Untung Rugi Menjadi Andalan Kebijakan

Oleh : Diani Ambarawati, S.Pt
(Aktivis Dakwah ) 


Disaat pelarangan mudik karena khawatir membludaknya virus, muncul pemberian "karpet merah" untuk TKA. Pesawat carter yang bawa TKA dari luar negeri sudah diberhentikan sejak 5 Mei 2021. Yang ada adalah penumpang umum yang menggunakan pesawat reguler dari luar negeri, yang sudah mengikuti ketentuan imigrasi dan protokol kesehatan. Penumpang pesawat ini bisa WNI seperti pekerja migran atau pelajar, diplomat, akademisi dan lain-lain," kata Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati saat dikonfirmasi, (SindoNews.Com, 17/5/2021) 

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, turut mengamati. Menurutnya, masuknya TKA ini adalah konsekuensi dari pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker). Sejak Omnibus Law UU Ciptaker No. 11/2020 itu diberlakukan, TKA tak perlu izin tertulis dari Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) untuk dapat masuk Indonesia. Mereka cukup mengisi form Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang diserahkan ke Kemenaker. (SindoNews.Com, 16/5/2021). 

Fenomena ini wajar terjadi dengan berbagai fakta kebijakan yang melihat untung ruginya dari ekonomi semata. Sistem aturan dengan tolak ukur akal semata. Lagi-lagi kelemahan akal tidak bisa mengakomodir semua kepentingan. Kepentingan dilihat dari kebutuhan para korporat. Rakyat dijadikan beban bahkan perahan. Mau bagaimana lagi? "Paket perjanjian" dengan para investor harus "manut nurut" dengan keinginan pemodal. Alhasil TKA pun jadi andalan. 

Sistem kapitalisme melahirkan kerusakan sistemis. Bagaimana tidak? Semua UU bermuara pada kepentingan pemilik modal (korporat besar). Negara sebagai pemangku kebijakan hanya sebagai regulator dan fasilitator. Masalah sistemis harus dirubah dengan sistemis terstruktur. 

Islam sebagai mabda (ideologi), merupakan sistem yang sempurna yang memiliki ketegasan dalam pelaksanaannya. Mabda ini mengajarkan bahwa kewajiban pemimpin adalah mengurusi kebutuhan rakyat, bukan sekelompok kapitalis. Segala aturan yang diambil juga bersandar pada kalamullah, tidak dengan akal semata. Sehingga, pemegang kebijakan yang mau mengambil Islam akan bersikap tegas dalam masalah ini. 

Bagi seorang muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi ketetapan hukum. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8). 

Oleh sebab itu, ciri orang yang beriman adalah yang patuh kepada ketetapan (baca: hukum) Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36) 

Ketegasan diperlukan dalam  mengeluarkan kebijakan yang akan mempengaruhi kekuatan dan kemandirian dalam bersikap. Islam dengan tolak ukur Al Quran As Sunnah menjadi landasan berfikir yang shahih dalam menetukan kebijakan. Islam solusi solutif karena datang dari Al Khaliq. Manusia sebagai makhluk wajib mengikuti apa yang diperintahkan dan dilarang Al Khaliq. 

Wallahu'alam Bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak