Oleh Siti Alfina, S. Pd
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Pandemi Covid-19 yang sudah berjalan hampir setahun lebih membawa dampak besar bagi negeri ini. Kasus penularan makin hari kian bertambah, sementara ada juga yang mengalami penurunan tapi tetap belum dikatakan pulih total. Ditambah lagi penanganan pencegahannya yang terkesan tidak serius bahkan bisa dikatakan plin-plan.
Dampak yang sangat terasa tentu saja versi lengkap dalam kehidupan, baik itu kesehatan, keselamatan maupun perekonomian. Baik itu dirasakan oleh orang rumahan, orang kantoran ataupun orang usahawan. Pemerintah yang sedari awal lebih concern hanya memikirkan perekonomian yang anjlok ketimbang keselamatan nyawa, untuk itu terus menerus melakukan terobosan guna memulihkan keadaan. Salah satunya lumpuhnya perekonomian Bali sebagai surganya para wisatawan.
Selamatkan Perekonomian Bali, Pariwisata Harus Digenjot KemBali
Bali yang dikenal dengan The island of paradise, memang menjadi surganya bagi para wisatawan lokal dan mancanegara yang wajib dikunjungi sebagai salah satu destinasi wisata Indonesia. Bali dengan beragam pesona alamnya, masih terjaga budaya dan tradisinya mengisahkan cerita menarik penuh eksotis bagi siapa saja yang berkunjung kesana.
Namun, akibat pandemi yang terjadi pertumbuhan ekonomi Bali menurun drastis sampai minus 9%. Padahal sektor pariwisata inilah penyumbang terbesar pemasukan daerahnya. Perekonomian lumpuh, wisata Bali mati suri.
Tidak ingin kondisi ini berlarut-larut, pemerintah gercep (gerak cepat) mengambil sikap. Salah satu caranya adalah meluncurkan pencanangan program Work From Bali (WFB) bagi ASN di Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi beserta tujuh kementerian di bawah koordinasinya.
Tujuh kementerian yang dimaksud adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Investasi.
Perencanaan ini sudah dikaji dengan mempertimbangkan beberapa hal, seperti kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); mengirim ASN kesana dengan jargon 'wisata sambil bekerja', serta merinci kuota dan jenis pekerjaan yang bisa dikerjakan di Bali.
Program ini bukan satu-satunya upaya pemerintah untuk mengembalikan perekonomian Bali seperti sedia kala pasca pandemi Covid-19. "Yang ingin dijaga keseimbanganya adalah penanganan Covid-19 dan juga pertumbuhan ekonominya," Ujar Deputi Bidang Koordinasi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kemenko Marves, Odo R.M. Manuhutu, (Liputan6.com, 22/05)
Mengutip data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Odo mengatakan bahwa proses vaksinasi yang paling cepat dan tinggi di Indonesia adalah di Bali. Hal ini sengaja dilakukan oleh pemerintah agar bisa menimbulkan rasa percaya bahwa Bali sebagai destinasi wisata merupakan tempat yang aman untuk berkunjung
Tepat Sasarankah?
Jika dianalisis rencana program pemerintah ini yang mencanangkan 25% ASN untuk WFB sepertinya merupakan program abal-abal. Bagaimana tidak, ketika rakyat di seluruh Indonesia ini masih berjibaku menghadapi dampak pandemi, melihat pemerintah yang tidak serius menanganinya, kemudian rakyat dibatasi dengan kebijakan yang tebang pilih, pemerintah sibuk hanya memperhatikan penyelamatan Bali. Bukankah Indonesia ini luas dan rata-rata semua daerah terkena dampaknya. Tapi kenapa hanya Bali yang ingin dipulihkan ekonominya?
Bali dengan pesona wisatanya memang menjadi hal yang menggiurkan bagi pemilik modal. Sudah mafhum bagi kita bersama,watak ekonomi kapitalis memang senantiasa mengandalkan untung rugi dalam pelaksanaannya tanpa peduli situasi kondisi yang terjadi, semua bisa disulap sesuai kepentingan pribadi. Memulihkan ekonomi dengan menggenjot pariwisata bisa saja dilakukan dalam sistem asalkan mendapat manfaat. Pasalnya, dengan adanya 25 persen ASN yang bekerja di Bali secara otomatis akan meningkatkan tingkat okupansi hotel di wilayah tersebut.
Benarkah ekonomi rakyat yang diperhatikan atau ekonomi korporat? Padahal untuk menjalankan bisnis pariwisata serta pengelolaannya sudah pasti membutuhkan modal yg fantastis. Apakah mampu rakyat biasa menjalaninya? Tentu saja tidak, jelas pemilik modal-lah yang punya kuasa. Pertumbuhan ekonomi menurun selama pandemi kemudian ingin memulihkannya kembali dengan meyakinkan kepada dunia bahwa Bali aman untuk dikunjungi, ini sudah jelas pemerintah hanya serius terhadap kantong pengusaha disana. Karena jika Bali kemBali maka pundi-pundi negara pun akan penuh lagi. Artinya, kebijakan ini jelas mengonfirmasi keberpihakan pemerintah kepada pengusaha daripada rakyat jelata.
Islam Menjadi Solusi Hakiki
Mengandalkan pemasukan dari sektor wisata sebenarnya sah-sah saja asalkan sesuai dengan syariat. Pengelolaan SDA yang merupakan harta yang termasuk kepemilikan umum wajib dikelola oleh negara dan haram menyerahkan pengelolaannya kepada individu, swasta apalagi asing. Tidak boleh diprivatisasi maupun dimonopoli. Hasilnya akan diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum.
Manusia sebagai amanah dari Allah di muka bumi maka konsekuensi keimanan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya, termasuk para penguasanya, wajib terikat dengan seluruh aturan syariah Islam. Karena itu semua perkara dan persoalan kehidupan, termasuk masalah pengelolaan sumber daya alam harus dikembalikan pada Al-quran dan as-sunah.
Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullahﷺ : Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api._ (HR Ibnu Majah). Kemudian, Rasul ﷺ juga bersabda: Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api. (HR Ibnu Majah)
Makanya, apa saja yang sudah ditentukan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya termasuk dalam ketentuan dalam pengelolaan sumber daya alam wajib dilaksanakan, tak boleh diingkari.
Sebagaimana firman Allah Swt. :
"Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepada kalian, terimalah (dan amalkan). Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah sangat pedih azab-Nya". (TQS al-Hasyr [59]: 7).
Selama pengelolaan sumber daya alam didasarkan pada aturan-aturan sekuler kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tidak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pastinya akan kehilangan berkahnya. Tetapi jika diatur sesuai syariah keberkahan akan melimpah dan kesejahteraan akan tercurah. Sudah saatnya bagi kita mengembalikan pengaturan kehidupan hanya bersandar pada aturan sang pencipta.
Wallahu'alam bishawab