Oleh :
Sendy Novita, S.Pd ( praktisi pendidikan)
Tanpa mengurangi rasa empati akan duka Nanggala-402, Eternal
patrol rupanya menjadi euphoria tersendiri. Berita tenggelamnya nanggala 402 tidak
hanya menambah kisah pilu dari beberapa musibah yang sudah terjadi. Hal ini
menjadi wacana bagi negeri maritim kita, yang tidak hanya membutuhkan
prajurit-prajurit terlatih yang siap mati tetapi juga alat pertahanan yang
memadai.
Seperti yang kita ketahui,
KRI Nanggala hilang kontak pada Rabu, 21 April 2021 dini hari di utara
Bali. Sungguh sayang, nyawa para
awak prajurit KRI Nanggala-402 sebanyak 53 orang harus menjadi korban. Mengutip
tulisan viral Edna C. Pattisina, sahabat Letkol Laut (P) Heri Oktavian,
komandan KRI Nanggala-402 (kompas.id, 25/4/2021), yang menyebutkan bahwa Heri
pernah sangat khawatir dengan rencana pembelian kapal selam bekas.
KRI Nanggala adalah kapal selam kedua milik Indonesia dengan
kelas cakra. Kapal selam buatan Jerman ini dipesan Indonesia pada 1977 dan
mulai digunakan pada 1981. Media massa mencatat kapal ini dua kali menjalani
perawatan. Pertama di Korea Selatan pada 2009 untuk menjalani overhaul. Kapal
sepanjang 59,5 meter dan lebar 6,3 meter ini lantas kembali ke Komando Armada
RI Kawasan Timur pada 2012. Perawatan kedua dilakukan pada 2020 di Jawa Timur.
Dalam proses pencariannya, Panglima TNI
Marsekal Hadi Tjahjanto mengerahkan seluruh kemampuan hingga kamis (22/4/2021)
malam. Setidaknya 21 kapal laut, 5 pesawat udara, dan 2 kapal selam dikerahkan
TNI Angkatan Laut. Negara lain seperti Australia, Malaysia, Singapura, dan
Korea Selatan ikut membantu pencarian.
Indonesia
saat ini hanya memiliki lima kapal selam, termasuk nanggala 402. Melihat dari
jumlah kapal selam Indonesia, tentu masih jauh dari ideal dengan kondisi
Indonesia yang 62% wilayahnya lautan dan memiliki garis pantai sepanjang 81
ribu kilometer. Letak geografis Indonesia yang strategis dan berbatasan
langsung dengan 10 negara tetangga di laut dan 3 di darat, memposisikan
Indonesia sebagai negara yang berpotensi terjadinya kerawanan berupa ancaman
militer dan non-militer (okezone.com, 20/9/2018).
Dengan
posisi ini maka TNI Angkatan Laut harus memiliki kesenjataan strategis dan daya
tangkal yang tinggi dan salah satu alutsista yang memiliki nilai strategis
tinggi ini termasuk diantaranya adalah kapal selam. Fungsi kapal selam yaitu
untuk penyergapan, penyerangan, sarana penyusupan pasukan khusus, spionase dan
sabotase, penyebaran ranjau secara terbatas, pencarian dan penyelamatan (search
and rescue) di laut, evakuasi VVIP secara terbatas dan penyerangan obyek
vital di darat dan di laut.
Direktur Eksekutif Institute for Security and
Strategic Studies Khairul Fahmi mengingatkan kembali bahwa hilangnya Nanggala
adalah "insiden serius ketiga pada armada TNI AL". Kasus ini
menurutnya menyingkap kembali permasalahan pengelolaan alat utama sistem
senjata (alutsista) Indonesia. Ada 2 KRI lain yang mengalami insiden selain
Nanggala. Pertama adalah KRI Rencong-622 buatan Korea Selatan tahun 1979 yang
terbakar dan tenggelam di Papua Barat pada September 2018; kemudian KRI Teluk
Jakarta-541 buatan Jerman Timur tahun 1979 tenggelam di Jawa Timur pada Juli
2020
Khairul Fahmi, melihat
tragedi tenggelamnya KRI Nanggala bisa menjadi momen peremajaan alutsista
nasional (Tempo, Ahad, 25 April 2021). Secara kekuatan dibandingkan dengan
negara-negara tetangga, Indonesia sebenarnya terhitung masih cukup tangguh.
Namun, dari segi kemampuan menangkal ancaman, penegakan keamanan dan
kedaulatan, ia menilai Indonesia masih belum mencapai kekuatan minimum yang
dibutuhkan. Ternyata, persoalan anggaran jadi hambatan utama. Hal ini yang
membuat semua alutsista yang ada kemudian harus dioptimalisasi.
Catatan perihal pentingnya
logistik, pemeliharaan alatnya, juga perawatan dan pengembangan kecakapan
personilnya, menjadi pertimbangan tersendiri. Optimalisasi alutsista harus
memperhatikan juga faktor usia, beban kerja, dan pemeliharaan kelaikannya,
sehingga dapat terhindar dari risiko terjadinya kefatalan dan musibah Nanggala seharusnya menjadi alarm untuk
peremajaan alutsista Indonesia.
Menurut Kemhan Menteri
Pertahanan Prabowo Subianto, sejauh ini anggaran Negara yang terbatas, lebih
diutamakan untuk pembangunan kesejahteraan. Di sisi lain, TNI harus selalu
dalam posisi siaga sehingga mereka harus berlatih dengan alutsista yang ada
"kemungkinan kecelakaan di darat, laut, udara itu adalah way of life
daripada tentara. Risiko pekerjaan TNI ya menghadapi bahaya setiap hari,"
kata Prabowo. Meski begitu bukan berarti rencana modernisasi alutsista tidak
ada. Dia bilang "sedang merumuskan pengelolaan pengadaan alutsista untuk
lebih tertib, lebih efisien." Dia menyebut Presiden Joko Widodo telah
memerintahkannya untuk membuat rencana induk pertahanan. "Insya Allah
dalam 2-3 minggu ini kami akan bersama dengan Panglima TNI dan kepala staf
merampungkan [dan] akan kami sampaikan kepada Presiden. Intinya memang kami
akan investasi lebih besar tanpa memengaruhi usaha pembangunan
kesejahteraan," (tirto.id –SosialBudaya)
"Kita memang perlu
meremajakan alutsista kita. Banyak alutsista kita memang karena keterpaksaan
dan karena kita mengutamakan pembangunan kesejahteraan, kita belum modernisasi
lebih cepat," kata Prabowo, Kamis, 22 April 2021 (Tempo.co). Eks Danjen
Kopassus itu mengatakan investasi di bidang pertahanan memang sangat mahal.
Keinginan berbagai pihak
dalam modernisasi alutsista memang beralasan. Tentu sangat disayangkan jika
nyawa prajurit terbaik hilang sia-sia karena kurang memadainya alutsista
Negara.
Nah,
yang menjadi masalah adalah bagaimana militer suatu negara bisa kuat jika
alutsistanya hasil beli bekas dan sudah tua. Meskipun baru tetapi hasil impor,
tentu kekuatan militer sudah pasti terbaca oleh negara produsen alutsista yang
bersangkutan. Untuk negara produsen alutsista biasanya adalah negara besar,
maju, dan kuat secara politik, ekonomi, dan militer. Dari hal ini kita memahami,
betapa rapuhnya kekuatan alutsista kita lalu bagaimana kita menjaga wilayah
territorial Negara kita?
Kewajiban Islam dalam Menjaga Jiwa dan negara
Dalam
islam, pemimpin/penguasa adalah pengurus urusan rakyatnya. Termasuk menjaga
jiwa warga negaranya. Karena di sisi Allah, hilangnya nyawa seorang muslim
lebih besar perkaranya dari pada hilangnya dunia.
Dari
al-Barra’ bin Azib ra, Rasulullah saw bersabda : “Hilangnya dunia, lebih ringan
bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987,
Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).
Allah
SWT telah menentukan metode untuk mengemban risalah Islam itu, yaitu dengan
dakwah dan jihad. Dalam negara Khilafah Islamiah, jihad adalah puncak keagungan
Islam. Jihad adalah metode mendasar yang telah ditetapkan Islam untuk mengemban
dakwah Islam ke luar negeri. Jihad adalah perang di jalan Allah untuk
meninggikan kalimat Allah.
Perang
ini tentu memerlukan pasukan, formasi tempur, latihan, pembekalan, dan
logistik. Tak terkecuali persenjataan (alutsista). Karena itu, industri
persenjataan termasuk hal yang dibutuhkan oleh militer dalam rangka menunjang
aktivitas jihad. Inilah sebabnya, pentingnya bagi Khilafah untuk menetapkan
agar seluruh industri di seluruh wilayahnya dibangun berdasarkan asas industri
perang/militer.
Allah
SWT berfirman : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya…” (TQS
Al-Anfal [8] : 60).
Jadi,
keberadaan alutsista beserta penjagaan kualitasnya, adalah sesuatu yang wajib
diupayakan oleh suatu negara. Karena militer adalah kualifikasi internasional
bagi standar kekuatan suatu Negara. Wallahualam.