatan zina (homoseksual) maka hukumannya adalah ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh Qadhi, misalnya dicambuk, dipenjara bahkan sampai pada tingkatan hukuman mati.
Berdasarkan hal ini, jelas pidana Islam mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan perilaku kejahatan seksual anak karena sangat efektif memberikan efek jera pada pelakunya, sehingga tidak akan ditemukan lagi kasus yang serupa.
Sistem yang berhukum kepada hukum Allah, secara otomatis dapat menyelesaiakan permasalahan yang ada, karena sistem Islam meniscayakan adanya individu yang bertakwa, masyarakat sebagai pengontrol dan negara sebagai pelaksana hukum syariah. Dalam kondisi ini, maka kehidupan manusia pun aman, tenteram, damai, dan dapat terjaga kehormatannya.. Wallahu a’lam bi showwab.