Pusat Belanja Banjir Pengunjung: Paradoks Kebijakan Pencegahan Penularan




Oleh : Ummu Aimar

Jelang Lebaran, Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat kembali disesaki pengunjung pada Minggu, 3 Mei 2021.

Bahkan, Polda Metro Jaya turun tangan mengatasi kerumunan yang terjadi di Pusat Grosir Pasar Tanah Abang itu.

Salah seorang warga Kebon Jeruk, Flo mengaku sempat terdorong pengunjung lain di Jembatan Penyeberangan Multiguna (JPM) Pasar Tanah Abang saat hendak menuju Blok A.

"Seharusnya itu jalurnya satu arah, tapi tetap aja ada yang semaunya sendiri. Petugas udah ingetin pakai toa, tapi namanya penuh," kat Flo kepada( Liputan6.com, Minggu, 2 Mei 2021)

Menjelang hari raya idul fitri memang sudah tidak asing lagi dalam tradisi masyarakat indonesia untuk memenuhi segala kebutuhan untuk datang ke pusat pembelanjaan. 

Diperkirakan pusat-pusat perbelanjaan ramai pengunjung di berbagai daerah dan mengalami peningkatan pengunjung yang memadati tempat pembelanjaan. 

Meski di tengah pandemi, peningkatan aktivitas publik pada pusat belanja menjelang lebaran ternyata tak dapat dihindarkan oleh masyarakat. 

Namun kondisi saat ini berbeda sejak adanya virus covid 19. Interaksi manusia dibatasi, berbagai aktivitas dikurangi, berbagai sekolah daring dan toko toko ditutup, ppkm skala mikro dan dilarang berkerumun. Aturan dari pemerintah memang itu salah cara untuk memutus rantai virus covid-19. 

Namun Faktanya masyarakat seakan akan acuh dan mengabaikan. Mereka tetap berbondong untuk membeli kebutuhan hari raya. Dan ironisnya fakta yang ada bahwa membludaknya kerumunan menjelang lebaran dan potensi penyebaran virus tidak bisa dikembalikan pada kesadaran individu rakyat. 

Butuh kebijakan yang selaras yang mengantisipasi agar himbauan kemasyarakat dapat diterapakan dan menjalankan aktivitas sesuai protokol kesehatan. Karna kesehatan masyarakat akan semakin terancam, karena angka penularan Covid-19 setelah Ramadan dan Idul fitri berpotensi mengalami peningkatan.

Saat yang sama, justru ada kebijakan pemerintah yang mendorong konsumsi dengan alasan perbaikan ekonomi. Namun di sisi lain, ada banyak prosedur yang tebang pilih dalam kebijakan yang ada. Ini sangat tidak selaras dengan kebijakan dan fakta yang ada. 

Contohnya pemerintah melarang masyarakat mudik lebaran tahun ini. Bahwa larangan ini dikeluarkan setelah mempertimbangkan risiko penularan Covid-19 yang masih tinggi.
Namun di sisi lain, pemerintah mengizinkan masyarakat untuk melaksanakan salat tarawih dan salat Idulfitri berjamaah di masjid. Izin dengan syarat pelaksanaan salat mematuhi protokol kesehatan (prokes) Covid-19 yang ketat.

Tak cukup di situ, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno meminta keran pariwisata mulai dibuka. Sandiaga memprediksi sejumlah tempat destinasi wisata akan diserbu masyarakat karena pemerintah melarang aktivitas mudik dilakukan pada tahun ini.

Inilah jadinya paradoks, artinya melarang tapi terjadi seperti itu. Bahwa kebijakan yang diambil saat ini memperlihatkan pemerintah lebih fokus pada upaya perbaikan ekonomi dibandingkan kesehatan masyarakat. Pemerintah tidak memiliki formula yang tepat dalam mengeluarkan kebijakan kebijakan.

Pemerintah senantiasa mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif. Tidak memahami komitmen yang sebenarnya dipegang pemerintah.
Karna memang pemerintah sejak awal kebijakannya sering kontradiktif dengan prinsip pemutusan rantai penularan dan itu berlarut-larut. 

Saat ini butuh kebijakan mandiri untuk mengendalikan wabah dengan serius agar negeri ini segera pulih dan kembali normal seperti biasa. 
Rakyat berharap kebijakan yang benar benar mandiri dan berbasis kepentingan public untuk menghentikan virus dengan cepat agar tidak ada lonjakan seperti di negara-negara lain seperti India dsb. Karena jika dilihat, Indonesia merupakan negara dengan  penduduknya yang padat seperti halnya India.

Wallahu'alam....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak