Oleh drg Endartini Kusumastuti (Pemerhati Kesehatan
Masyarakat Kota Kendari)
Bagai Buah Simalakama
Sepertinya kiasan
tersebut pas menghadapi pandemi yang tidak kunjung habis saat ini. Seperti
dilansir di media nasional maupun internasional, India melaporkan 379.257 kasus baru COVID-19 dan 3.645
kematian baru pada Kamis, menurut data kementerian kesehatan. Sejauh ini, itu
adalah hari paling mematikan bagi India sejak awal pandemi. Total infeksi
COVID-19 India melampaui 18 juta pada Kamis, di tengah upaya negara itu
menghadapi gelombang kedua penyakit mematikan tersebut. Di Malaysia juga
melaporkan hal yang serupa. Kasus aktif Covid-19 di Malaysia menembus angka
30.000 pada Minggu (2/5/2021) setelah ada penambahan 3.418 kasus harian baru.
Angka kasus aktif virus corona Malaysia ini adalah yang tertinggi di sana sejak
24 Februari, demikian dilaporkan Malay
Mail.
Lain halnya dengan
yang sedang terjadi di negeri ini. Pemerintah sedang mengalami kebingungan
akibat kebijakan yang tidak pernah sinkron mulai dari pusat hingga daerah. Dilematis, inilah yang dialami publik. Larangan mudik selalu
menjadi polemik dan tidak pula mampu menghentikan laju naiknya angka penularan
virus Covid-19. Di satu sisi ingin agar angka penderita COVID tidak menanjak.
Hingga mengeluarkan kebijakan pelarangan mudik. Namun di sisi lainnya, tempat
wisata dibuka, akses transportasi bandara, pelabuhan, stasiun dan terminal bus
tetap beroperasi. Bahkan gerai pusat perbelanjaan makin ramai dikunjungi
masyarakat di minggu terakhir ramadhan ini. “Mudik dilarang, wisata
dibiarkan. Apa korona bisa milih kumpulan orang?” Demikian salah satu bentuk
protes warga terkait kebijakan larangan mudik Lebaran yang baru diterbitkan
pemerintah. Namun demikian, benarkah kekhawatiran akan penularan penyakit
menjadi landasan kebijakan larangan mudik? Tampaknya ada yang perlu didetailkan
terkait kebijakan ini. Sebab, saat mudik dilarang, wisata malah dibiarkan
lebar-lebar.
Pemerintah beralasan pelarangan
mudik dilakukan dalam rangka mendukung program vaksinasi Covid-19 yang masih
berlangsung. Mekanisme pergerakan orang dan barang akan diatur. Tapi tampaknya,
dampaknya tidak akan jauh berbeda dari keputusan pelarangan mudik tahun
sebelumnya. Larangan mudik terkesan sebagai kebijakan basa-basi dengan dalih
menurunkan angka pandemi. Mengapa dikatakan kebijakan basa-basi? Karena
keputusan tersebut tidak diputuskan dengan cermat dan penuh antisipasi.
Seharusnya pemerintah memiliki catatan penting atas kebijakan pelarangan mudik
tahun lalu. Melakukan evaluasi, apakah sudah efektif pelarangan mudik terhadap
angka penyebaran COVID-19 ini?
Pengamat Transportasi dari
Universitas Katolik Soegijapranata (UNIKA) Semarang, Djoko Setijowarno mengatakan,
diprediksi pascalebaran justru terjadi ledakan penderita Covid baru. Secara
psikologis, hal ini akan menurunkan kepercayaan (low trust) rakyat
terhadap kebijakan pemerintah menuntaskan pandemi, bahkan kebijakan vaksinasi
bisa dianggap gagal. Belum sepekan turun larangan mudik, turun lagi aturan
baru. Pemerintah melalui Satgas Penanganan Covid-19 memutuskan untuk
memberlakukan pengetatan mobilitas Pelaku Perjalanan Dalam Negeri (PPDN)
menjelang masa peniadaan mudik pada 6—17 Mei 2021. Rakyat bukan hanya dibuat
bingung dengan rentang larangan mudik yang berubah-ubah, tetapi juga bingung
terhadap tidak kompaknya kebijakan pejabat satu dengan yang lain.
Tetap dibukanya akses pariwisata juga menjadi
kebijakan yang berseberangan dengan pelarangan mudik. Kebijakan publik satu ini
memang dianggap cukup aneh. Di satu sisi, mudik dilarang karena khawatir
penyebaran virus. Namun di sisi lain, di tempat wisata yang sangat berpotensi
terjadi perkumpulan massa, malah dibuka dan warga didorong untuk mendatanginya.
Ketika masyarakat mengkritisi ketakkonsistenan pemerintah, Menteri Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, menegaskan mudik Lebaran tahun 2021 dilarang
pemerintah. Namun, berwisata diperbolehkan selama mengacu protokol kesehatan
dalam bingkai PPKM Skala Mikro.
Kebijakan pemerintah ini betul-betul menyalahi
pandangan para ahli epidemiologi sejak tahun lalu. Ahli epidemiologi dari
Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko Wahyono menilai, seharusnya tempat
wisata ditutup untuk mencegah penyebaran Covid-19. Sebab, menurut dia, jika
tempat wisata tidak ditutup, masyarakat akan tetap pergi berlibur di tengah
pandemi dan akan membuat lonjakan kasus Covid-19. Dengan tetap dibukanya tempat
wisata—bahkan sampai mendorong masyarakat mendatanginya—, benar-benar
menunjukkan pemerintah menutup mata dengan kondisi yang ada. Sungguh miris, Pemerintah seolah lupa, esensi
pelarangan mudik adalah menghindari kerumunan demi mengurangi penyebaran kasus
yang rawan terjadi dalam rangkaian aktivitas mudik. Sementara, hal itu justru
berpotensi terjadi bila wisata dibuka. Sungguh, kebijakan ini ibarat pembodohan
terhadap masyarakat.
Kebijakan Publik untuk Siapa?
Kebijakan
Publik adalah kebijakan atau keputusan yang mengikat orang banyak pada tataran
strategis atau garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas atau kekuasaan
publik. Selanjutnya, yang dimaksud dengan pemegang otoritas atau kekuasaan
publik adalah mereka yang menerima mandat dari publik, yang biasanya diperoleh
melalui pemilihan umum. (wikipedia Indonesia)
Fokus utama kebijakan publik sekarang ini adalah pada
pelayanan publik, yaitu segala sesuatu yang bisa dilakukan negara untuk
mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak (masyarakat).
Pelayanan publik ini dilakukan sebagai penyeimbang kewenangan atau hak
pemerintah untuk menarik pajak dan retribusi dari masyarakat. Sekalipun
difokuskan pada pelayanan publik, tetapi kebijakan publik yang dibuat oleh
pemerintah ditengarai justru sering menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Coba lihat bagaimana kebijakan UU ITE, Omnibus Law, BPJS, dan lain-lain, yang
nyatanya menimbulkan tanya kritis hingga gelombang penolakan di tengah
masyarakat.
Sebagaimana prinsip kapitalisme—tidak ada makan siang
gratis—, maka pendanaan kampanye berbarter dengan kebijakan
yang pro pada pemilik modal daripada rakyat. Pun, pembukaan tempat wisata di
tengah pandemi juga menunjukkan kelemahan pemerintah dalam mencari solusi
pengentasan keterpurukan ekonomi di tengah pandemi. Jika mau jujur,
keterpurukan ekonomi dunia—termasuk Indonesia—bukan dimulai saat pandemi
melanda. Jauh sebelum ada pandemi, sistem ekonomi kapitalisme yang menguasai
dunia hari ini mempunyai cacat bawaan yang akan mengalami krisis berulang.
Sistem ekonomi kapitalismelah yang menjarah berbagai
kekayaan alam dunia ketiga, memiskinkan mereka; dan ketika pandemi tiba,
ekonomi pun tersungkur tak berdaya. Hingga seperti Indonesia—yang melimpah
kekayaan alamnya—kini menggantungkan hanya pada sektor pariwisata untuk bangun
dari keterpurukan ekonomi. Tanah, air, ladang, hutan, tambang, semuanya sudah
bukan milik kita. Indonesia sold
out! Inilah potret negara yang diatur kapitalisme,
mengorbankan rakyat sendiri dan menguntungkan korporasi. Yang lebih miris lagi,
pelayanan publik dalam sistem kapitalisme demokrasi saat ini dilakukan sebagai
penyeimbang kewenangan atau hak pemerintah untuk menarik pajak dan retribusi
dari masyarakat. Pelayanan pemerintah terhadap rakyatnya menuntut imbal balik.
Kebijakan
Utuh Tuntaskan Pandemi Hanya Dengan Islam
Sungguh berat mengampu amanah sebagai pemimpin atau
kepala negara, karena bukan perkara mudah memutuskan suatu perkara menyangkut
hajat hidup masyarakat. Pemimpin harus bertanggung jawab melayani rakyat agar
bisa hidup layak sebagai manusia bermartabat. Ia juga menjamin rakyat
mendapatkan hak-haknya yaitu dengan terpenuhinya sandang, pangan, dan papan
dengan murah; terpenuhinya pendidikan, kesehatan, juga keamanan yang gratis
serta berkualitas; serta mengharuskannya memiliki kepekaan sosial yang tinggi.
Kondisi pelayanan publik dalam Islam
sangat jauh berbeda dengan yang diterapkan sistem Kapitalisme saat ini. Dalam Islam, mengelola manajemen berbagai urusan
negara dan kepentingan masyarakat, baik oleh departemen, jawatan, serta
unit-unit yang didirikan untuk menjalankan urusan negara dan memenuhi kebutuhan
masyarakat. Hal tersebut dilakukan semata karena pertanggungjawaban syariat
sebagai pelayan umat. Bukan karena kontrak politik, bukan pula sebagai pihak
yang digaji oleh rakyat.
Khalifah Umar ra. pernah mengatakan, “Sayyidul qaumi khadimuhun,”
(pemimpin kaum di antaranya diukur dari mutu pelayanannya). Bukan “khadi’uhum” (pandai
menipu mereka). Menurut K.H. Hafidz Abdurrahman (Khadim Ma’had Syaraful
Haramain), krisis dan pandemi sudah pernah terjadi dalam sejarah kehidupan umat
manusia, termasuk dalam era kejayaan Islam. Namun, semua berhasil dilalui kaum
muslimin. Dalam kondisi krisis, umat berdiri menjadi pengasuh, penjaga, dan
penopang utama kekuasaan negara, sebab negara mengurus urusan mereka, memenuhi
segala hak-hak mereka.
Penting bagi kaum muslimin memahami bahwa kualitas
kepemimpinan seseorang tidak ditentukan banyaknya berpidato, melainkan banyak
melayani dan mendengar. Jika kita menelusuri sejarah Islam, kita dapati sosok
Umar bin Khaththab yang memiliki bobot keputusan yang bagus untuk diteladani.
Umar memilih orang-orang terbaik untuk membangun suatu daerah yang dipimpinnya
agar tidak rusak. Itu dilakukan untuk mempertahankan eksistensi suatu negara.
Suatu kebijakan yang diberlakukan ditentukan dari kualitas dan bobot pemimpin
yang mengeluarkan kebijakan tersebut. Selama masih dipimpin oleh pemimpin yang
menerapkan sistem kapitalisme sekuler, masih mementingkan urusan perut para
kapitalis daripada urusan perut rakyatnya, masih bekerja sama dengan asing atau
aseng mengelola kekayaan SDA, mustahil rakyat mendapatkan kebijakan yang
sepenuh hati bisa menuntaskan pandemi.
Dengan demikian, kebijakan yang serba membingungkan
rakyat ini seharusnya menjadi evalusi bersama dalam mengatasi pandemi COVID-19.
Kita tentu tidak ingin angka penderita makin naik, apalagi jika ada serangan
kluster wisata atau kluster mall. Rakyat berharap ada kebijakan yang
benar-benar mandiri, berbasis kepentingan publik untuk menghentikan penyebaran
virus SARSCov-19 atau bahkan varian barunya. Sayangnya kebijakan selama ini
lebih banyak hanya mengikuti rekomendasi global yang terbukti gagal
menghentikan virus. Islam mewajikan negara mengatasi wabah dengan basis konsep
benar dari Syariah dan mengikuti pandangan ilmiah yang mandiri, bukan mengikuti
desakan global kapitalis.
Menjelang Idul
Fitri rezim mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mencegah terjadinya penularan
Covid-19. Berhubung, hingga dipenghujung Ramadhan tahun ini penyebaran pandemi
virus korona masih menunjukkan angka yang cukup tinggi.
Oleh : Devita
Nanda Fitriani, S.Pd (Freelance Writer)
Menjelang Idul
Fitri rezim mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mencegah terjadinya penularan
Covid-19. Berhubung, hingga dipenghujung Ramadhan tahun ini penyebaran pandemi
virus korona masih menunjukkan angka yang cukup tinggi.
Salah satu
kebijakan rezim yakni larangan mudik demi mengurangi mobilitas. Awalnya,
pemerintah tidak mengijinkan adanya mudik antar provinsi. Seiring berjalannya
waktu, mudik antar kabupaten pun kini dilarang.
Masyarakat banyak
yang geram dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim. Jika hanya
mengeluarkan kebijakan untuk mencegah penyebaran pandemi, mungkin khalayak
masih bisa menerima. Hanya saja, disaat yang bersamaan pemerintah juga masih membolehkan
aktivitas yang dinilai bertentangan dengan pencegahan virus dengan alasan
pendongkrakan ekonomi.
Seperti
dibolehkannya pembukaan pusat-pusat belanja. Padahal peluang terjadinya
kerumunan diarea belanja begitu besar. Tengok saja, sebagaimana yang terjadi di
Pasar Tanah Abang. Bahkan, Polda Metro Jaya turun tangan mengatasi kerumunan
yang terjadi di Pusat Grosir Pasar Tanah Abang itu (www.liputan6.com,
3/5/2021).
Yang paling miris
yakni pembolehan masuknya warga negara asing (WNA) asal China ditengah
pemberlakuan larangan mudik. Sebagaimana yang dikutip dari website
www.merdeka.com (7/5/2021), di tengah bergulirnya kebijakan Pemerintah mengenai
pelarangan mudik di dalam negeri, viral sebuah video beredar luas di media
sosial. Dalam video berdurasi singkat tersebut, nampak sejumlah WNA yang diduga
berasal dari China berhamburan keluar dari pintu kedatangan Bandara Soekarno
Hatta.
Berdasarkan
kesaksian pemilik video, ada lebih dari 20 WNA China yang kala itu tengah
bergegas masuk ke dalam sebuah bus. Diketahui, hal tersebut berlangsung pada
Selasa (4/5) pukul 15.30 WIB. Sadisnya lagi, dua dari 85 WNA China yang masuk
Indonesia dinyatakan positif Covid-19 setelah dilakukan Swab pertama
(www.akurat.co, 7/5/2021).
Begitulah fakta
rezim hari ini, sering mengeluarkan kebijakan yang menimbulkan kekisruhan
ditengah rakyat. Alasan pamungkas yang dijadikan tameng pembenaran juga selalu
sama, yakni demi mendongkrak perekonomian bangsa. Padahal seharusnya rezim
menyadari jika sistem yang mereka terapkan saat inilah (Demokrasi-Kapitalisme)
pemicu perekonomian negara tidak stabil.
Realitas lainnya,
bukan kali ini saja rezim mengeluarkan kebijakan yang saling bertentangan. Dan
rakyat tidak cukup hanya merasa geram semata.
Namun sebagai hamba Allah yang dikaruniai akal, masyarakat haruslah bisa
menganalisa fakta tersebut sehingga sampai kepada kesimpulan jika kebijakan
maupun solusi yang berasal dari sistem Demokrasi-Kapitalisme yang notabene
tidak bersumber dari Sang Pencipta tak mampu menghadirkan ketenteraman maupun
kesejahteraan. Sehingga, bukankah sudah waktunya bagi kita untuk mengganti
Demokrasi-Kapitalisme dengan aturan yang lebih baik?
Berbicara
pengganti, tentu saja bukan aturan yang juga bersumber dari manusia, seperti
Sosialisme-Komunisme misalnya, karena pasti akan menimbulkan kebijakan maupun
solusi yang sama. Namun harus aturan yang bersumber dari Sang Pencipta, yakni
Islam.
Dengan
karakteristiknya yang memiliki aturan paripurna baik dari segi ekonomi,
kesehatan, dll, dapat dipastikan Islam bisa mengentaskan setiap problem
kehidupan dengan kebijakan terbaik. Ketenteraman yang saat ini bersifat utopis
dibawah naungan sistem buatan manusia akan bisa diraih tatkala aturan Islam
diterapkan. Tentu saja hal itu hanya bisa tercapai saat semua aturannya
diterapkan secara kaffah atau menyeluruh. Sehingga, hal yang paling urgen saat
ini adalah memperjuangkan agar semua aturan Islam bisa diterapkan. Semoga kita
semua termasuk orang-orang yang turut mengambil bagian dari perjuangan
tersebut. Wallahu a’lam.