Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Sungguh, perayaan Idul Fitri tak hanya simbol merayakan kemenangan. Namun juga momen silahturahmi satu dua keluarga atau lebih yang terpisahkan karena jarak, pekerjaan dan yang lain. Maka, bisa dipastikan, setiap kali momen lebaran akan ada momen mudik alias pulang kampung.
Penyebaran manusia dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari desa ke kota jika dilihat dari fakta hari ini wajar, sebab hanya kota yang menjanjikan kehidupan lebih baik dibanding desa. Gemerlap kota mampu menggantikan asrinya pedesaan dan sejuknya hawa persawahan.
Jika ada pendapat yang membantah bahwa pedesaan masih bisa mendatangkan dollar, pasti itu keindahan artificial alias buatan investor berduit besar. Mengkapitalisasi dunia pedesaan seakan-akan kembali ke habitat semula, padahal, faktanya penduduk desa dikotakan, sedang tanah, ladang dan kebunnya, bahkan seluruh kekayaanya diuangkan. Ilusi kapitalisme terjadi, kita hanya beli suasana desa, bukan desa dan kehidupannya.
Dan, saat Covid-19 hadir tanpa bisa dicegah, hingga muncul varian terbaru, kembali penguasa hanya mengeluarkan kebijakan meng-Covidkan semua wilayah hingga perlu adanya penyekatan arus mudik dan arus balik Lebaran. Rakyat dibuat takut dan disumpalkan jargon, saat anda mudik maka anda sedang mengancam keluarga di desa dengan virus yang kemungkinan ada.
Benarkah kebijakan ini? Jika benar, seharusnya konsisten, jangan hanya pemudik yang dilarang dan di batasi, namun juga tempat-tempat berkerumun yang lainnya seperti, tempat pariwisata, mall, pasar dan terminal dan yang lainnya. Jika masih setengah-setengah, jelas ini bukan kebijakan yang harus diikuti.
Jika saja, sejak awal penguasa tegas, membagi dua masyarakat yang sakit dan sehat, melarang warga asing masuk ke dalam negeri dan negara melakukan pembiayaan penuh dari mulai pendataan, penanganan si sakit, menafkahi keluarga pasien, membangun perekonomian bagi yang sehat, mendorong para ahli untuk mengembangkan obat ataupun vaksin guna mencegah virus, mendidik tenaga kesehatan lebih intens dan menggaji mereka dengan layak dan sebagainya.
Jika demikian adanya, tentulah keadaan tak harus kacau balau begini, ritual mudik kembali jadi bencana, bukan karena macet atau kecelakaan, justru karena larangan mudik dan penyekatan di banyak jalur mudik dan balik.
Semestinya penguasa fokus pada penanganan mereka yang positif, bukan kemudian mengalihkan perhatian justru pada masyarakat yang sehat. Sudahlah rakyat tak terjamin kesehatannya jika memang benar-benar mereka pembawa virus dan kemudian menularkannya di kampung halaman, namun masih harus menanggung biaya tes Rapid, antigen atau nose. Apakah ini bukan pemalakan, di mana peran negara?
Idul Fitri tak hanya menjadi momen meraih kemenangan, menang dari melawan hawa nafsu, lapar dan haus saja, namun kemenangan dari kapitalisasi Ri'ayah, alias mengedepankan pelayanan kepada rakyat bukan pada segelintir orang kaya, pengusaha pariwisata, kesehatan dan yang lainnya. Dan kembali kepada penerapan syariat Kaffah. Wallahu a' lam bish showab.
Tags
Opini