Oleh : Melitasari
Serangan udara Israel di Jalur Gaza menghancurkan beberapa rumah dan menewaskan puluhan warga Palestina di Jalur Gaza. Ada 42 orang tewas, termasuk 10 anak-anak. Aksinya yang brutal terhadap Palestina telah memancing perhatian seluruh dunia. Kecaman dan kutukan kembali diutarakan pada mereka yang tak memiliki perikemanusiaan.
Hal ini pun mengundang negara Arab dan negara Islam untuk melakukan pertemuan virtual lewat OKI guna membahas beragam resolusi dalam pembelaannya terhadap Palestina. Pertemuan ini menghasilkan 18 butir resolusi yang diadopsi oleh sesi biasa dan luar biasa KTT Islam dan Dewan Menlu. Secara historis, OKI melihat tanggung jawab, moral dan hukum umat Islam terhadap perjuangan Palestina dan Al Quds.
Diantara resolusi hasil pertemuan OKI virtual ini antara lain
Pertama, mengutuk sekuat tenaga serangan biadab yang diluncurkan oleh Israel yang melawan rakyat Palestina dan tanah mereka dan situs suci, serta menuntut penghentian lengkap dan segera dari serangan yang mempengaruhi warga sipil yang tidak bersalah dan harta benda mereka," tulis pernyataan bersama para Menlu negara anggota OKI yang diterima Republika.co.id, Ahad (16/5).
OKI menilai, hal tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap hukum internasional dan resolusi PBB tentang masalah Palestina.
Kedua, resolusi juga memperingatkan bahwa hasutan, provokasi, ancaman terhadap nyawa warga sipil yang tidak bersalah, menyebabkan penderitaan parah bagi rakyat Palestina sehingga meningkatkan risiko ketidakstabilan. Agresi Israel menimbulkan implikasi serius untuk keamanan dalam dan luar daerah.
Ketiga, pertemuan tersebut juga menghasilkan resolusi yang memperingatkan Israel dan pemangku kepentingan lain tentang dampak berbahaya kelanjutan agresi Israel yang disengaja terutama sejak awal Ramadhan, dan saat Idul Fitri.
"Menuntut penghentian semua pelanggaran yang dilakukan oleh Israel, termasuk tidak menghormati situs suci, khususnya, kesakralan dari Masjid Al Aqsa / Al-Haram Al-Shareef, dan tidak merusak status sejarah dan hukum," tulis pernyataan tersebut.
Keempat, para Menlu juga menegaskan kembali bahwa Israel adalah kekuatan pendudukan dan tidak memiliki hak sah apa pun atas tanah Palestina yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur dan Masjid Al Aqsa / Al-Haram Al Shareef. Menurut pernyataan tersebut, semua tindakan yang merusak statusnya adalah batal demi hukum dan tidak berlaku lagi.
Kelima, para Menlu pada pertemuan OKI menegaskan kembali pentingnya perwalian Hashemite historis, Situs suci Islam dan Kristen di Al Quds dan perannya dalam melestarikannya dan juga status hukum dan sejarah yang ada di sana. Pelestarian Arab juga harus ditegaskan di sana.
Keenam, para menlu juga mengulangi penolakan dan kecamannya terhadap permukiman Israel yang tengah berlangsung di tanah yang diduduki. Itu termasuk pembetukan sistem segregasi ras melalui pembangunan permukiman, penghancuran properti Palestina, pembangunan gedung, penytaan tanah, rumah dan properti secara paksa, pengusiran paksa, hingga penggusuran.
Ketujuh, negara-negara OKI menegaskan bahwa itu semua adalah pelangaran berat hukum internasional yang mencapai tingkat kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kedelapan, resolusi juga mengungkapkan keprihatinan khusus pada langkah kebijakan Israel yang melakukan penjajahan atas tanah Palestina. Ini termasuk keluarga di lingkungan Syekh Jarrah dan Silawan yang menghadapi penggusuran dari kolonialis ekstremis yang didukung otoritas pendudukan Israel.
Kendati demikian, kekuatan Israel yang didukung oleh negara adidaya Amerika Serikat tidak pantas hanya dihadapi dengan kecaman dan beragam resolusi saja. Perlu adanya tindakan nyata dalam melakukan pembelaan terhadap Palestina, yaitu dengan mengumpulkan kekuatan militer dari berbagai negara pendukung khususnya negara-negara muslim untuk melakukan Perlawanan.
Namun faktanya hari ini, keadaan kaum muslimin tercerai berai, terhalang oleh sekat nasionalisme yang membatasi setiap negara-negara muslim untuk bertindak nyata dalam mengirimkan bantuan berupa pertahanan dan keamanan bagi negara-negara yang membutuhkan. Ikatan nasionalisme juga telah menggerus rasa peduli terhadap selain warga dalam negeri.
Padahal sejatinya kaum muslimin itu bagaikan satu tubuh, jika yang satu merasa kesakitan maka anggota tubuh yang lain pun akan merasakan demikian. Dilihat dari segi kuantitas pun umat Islam menduduki sebagai agama mayoritas di dunia. Menurut perkiraan data pada tahun 2020 penganut umat Islam mencapai 24,2% lebih banyak dari penganut agama lain.
Andai semua umat Islam bersatu dalam satu komando, maka akan lebih mudah untuk mengalahkan musuh termasuk melawan negara para penjajah kaum muslimin. Namun kembali lagi pada kenyataan saat ini, umat Islam bagai buih di lautan seperti sabda Rasulullah shalallahu'alaihi wasallam
“Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati,” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud).
Sehingga benarlah, saat ini jumlah umat Islam amatlah banyak namun yang nampak hanyalah sedikit. Tanpa adanya ikatan aqidha kaum muslimin tidak bisa bersatu untuk melawan kedzaliman. Pemimpin-pemimpin kaum muslimin hanya berani mengecam dan memberi kutukan serta bantuan yang alakadarnya. Tidak pernah bertindak tegas untuk mengirimkan pasukan militernya ke tanah Gaza.
Maka agar umat Islam dapat bersatu melakukan perlawanan terhadap negara para penjajah kaum muslimin, diperlukan adanya satu komando seorang Khalifah yang akan menggerakkan seluruh pasukan militernya untuk berjihad membebaskan negara-negara yang terjajah termasuk bumi Al-Qudus. Sehingga untuk mewujudkannya umat Islam membutuhkan seorang junnah yang ada dalam sebuah sistem Islam yaitu khilafah.
Tags
Opini