Oleh: Luthfia ‘Indana Zulfa*
Sudah menjadi rahasia umum bahwasannya Indonesia memiliki utang luar negeri yang banyak. Begitu pula dengan BUMN yang saat ini mengalami kerugian dan dikabarkan utangnya semakin menggunung. PT PLN (Persero) misalnya, dikabarkan hutangnya mencapai 500 Triliyun rupiah. Dilansir dari detikfinance (4/6) menteri BUMN Eric Thohir mengungkapkan utang PT PLN (Persero) mencapai Rp 500 Triliyun. Ia mengatakan, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membenahi keuangan PLN ialah menekan 50% belanja modal.
Hal serupa juga tejadi di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk . Perusahaan ini menanggung rugi hingga U$ 100 juta atau sekitar Rp 1,43 triliyun per bulan dikarenakan pendapatan yang diterima tak sebanding dengan biaya yang mereka keluarkan. Kedua hal tersebut hanyalah salah dua dari masalah yang sedang dihadapi BUMN saat ini. Masalah ini akan semakin memburuk apabila tak segera ditangani.
Problem mendasar permasalahan ini adalah pada sistem Kapitalisme yang diterapkan di Indonesia. Yang menjadikan BUMN salah dalam berorientasi, sehingga kinerjanya diukur dengan ukuran untung rugi sebagaimana korporasi swasta. Bukan memberi untung bagi negara, kini BUMN justru menjadi masalah bagi negara
Berbeda dengan Islam, Islam menggolongkan harta publik sebagai kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Kepemilikan umum adalah hal yang mencakup kebutuhan khalayak umum dan SDA (Sumber Daya Alam) yang tak terbatas seperti: air, hutan, tambang, infrastruktur jalan dan lain-lain. Hal tersebut tidak boleh dikelola selain oleh negara sendiri. Adapun kepemilikan negara merupakan harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin dan pengelolaannya menjadi wewenang khalifah seperti harta fa’i, kharaj, jizyah, ghanimah, dan lain-lain. Sebagai pemilik kewenangan, khalifah dapat memberikan harta tersebut kepada sebagian kaum muslimin sehingga pengelolaan tanah dapat dikelola rakyat atau lembaga seperti BUMN. Dalam pengelolaannya mengorientasikan pada pemberdayaan masyarakat.
Konsep pengelolaan secara Islam ini tidak dapat berdiri sendiri. Akan tetapi perlu adanya suatu institusi yang menjalankannya dengan sistem pemerintahan Islam yaitu Khilafah. Apabila hal tersebut diterapkan, dengan mudah akan meminimalisir bahkan meniadakan kasus-kasus seperti diatas karena Khilafah mengedepankan kesejahteraan masyarakat.
*Mahasiswi UIN Tulungagung
Tags
Opini