Tarik-ulur Pembelajaran Tatap Muka

Oleh : Imroatus Sholeha (Pemerhati Umat)

Pemerintah berencana membuka sekolah tatap muka pada Juli 2021, yakni setelah vaksinasi guru dan tenaga kependidikan selesai. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem menyampaikan, pembukaan sekolah harus segera dilakukan karena sudah tertinggal dengan negara di Asia Timur. “Dari semua 23 negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, 85 persen dari semua negara tersebut sudah buka sekolahnya. Kita tertinggal, kita hanya 15 persen (sekolah) yang partially open,” tutur Nadiem (cnnindonesia.com, 18/3/2021).

Pemerintah  harus lebih selektif dalam membuat kebijakan, jangan hanya karena desakan publik pembelajaran tatap muka kembali dilakukan dalam kondisi kenaikan kasus tiap harinya masih tinggi. Sebab, dalam hal ini nyawa sebagai taruhan. Dalam mengambil kebijakan harusnya tak hanya menimbang disatu sisi, tetapi melihat dampak yang akan dihasilkan. Jangan seperti yang sebelum-sebelumnya pemerintah dalam mengambil kebijakan selau timpang tindih dengan kebijakan lainya dan ini membuat rakyat kehilangan kepercayaan dan sulit patuh terhadap himbauan pemerintah.

Juru Bicara Vaksin Covid-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pembukaan sekolah tidak bisa hanya mempertimbangkan vaksinasi covid-19 pada guru dan tenaga kependidikan. Nadia menjelaskan, vaksinasi hanya salah satu langkah intervensi dalam pengendalian covid-19. Jika sekolah ingin dibuka, dia menyebut ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan.

Pertama, ia mengatakan, pemerintah harus mempertimbangkan laju penularan covid-19. Kedua, kepatuhan masyarakat terhadap covid-19. Ketiga, cakupan vaksinasi yang sudah rampung dilakukan ketika sekolah hendak dibuka. "Kalau memang bisa mencapai target 100 persen cakupan vaksinasi pada pendidik dan tenaga kependidikan, tentunya ini juga suatu hal yang bisa kita pertimbangkan, apakah sekolah bisa belajar tatap muka kembali," lanjut dia. Jakarta-CNN Indonesia.

Memang pada faktanya PTM dinilai lebih efektif dibanding PJJ,  banyaknya problem yang terjadi selama PJJ menunjukkan ketidaksiapan pemerintah dalam pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh. Mulai dari masalah jaringan yang sampai menelan korban jiwa, minimnya fasilitas yang dimiliki sisw, fenomena putus sekola selama PJJ, serta ketidaksiapan orang tua mendampingi ananda dirumah dan problem-problem lainya menuntut PTM segera di buka.

Namun, memaksakan PTM di tengah melonjaknya kasus setiap harinya tentu membuat kekhawatiran akan terciptanya kluster sekolah. Sebab pemerintah tidak bisa menjamin terpenuhinya Syarat syarat dalam pelaksanaan PTM ditengah pandemi seperti saat ini. Melihat dari fakta yang pernah terjadi di beberapa daerah bahkan negara percobaan PTM ditengah pandemi memang menyebabkan kluster baru dan melibatkan anak-anak.

Memang PTM akan mengurangi sebagian dampak buruk PJJ. Namun, PTM menjadi tidak efektif jika tidak ditunjang dengan kurikulum yang benar dan sistem bernegara yang sahih (sesuai syariat).

Pengamat masalah generasi drg. Hj. Luluk Farida mengatakan, realitas buramnya sistem pendidikan tinggi ini menjadi bukti gagalnya sistem negara demokrasi sekuler. Menurutnya, dengan konsep bernegara ala nafsu akal manusia, pendidikan ditempatkan sebagai salah satu sektor jasa yang diperdagangkan.

Ia juga menegaskan, negara seperti ini memang tidak memiliki visi sebagai penanggung jawab pendidikan. Terbukti, negara malah meratifikasi WTO-GATTS melalui UU No. 7/1994 yang salah satunya menempatkan pendidikan sebagai salah satu sektor industri tersier yang diliberalisasi.“Pendidikan dalam konsep ini dibebankan ke masing-masing konsumen (rakyat) dengan kemampuan daya beli masing-masing. Akibatnya pendidikan bukan lagi hak setiap warga negara, tetapi hak bagi warga negara yang mampu,” tegasnya. 

Di samping itu, Luluk juga mengkritisi fakta bahwa mereka yang berkesempatan kuliah pun ternyata tidak dicetak untuk kemaslahatan umat, melainkan untuk kepentingan pasar. Apa yang disebutnya sebagai liberalisasi pendidikan, nyatanya berkonsekuensi pada kurikulum yang diserahkan pada “kemauan” pasar atau bisnis pihak swasta yang mem-back up pembiayaan pendidikan tinggi. 

“Inilah kesalahan fatal dari negara sekuler demokrasi yang menjadikan akal nafsu manusia untuk mengatur kehidupan. Kelemahan akal manusia tidak memahami bahwa penyelenggaraan pendidikan, hakikatnya tidak bisa dibebankan ke individu rakyat, karena mereka tidak mampu untuk mewujudkan pendidikan yang mencerdaskan secara merata ke seluruh rakyat. Apalagi melibatkan swasta dalam pendidikan tinggi justru membahayakan kepentingan bangsa,” kritiknya.

Dalam Islam pendidikan  merupakan salah satu hak rakyat jadi sudah menjadi kewajiba negara menyediakan pendidikan yang layak bagi seluruh rakyat baik dari segi sarana maupun pra-sarana tanpa terkecuali. Dalam hadis disebutkan “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Pendidikan yang ideal dan berkualitas mustahil terwujud dalam sistem kapitalis hari ini yang berbasis materi tak terkecuali pendidikan dijadikan ladang bisnis, sehingga orang-orang tertentu yang bisa mengakses pendidikan yang layak. Sungguh akibat penerapan sistem buatan manusia yang lemah telah membuat kita sangat jauh dari aturan Allah SWT serta medatangkan kesengsaraan diseluruh lini kehidupan.

Hal ini jauh berbeda dengan  sistem pendidikan Islam. Dimana kurikulum yang diterapkan berbasis akidah (Islam) akan menjamin tersalurkanya materi pembelajaran sesuai target pendidikan yang sahih. Kurikulum pembentukan kepribadian islami akan menjadi bagian dalam setiap materi pelajaran tak hanya melahirkan pola pikir yang cerdas, tapi membentuk kepribadian islami pada diri setiap insan yang menjunjung tinggi nilai dan akhlak yang luhur. Seperti yang dicontohkan Rasukullah SAW.  Guru dan siswa tak dikejar capaian materi (akademik) semata seperti  sistem pendidikan saat ini. Dengan metode apa pun, baik tatap muka maupun daring, realisasii kurikulum akan tetap bisa terlaksana.

Imam Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ihkâm, menjelaskan bahwa kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Ketika negara mau menerapkan Islam secara kafa niscaya seluruh prbematika kehidupan akan terselesaikan tak hanya masalah pendidikan. Dunia pendidikan dipastikan akan mampu mencapai tujuannya, yaitu mencerdaskan umat. Terbukti selama 1.300 tahun memimpin Islam menjadi mercusuar pendidikan dan menerangi peradaban dunia dengan ilmu dan perkembangan sains teknologi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak