Ancaman Utang Warisan, Yakin Terbayar ataukah Semakin Menggunung?



Anindya*

Utang pemerintah pusat membengkak. Periode April 2021 meroket menjadi Rp6.527,29 triliun. Dengan jumlah itu, rasio utang pemerintah mencapai 41,18% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah itu bertambah Rp82,22 triliun dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya sebesar Rp6.445,07 triliun.
RP6.527,29 triliun bukanlah angka yang kecil, mau dilihat dari segi manapun itu adalah jumlah yang besar. Sedangkan utang pemerintah terus bertambah di tengah pandemi Covid-19. Angka ini diperkirakan terus bertambah hingga akhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengatakan bahwa utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perbankan dan nonperbankan yang pasti akan ditanggung negara jika gagal bayar mencapai Rp2.143 triliun.

“Total utang publik sekarang mencapai Rp8.504 triliun. Saya memperkirakan di akhir periode, pemerintahan ini akan mewariskan lebih dari Rp10.000 triliun kepada presiden berikutnya.” kata Didik J Rachbini dikutip melalui keterangan pers.

Utang sendiri dibagi menjadi dua yaitu utang konsumtif dan utang produktif, secara singkatnya utang konsumtif adalah utang yang dipergunakan untuk membeli barang yang dikonsumsi atau digunakan, di mana suatu saat nilainya akan turun dan biasanya bunganya tinggi.

Sedangkan utang produktif adalah utang yang dipergunakan untuk membeli barang atau aset yang nilainya bisa naik dan menambah penghasilan. Namun, apabila dilihat dari sebagian besar rekaman utang negara yang ada dan beredar di publik, kebanyakan utang terdiri dari utang konsumtif.

Misalnya saja, vaksin Covid-19 mengapa harus berhutang untuk membeli vaksin dari luar negeri ? Sedangkan Indonesia pun sudah memiliki teknologi yang mumpuni untuk menciptakan dan membuat sendiri Vaksin Covid-19. Juga dengan realita bahwa Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim terbanyak bukankah akan lebih baik jika kita membuat sendiri vaksin Covid-19? Dengan begitu, keamanan dan ke- halal-an vaksin pun juga lebih terjamin.

Tapi nyatanya pemerintah tetap memilih untuk berhutang dan membeli vaksin dari luar negeri agar anggaran untuk Covid-19 turun. Untuk apa uang anggaran yang ada ? tentu saja di korupsi demi kepentingan pribadi, anggota departemen pemerintahan pun bisa hidup dengan bergelimang harta, makan enak, tidur dengan nyaman, sedangkan rakyatnya? Belum tentu sudah makan hari ini.

Berdasarkan realita yang ada di atas, mengingatkan saya kembali dengan kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ia dikenal dengan julukan Umar Kedua lantaran kebijaksanaan, keadilan, kejujuran, serta kesederhanaannya.

Dalam melaksanakan kebijakan-kebijakannya itu, Umar bin Abdul Azis selalu berada di depan. Sebelum menyuruh orang lain berlaku sederhana, ia lebih dahulu bersikap sederhana. Buktinya, sebelum menjadi Khalifah, Umar biasa mengenakan pakaian bagus. Namun setelah menjabat Khalifah, keadaannya justru terbalik. Ia menolak berbagai fasilitas negara. Bahkan harta miliknya pun dijual dan uangnya dimasukkan ke Baitul Mal (kas negara).

Di antara bukti bahwa Umar bin Abdul Azis sangat tidak ingin menggunakan fasilitas negara adalah kisahnya dengan putranya. Suatu malam ketika ia sedang berada di kantor untuk urusan negara, putranya datang. Begitu mengetahui bahwa putranya ingin membicarakan masalah keluarga, Umar memadamkan lampu yang ia gunakan. Keduanya pun berbincang dalam kegelapan.

Ketika hal itu ditanyakan putranya, dengan yakin Umar menjawab bahwa mereka sedang membicarakan masalah keluarga. Sedangkan lampu yang mereka gunakan adalah milik negara. Karena berbagai kebijakan dan keadilannya itu, Umar bin Abdul Azis dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin Kelima atau Umar Kedua setelah Umar bin Al-Khathab.
Dan kisah berikutnya yaitu kisah sang Kakek dari Umar bin Abdul Azis yaitu Umar bin Al-Khathab yang dikenal akan kebijaksanaannya, ia rela untuk kelaparan karena tak ingin dia hidup enak.

Jangan sampai ada seorang rakyatku yang terlantar apalagi mati kelaparan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafâur Râsyidîn sebagai pemimpin telah memberikan teladan yang baik dalam menyejahterakan rakyat.

Sebagai contoh, Amîrul Mukminîn Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, pada masa paceklik dan kelaparan, ia Radhiyallahu ‘anhu hanya memakan roti dan minyak sehingga kulitnya berubah menjadi hitam. Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.”

Bahkan Suatu Hari, Umar masuk ke rumah Abdullah. Ia mendapati putranya itu memakan beberapa potong daging. Melihat hal itu Umar marah dan berkata, “Apakah engkau putra Amirul Mukminin, Sehingga engkau seenaknya makan daging, sedangkan rakyat dalam kesulitan?”

MasyaAllah, bila harus dibandingkan dengan keadaan kita saat ini, sangatlah bertolak belakang. Tidakkah kita rindu akan pemimpin yang adil dan hebat ? Tidakkah kita rindu akan ketentraman dan kesejahteraan yang ada ? Sepertinya kita harus berjuang dan bekerja keras lebih dan lebih lagi.


*Pelajar dari Tulungagung

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak