Penistaan Agama, Wajar Tumbuh Subur di Negeri Sekular?


sumber gambar: google


Oleh Husnia
(Pemerhati Sosial)

Rasanya bak ‘gugur satu tumbuh seribu, kasus penistaan agama di negeri Muslim ini tak pernah habis. Anehnya, Islam selalu menjadi sasaran utama dalam setiap penistaan yang dilakukan.

Seorang YouTubers yang bernama Joseph Paul Zhang menistakan agama Islam dengan mengaku sebagai Nabi ke-26, menghina Allah Swt dan Rasul-Nya, Muhammad Saw. Penistaan tersebut disampaikan melalui akun YouTube miliknya yang diunggah dalam sebuah forum diskusi Zoom, berdurasi sekitar tiga jam dua puluh menit.

Tak hanya menistakan agama Islam dengan mengaku sebagai Nabi, dirinya pun menantang untuk dilaporkan ke pihak kepolisian dan berjanji akan memberi sejumlah uang kepada siapa saja yang bisa melaporkannya dengan tuduhan penistaan agama. (http://news.id, 17/4/2021)

Penista agama Produk Sekulerisme-Liberal

Dalam unggahan yang diberinya judul ‘Puasa Lalim Islam’ tersebut, Joseph juga menghina Allah Swt dengan menyebut bahwa Allah sedang dikunci di Ka’bah hingga menyebut umat Islam dibodoh-bodohi oleh ulamanya. Salah satunya terkait dengan tindakan rudapaksa di Arab Saudi. Menurutnya, semakin beragama, semakin tinggi pula kasus pemerkosaannya. Apabila kasus tersebut dilaporkan, kata dia, maka akan mendapat hukuman cambuk sehingga kasusnya seolah minim (Fokusatu, 18/4/21)

Sampai hari ini, kasus penistaan Islam di negeri kita, Indonesia seolah tidak pernah kering dari pemberitaan media. Kasusnya kian marak, anehnya para pelaku seolah tidak tersentuh hukum.

Dengan adanya kasus baru yang datang dari sang penista Joseph Paul Zhang, lagi-lagi hukum itu tak berwujud, pemerintah dan aparat di negeri Muslim ini masih pada sikap yang sama, yakni diam seribu bahasa. Mestinya, dalam persoalan ini negaralah yang berperan penting serta tegas terhadap penista agama agar kasus serupa tak merajalela.

Akan tetapi, kondisi ini telah menjadi konsekuensi logis dari penerapan sistem fasad (rusak) sekularisme-liberal yang mendoktrinkan pemisahan agama dari kehidupan. Sekularisme ini menjadi asas bagi liberalisme yang diwujudkan dalam HAM berupa jaminan kebebasan kepada setiap individu untuk bebas berpendapat, berekspresi dan berperilaku sehingga mereka kian berani menghina bahkan menistakan Islam.

Adapun pengaturan sanksi pidana bagi sang penista agama ala sistem rusak yang satu ini adalah berdasarkan hukum positif buatan manusia. Hukum tersebut salah satunya merujuk pada pasal 156 huruf a KUHP yang bersumber dari Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (UU No.1/PNPS/1965) yang berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakaukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Namun, pasal di atas dianggap pasal karet dengan sejumlah pihak menyebut bahwa pasal ini dapat menimbulkan multitafsir dalam implementasi dan pembuktian atas suatu kasus penistaan.

Selanjutnya, pada pasal 349 RKUHP menyatakan bahwa seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap agama malalui sarana teknologi informasi diancam pidana penjara paling lama lima tahun. Namun faktanya, adanya hukum ini tidak tegas kepada para pelaku. Akibatnya bukan membuat jera, justru semakin menyuburkan kasus yang serupa, bahkan oleh orang yang sama.

Inilah realitas bahwa sekularisme tidak dapat menjaga kemuliaan Islam. Keniscayaan adanya kebebasan di dalamnya, ditambah lagi dengan keberadaan sanksi sebagai bentuk perlindungan Islam dari sasaran pelecehan, penghinaan, penistaan dan sejenisnya yang tidak bertaring menyebabkan kasus penistaan ini akan terus bermunculan, baik masa kini maupun masa mendatang.

Jika sudah seperti ini kondisinya, maka tak ada jalan lain untuk menyelamatkan Islam dari sasaran pelecehan melainkan mengubur ide kebebasan itu sebagai biang kerok agar kemuliaan Islam tetap terjaga.

Khilafah Menjaga Kemuliaan Islam

Islam adalah agama yang tegas. Agama yang mempunyai sanksi yang tepat dalam segala hal. Terkait dengan penistaan agama, Islam memberikan gambaran tentang sikap yang seharusnya diambil oleh kaum Muslimin.

Pada masa Rasûlullâh Saw, kasus seperti ini pernah terjadi dalam peristiwa perang Tabuk. Pada saat itu, kaum munafikin menghina para Sahabat ra. Rasulullah Saw tidak menerima uzur para penghina tersebut, bahkan tidak melihat alasan mereka sama sekali yang mengaku perbuatannya itu sekadar bermain dan bercanda. Beliau Saw. membacakan firman Allah Azza wa Jalla:

"Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab:Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja. Katakanlah:Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. [At-Taubah/9:66].

Berdasarkan dalil ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa menghina Allâh Swt, ayat suci dan Rasul-Nya adalah perbuatan kekafiran yang membuat pelakunya kafir setelah iman dengan hukuman sama dengan seseorang yang murtad. Maka, hukuman bagi pelaku penistaan agama adalah hukuman mati.

Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, "Tidak ada khilaf bahwa pencela Allah Azza wa Jalla dari kalangan kaum Muslimin adalah kafir yang halal darahnya. Kemudian al-Qadhi Iyadh rahimahullah menukilan pernyataan Imam Malik rahimahullah : “Siapa yang menistakan Allah Azza wa Jalla dari kaum Muslimin, dibunuh tanpa dimintai taubat". Ini merupakan pendapat Al-Qadhi Abu Fadhal, Abu Hanifah, As-Tsauri, Al-Auzai, Malik bin Anas, Abu Musab dan Ibn Uwais, Ashba dan Abdullah bin Al-Hakam. Bahkan Al-Qadhi Iyadh menyatakan ini merupakan kesepakatan para ulama (Lihat: At-Qadhi Iyadh, Asy-Syifa bi Tarif Huquq Al-Musthafa, hlm 428-430).

Akan tetapi, perlu dipahami bahwa hukuman ini hanya akan terlaksana dengan dukungan penerapan aturan Islam di segala segi kehidupan. Semua akan bersinergi untuk melaksanakan hukuman mati, bagi pencela Islam.

Dengan hukuman ini adalah cara negara dalam menjaga kemuliaan Islam serta menjaga umat agar tak meninggalkan Risalah yang telah dibawah Rasulullah Saw, yakni agama Islam.

Dari sini menunjukkan kepada kita, hanya dengan negara Islamlah kemuliaan agama ini akan terpelihara, Sehingga memperjuangkan kembalinya Diinul Islam di muka bumi haruslah digencarkan agar bumi sejahtera dan kasus penistaan agama tak akan kita jumpai lagi. Wallahu alam bi shawaab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak