Waspadai Kasus TTPO yang Semakin Tinggi




Oleh: Rindoe Arrayah

             Hingga saat ini, model kriminalitas yang muncul dalam kehidupan masyarakat semakin beragam. Pelakunya tidak hanya perseorangan, tetapi ada juga yang digawangi oleh sekelompok orang. Apa sih yang dicari? Tentunya, uang melimpah yang mereka inginkan tanpa melihat aktifitasnya terkategori halal ataukah haram.

Kapitalisme-Sekularisme tanpa disadari telah melahirkan sosok-sosok manusia yang senantiasa mengukur segala aktifitasnya dengan kemanfaatan yang diharapkan banyak menghasilkan keuntungan. Seperti halnya fakta yang sering kita temui di situasi saat ini.

Tim Tabur (Tangkap buron) Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur berhasil menangkap satu orang buronan, dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Buronan ini adalah, Stefen Agustinus Bin Oei Kim Kong alias Ko Aven alias Roro. Terdakwa ditangkap di Medan, Sumatera Utara, Rabu (13/1). Setelah tertangkap, tim Tabur kemudian membawanya ke Kupang, Jumat (15/1).

"Terpidana dibawa ke Kupang untuk menjalani proses hukum selanjutnya. Ini berkat kerja sama tim Tabur dan tim intelijen Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, jelas Kepala Kejaksaan Nusa Tenggara Timur, Yulianto.

Stefen merupakan salah satu terpidana kasus TPPO tahun 2016 silam. "Stefen ini adalah terpidana dalam perkara TTPO, Ia bekerjasama dengan Yusak Sabekti Gunanto alias Yusak, yang sudah ditangkap oleh tim intel kita di daerah Semarang," ungkap Yulianto (Merdeka.com, 19/1/2021).

Menurutnya, modus yang dilakukan para terpidana yakni, menampung anak-anak asal Nusa Tenggara Timur dan memalsukan dokumen mereka, seperti KTP dan paspor. Stefen membawa Megana Farida Bureni, Fridolina Us Batan dan Anik Mariani untuk bekerja di Malaysia, dengan dokumen palsu.

"Tiga orang ini telah dibawa dan telah berhasil berada di Malaysia, namun tidak ada prosedur yang dipenuhi pada imigrasi Malaysia maka ditolak. Saat tiba kembali di Indonesia, ketiganya langsung ditangkap Bareskrim Mabes Polri," tambah Yulianto.

Manusia adalah makhluk Allah Azza wa Jalla yang dimuliakan, sehingga anak Adam ini dibekali dengan sifat-sifat yang mendukung untuk itu, yaitu seperti akal untuk berfikir, kemampuan berbicara, bentuk rupa yang baik serta hak kepemilikan yang Allah Azza wa Jalla sediakan di dunia, yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya. Tatkala Islam memandang manusia sebagai pemilik, maka hukum asalnya ia tidak dapat dijadikan sebagai barang yang dapat dimiliki atau diperjual belikan. Hal ini berlaku jika manusia tersebut berstatus merdeka. 

Sejak kapan awal mulanya perdagangan manusia. Tapi sebenarnya hal itu terjadi semenjak adanya perbudakan, dan perbudakan telah terjadi pada umat terdahulu jauh sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus. Diantara salah satu sebab suburnya perbudakan waktu itu adalah seringnya terjadi peperangan antar kabilah dan bangsa, di samping di sana terdapat faktor lain seperti perampokan, perampasan, penculikan, kemiskinan, ketidakmampuan dalam membayar hutang dan lain sebagainya, serta didukung pula dengan adanya pasar budak pada masa itu. 

Pada zaman Nabi Ibrâhîm Alaihissallam sudah terjadi perbudakan, hal ini ditunjukkan oleh kisah Sarah yang memberikan jariyahnya (budak wanita) yaitu Hajar kepada Nabi Ibrâhîm Alaihissallam untuk dinikahi. Demikian pula pada zaman Ya’qûb Alaihissallam, orang merdeka di masa itu bisa menjadi budak dalam kasus pencurian, yaitu si pencuri diserahkan kepada orang yang ia ambil hartanya untuk dijadikan budak.

Kemudian Islam datang mengatur perbudakan ini walaupun tidak mutlak melarangnya. Akan tetapi, hal itu dapat mengurangi perlahan-lahan. Untuk itu Islam menganjurkan untuk membebaskan budak-budak yang beragama Islam, bahkan salah satu bentuk pembayaran kafârah adalah dengan membebaskan budak Muslim. 

Dewasa ini, kita dapati maraknya eksploitasi manusia untuk dijual atau biasa disebut dengan Human Trafficking, terutama pada wanita untuk perzinaan, dipekerjakan tanpa upah dan lainnya, ada juga pada bayi yang baru dilahirkan untuk tujuan adopsi yang tentunya ini semua tidak sesuai dengan syari’ah dan norma-norma yang berlaku (‘urf). Kemudian bila kita tinjau ulang ternyata manusia-manusia tersebut berstatus hur (merdeka). 

Pandangan fikih Islam tentang perdagangan manusia merdeka. Hukum dasar muâmalah perdagangan adalah mubâh kecuali yang diharamkan dengan nash atau disebabkan gharâr (penipuan).Dalam kasus perdagangan manusia, ada dua jenis yaitu manusia merdeka (hur) dan manusia budak (‘abd atau amah). Dalam pembahasan ini akan kami sajikan dalil-dalil tentang hukum perdagangan manusia merdeka yang kami ambilkan dari al-Qur’ân dan Sunnah serta beberapa pandangan ahli Fikih dari berbagai madzhab tentang masalah ini. 

Allah Azza wa Jalla berfirman: 

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan,Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. 

Sudut pandang pengambilan hukum dari ayat ini adalah; bahwa kemuliaan manusia yang Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka yaitu dengan dikhususkannya beberapa nikmat yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain sebagai penghormatan bagi manusia. Kemudian dengan nikmat itu manusia mendapatkan taklîf (tugas) syari’ah seperti yang telah dijelaskan oleh mufassirîn dalam penafsiran ayat tersebut di atas. Maka hal tersebut berkonsekwensi seseorang manusia tidak boleh direndahkan dengan cara disamakan dengan barang dagangan, semisal hewan atau yang lainnya yang dapat dijual-belikan. Imam al-Qurthûbi t berkata mengenai tafsir ayat ini “….dan juga manusia dimuliakan disebabkan mereka mencari harta untuk dimiliki secara pribadi tidak seperti hewan,…”. 

Dalil Dari Sunnah Disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi Allah Azza wa Jalla mengancam keras orang yang menjual manusia ini dengan ancaman permusuhan di hari Kiamat. Imam al-Bukhâri dan Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu: 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: Allah Azza wa Jalla berfirman: “ Tiga golongan yang Aku akan menjadi musuh mereka di hari Kiamat; pertama: seorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia tidak menepatinya, kedua: seseorang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasil penjualannya, dan ketiga: seseorang yang menyewa tenaga seorang pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaan itu akan tetapi dia tidak membayar upahnya. 

Dalam masalah ini Ulama bersepakat atas haramnya menjual orang yang merdeka (Baiul hur), dan setiap akad yang mengarah ke sana, maka akadnya dianggap tidak sah dan pelakunya berdosa. 

Di antara pendapat mereka yaitu. 

1. Hanafiyah Ibnu Abidin rahimahullah berkata, “ Anak Adam dimuliakan menurut syari’ah, walaupun ia kafir sekalipun (jika bukan tawanan perang), maka akad dan penjualan serta penyamaannya dengan benda adalah perendahan martabat manusia, dan ini tidak diperbolehkan…” Ibnu Nujaim rahimahullah berkata dalam Al-Asybah wa Nazhâir pada kaidah yang ketujuh, “ Orang merdeka tidak dapat masuk dalam kekuasaan seseorang, maka ia tidak menanggung beban disebabkan ghasabnya walaupun orang merdeka tadi masih anak-anak”

2. Malikiyah Al-Hatthab ar-Ru’aini rahimahullah berkata, “ Apa saja yang tidak sah untuk dimiliki maka tidak sah pula untuk dijual menurut ijma’ Ulama’, seperti orang merdeka , khamr, kera, bangkai dan semisalnya “

3. Syâfi’iyyah: Abu Ishâq Syairazit dan Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa menjual orang merdeka haram dan bathil berdasarkan hadist di atas. Ibnu Hajart menyatakan bahwa perdagangan manusia merdeka adalah haram menurut ijma’ Ulama’  

4. Hanâbilah Ulama’ Hanabilah menegaskan batalnya baiul hur ini dengan dalil hadits di atas dan mengatakan bahwa jual beli ini tidak pernah dibolehkan dalam Islam, di antaranya adalah Ibnu Qudâmah, Ibnu Muflih al-Hanbali, Manshûr bin Yûnus al-Bahuthi, dan lainnya. 

5. Zhâhiriyyah Madzhab ini menyebutkan bahwa semua yang haram dimakan dagingnya, haram untuk dijual

Dari keterangan di atas, telah jelas bagi kita bahwa Ulama bersepakat atas haramnya penjualan manusia merdeka. Bahkan memperkerjakan orang merdeka kemudian tidak menepati upah yang telah disepakati, maka perbuatan semacam ini disamakan dengan memakan hasil penjualan manusia merdeka, yaitu berupa ancaman yang terdapat dalam hadits tersebut di atas 

“Tiga golongan yang Aku akan menjadi musuh mereka di hari Kiamat…”. 

Begitu pula mereka yang menjadi makelar untuk memperkerjakan tenaga kerja, upah pekerja tersebut diambil oleh para makelar itu, dan akhirnya si pekerja tidak mendapatkan upah, atau karena adanya makelar tersebut mengakibatkan upah pekerja menjadi berkurang dari upah yang telah disepakati dengan majikan atau UMR. Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah dalam kitab Syarhul Mumti’ ketika memberikan contoh masalah Ijârah Fâsidah (akad persewaan yang rusak) menyebutkan bahwa menyewakan tenaga kerja merdeka tidak diperbolehkan dengan alasan si pekerja tadi bukanlah milik (budak) si penyedia sewa (makelar). Padahal syarat Ijârah (persewaan) adalah si penyedia persewaan harus memiliki barang yang mau disewakan, dan di sini orang yang merdeka ini tidak dimilikinya (bukan budaknya). Kemudian apabila akad persewaan ini terjadi atas sepengetahuan musta’jir (penyewa/majikan) bahwa pekerja tersebut bukan budak, maka sang majikan wajib mengganti upah mitsil (standar) kepada pekerja tersebut. Akan tetapi apabila ia tidak mengetahui penipuan ini, maka ia cukup membayar kesepakatan di muka tentang upah sewa kepada pekerja tadi. Dan apabila upah tersebut kurang dari upah mitsil maka penanggungnya adalah pihak penyedia tenaga.

Maka bisa kita ambil kesimpulan bahwa tidak ada hak bagi makelar untuk mengambil jatah upah tenaga kerja, karena mereka adalah manusia merdeka yang memiliki hak kepemilikan, bukan untuk dimiliki orang lain; begitu pula hasil kerjanya. Bila ia ingin mendapat upah, maka hendaknya di luar upah mereka. Maka hal yang demikian termasuk memakan harta dengan batil. 

Telah jelas terkait dengan pemaparan di atas bahwa Islam adalah sebuah risalah yang sangat sempurna. Bahkan, mengatur juga tentang hukum perdagangan manusia. Oleh karenanya, hanya Islam yang layak untuk dijadikan sebagai sistem dalam kehidupan agar teraih keberkahan bagi seluruh alam.

Wallahu a’lam bishshowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak