Oleh : Siti Komariah
(Pemerhati Masalah Umat)
Tidak dapat dihelakkan jika Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya, mulai dari hutan, hasil laut, minyak bumi, gas alam, batu bara, dan lainnya. Maka, tidak heran jika kekayaan sumber daya alam ini harus dimanfaatkan dan dikelola.
Sebagaimana di daerah Sulawesi Tenggara, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra), menetapkan sembilan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep).
Hal itu sampaikan oleh Gubernur Sultra, Ali Mazi saat menggelar konperensi pers bersama Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia di Rumah Jabatan (Rujab) Gubernur Sultra, Selasa (30/3/2021).
Ali menuturkan, berdasarkan hasil rapat evaluasi bersama pemerintah pusat, bahwa di Konkep sudah dapat melakukan aktivitas tambang. Ali Mazi juga mengatakan bahwa daerah yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA), harus dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, demi kesejahteraan masyarakat.
“Saya kira bukan melihat besar kecilnya, tetapi melihat potensi yang ada. Mubazzir, jika tak dimanfaatkan, sebab itu dari Allah. Bagaimana potensi yang ada di bawah tanah kita hadirkan ke permukaan agar menjadi sesuatu yang bermanfaat,” tandasnya (detiksultra.com, 30/3/2021).
Benarkah Demi Kesejahteraan Rakyat?
Memang benar adanya apa yang dikatakan oleh Gubernur Sultra, jika keberadaan sumber daya alam yang melimpah patut dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, sebab dia adalah harta yang dikaruniakan Allah kepada umatnya, terlebih di daerah Sultra yang menurut data memiliki SDA yang melimpah. Namun, menjadi sebuah pertanyaan dalam benak kita, benarkah pengelolaan tambang nantinya demi kesejahteraan rakyat atau demi kesejahteraan pemilik modal?
Seperti kita ketahui bersama, jika negeri ini masih menganut sistem kapitalis liberal. Sistem yang tidak memiliki aturan mendasar untuk mengatur umat manusia. Bahkan, sumber aturannya berasal dari akal manusia yang terbatas, lemah dan serba kurang. Begitu pun, dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sistem tersebut meniscayakan SDA untuk dikekola oleh asing/swasta. Artinya, setiap orang berhak menguasai SDA jika mereka memiliki modal untuk mengembangkannya dan mengelolanya. Alhasil dengan dikuasinya SDA oleh para pemilik modal, maka hal mustahil jika landasan utama pengelolaan SDA demi kesejahteraan rakyat. Para pengusaha akan senantiasa berhitung untung rugi kepada rakyatnya. Sehingga, hasil sumber daya alam hanya dinikmati oleh segelincir orang.
Selain itu, SDA pun bebas dikuasi oleh Asing dengan berbagai dalih, salah satunya dengan dasar investasi. Hal ini dianggap akan mampu mendobrak pengelolaan SDA lebih baik lagi dan memberikan penharuh besar pada perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Padahal, dengan masuknya investor asing dalam pengelolaan SDA, maka bisa dipastikan jika SDA negeri ini akan dikuras dan dieksploitasi dengan suka-suka, sebagaimana yang telah terjadi. Bahkan, tak jarang para investor Asing memasukkan pekerja Asing, dan mengabaikan pekerja lokal. Akibatnya, hasil SDA tersebut dinikmati oleh Asing dan membuat rakyat negeri ini gigit jari.
Islam Memandang
Jika dalam sistem kapitalisme meniscayakan pengelolaan SDA kepada asing/swasta, maka dalam Islam haram hukumnya SDA dikelola oleh Swasta, terlebih asing. Sebab, Islam memiliki aturan dalam sistem ekonominya tentang kepemilikan (al-milkiyah).
Kepemilikan dalam Islam terbagi menjadi 3 hal, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Dimana, kepemilikan tersebut telah jelas aturannya. Seperti pengelolaan SDA yang menurut syara adalah harta milik umat. Sebagaimana sabda Rasulullah " Manusia berserikat dalam 3 hal, air, api, dan padang (rumput), ( HR. Abu Daud dan Ahmad). Sehingga, keberadaan SDA yang menjadi harta milik umat, maka haram hukumnya untuk diswastanisasi dan diprivatisasi.
Keharaman SDA dikelola oleh asing/individu pun ditegaskan oleh sikap Rasulullah yang mencabut izin pengelolaan tambang garam dari Abyadh. Di mana pada saat itu, Abyah meminta izin guna mengelola tambang garam, Rasulullah sempat mengizinkannya, sebab beliau belum mengetahui jika yang dikelola Abyadh adalah tambang garam. Namun, setelah sahabat Rasul memberitahu jika itu adalah tambang garam, maka Rasulullah mencabut izin pengelolaan tersebut. Hal ini membuktikan jika memang pengelolaan SDA hanya boleh dilakukan oleh negara guna pemasukan harta umat dan kesejahteraan rakyat.
Dengan pengelolan di tangan negara sesuai dengan syariat Islam, maka bisa dipastikan jika rakyat sejahtera dan SDA benar-benar digunakan untuk kemaslahatan rakyat. Wallahu A'alam Bisshawab.