Oleh: Ummu Ayla
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)
Mudik resmi dilarang. Pelarangan
ini berlaku dari 6—17 Mei 2021. Namun, tiba-tiba larangan tersebut diperluas.
Tanggal pelarangan mudik diajukan 22 April 2021. Kebijakan ini diambil untuk
meminimalisir penyebaran Covid-19 juga untuk membantu kelancaran program
vaksinasi. Demi mengurangi tingkat mobilitas masyarakat serta menutup
kemungkinan arus mudik berjalan lebih awal, pemerintah berinisiatif mempercepat
pemberlakuan larangan mudik.
Namun
Wakil Presiden Ma'ruf Amin meminta adanya dispensasi bagi
santri untuk pulang ke rumah saat Lebaran, artinya ada permintaan santri tidak
dikenakan aturan larangan mudik sebagaimana masyarakat umum lainnya.
Hanya saja, permintaan Wapres tersebut dinilai
aneh, mengingat semua orang dari lapisan masyarakat apapun, baik pejabat,
masyarakat termasuk santri memiliki peluang yang sama dalam penyebaran
Covid-19(www.cnbcindonesia.com,26/4/21).
Padahal
Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia/ (IPOMI), Kurnia Lesani meminta
pemerintah tidak tebang pilih dalam melaksanakan pengetatan, aturan mudik yang
mulai berlaku tanggal 22 April kemarin. Kurnia meminta angkutan pribadi juga
harus diperketat pengendaliannya. (www.cnbcindonesia.com,23/4/21).
Sealin itu nasib
pengusaha transportasi, termasuk perusahaan bus, bakal mengalami kesulitan
akibat larangan mudik Lebaran 2021.
Kebijakan ini
akan diberlakukan pemerintah mulai 6 sampai 17 Mei mendatang.
Iqbal Tosin,
pengurus Ikatan Pengusaha Bus Indonesia, mengeluhkan larangan mudik Lebaran 2021. Menurut dia, perusahaan otobus akan
mengalami kerugian miliaran karena itu.
"Mudik
tahun ini tahun kedua (ada pelarangan) akibat pandemi Covid-19," ucap
Iqbal pada Kamis, 15 April 2021(Tempo.Co,16/4/21).
Apalah daya masyarakat, mereka
sekadar rakyat yang harus mengikuti kemauan tuannya. Kebijakan yang telah
diputuskan, mau tidak mau dilaksanakan. Sayangnya, dalam pelarangan kali ini
ada anomali. Ada pihak-pihak yang diperbolehkan melakukan perjalanan dengan
alasan tertentu. Beberapa pihak yang akan mendapat pengecualian adalah orang
yang bekerja/perjalanan dinas, kunjungan keluarga sakit, kunjungan duka anggota
keluarga yang meninggal, ibu hamil yang didampingi satu orang anggota keluarga,
kepentingan persalinan yang didampingi dua orang (pikiran-rakyat.com,
25/4/21).
Jika anomali tersebut berlaku bagi
kondisi-kondisi urgen, masyarakat akan memaklumi. Sayangnya, ada permintaan
dari pejabat negara agar larangan itu tidak berlaku bagi para santri. Orang
nomor dua di negeri ini memberikan alasan, lebaran adalah momen berharga bagi
mereka. Para santri bisa bertemu sanak famili hanya saat lebaran. Jadi, jika
larangan mudik diberlakukan untuk semua, santri-santri tersebut tak bisa pulang
kampung dan bertemu dengan keluarga.
Permintaan yang cukup
mengherankan, bukan? Alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan mudik
untuk menghambat penyebaran Covid-19. Jika para santri diizinkan pulang,
kemudian melakukan perjalanan, apakah virus Corona akan tebang pilih? Para
santri akan kebal dengan virus ini? Jika permintaan ini dipenuhi, tidak akan
menutup kemungkinan akan ada permintaan dispensasi berikutnya. Pada akhirnya
aturan hanya berlaku bagi rakyat jelata, bukan untuk penguasa.
Bagaimana pandemi akan berakhir
jika kebijakan saling menganulir. Larangan mudik dibarengi dengan pembukaan
tempat pariwisata adalah sebuah fakta. Hanya karena alasan perputaran roda
ekonomi, keselamatan rakyat menjadi taruhannya. Apakah ada jaminan di saat
berpariwisata tak terpapar Corona?
Belum lagi aksi dari
kelompok-kelompok tertentu yang meminta dispensasi terhadap kebijakan pandemi.
Kondisi semacam ini akan mengakibatkan masalah baru di kemudian hari. Rakyat
pun akan memilih melanggar kebijakan dari pada menaati. Karena merasa menjadi
anak tiri. Kalau seperti ini masihkah dibutuhkan kebijakan yang silih berganti?
Bukannya menyelesaikan masalah, tapi membuat semakin parah.
Jika aturan yang dipakai masih
sistem kapitalis, dapat dipastikan tidak akan mampu menyelesaikan masalah.
Karena aturan yang diambil akan selalu dilandaskan pada untung rugi atau
berdasar kepentingan tertentu. Oleh karena itu diperlukan sistem yang dapat
menyelesaikan secara tuntas. Yaitu, sistem yang memandang rakyat sebagai
tanggung jawabnya. Apalagi jika bukan Islam?
“Setiap kalian
adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang
imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki
adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya.
Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai
pertanggungjawabannya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan ia
juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin
dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.” (HR Bukhari).
Wallahualam Bissawab