Oleh : Neti Ummu Hasna
Seperti tahun lalu, untuk mencegah meluasnya wabah pemerintah kembali menetapkan larangan mudik tahun ini. Terhitung mulai tanggal 6 hingga 17 Mei larangan tersebut diberlakukan. Bahkan diperpanjang sejak 22 April. Bagi masyarakat mudik lebaran sudah menjadi tradisi tahunan yang selalu ditunggu-tunggu. Karena dengan momen ini mereka bisa bertemu dengan orang-orang dekat untuk saling bersilaturahmi. Tak ayal, banyak masyarakat yang tetap melakukan mudik entah itu dilakukan jauh-jauh hari atau bahkan ada yang terpaksa melanggar waktu larangan mudik.
Sejak awal penanganan pandemi, pemerintah memang cenderung lebih mengedepankan keselamatan ekonomi dibandingkan dengan keselamatan nyawa rakyat. Banyak kebijakan yang saling bertolak belakang dan memunculkan ketidakadilan bagi rakyat kecil. Seperti saat ini di tengah kebijakan larangan mudik, saat yang sama pula pemerintah mengijinkan tempat-tempat wisata dibuka, bahkan TKA Cina dan warga India yang sedang meningkat angka covidnya bisa masuk. Hal inilah yang menyebabkan turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sehingga fenomena masyarakat tetap ngotot melakukan mudik meski dilarang, terjadi.
Di tengah larangan mudik pula, Menkeu Sri Mulyani menghimbau agar masyarakat tetap menyambut lebaran dengan kegiatan belanja seperti membeli baju baru. Tujuannya agar kegiatan ekonomi tetap berjalan. Hal inilah yang memicu pusat-pusat perbelanjaan ramai sesak diserbu masyarakat untuk berbelanja, bahkan tanpa memperhatikan protokol kesehatan lagi.
Fenomena pasar grosir Tanah Abang di Jakarta pun kini tengah menjadi sorotan. Ratusan ribu orang memadati pasar dengan mengabaikan protokol kesehatan. Blok A saja yang berkapasitas 30-an ribu orang dipadati 100 ribuan. Nampaklah lautan manusia yang berdesak-desakan dan bahkan banyak yang tidak memakai masker. Sungguh mengerikan.
Potensi munculnya klaster pasar yang merembet pada klaster keluarga pun benar-benar di depan mata. Padahal, kasus Covid-19 beserta dengan angka kematiannya secara agregat mulai menurun stabil, walau masih ada beberapa daerah yang angkanya naik-turun. Tidak heran jika banyak pengamat mengatakan bahwa klaster Tanah Abang dikhawatirkan memicu terjadinya second wave Covid-19 di Indonesia.
Jika demikian, kapankah pandemi ini akan segera berakhir? Akankah terus membayang-bayangi kehidupan kita ke depannya. Tentu tidak ada yang berharap demikian. Maka perlu adanya evaluasi atas semua kebijakan yang ditetapkan pemerintah selama ini. Pemerintah tidak bisa hanya menekan masyarakat untuk taat terhadap protokol kesehatan sementara banyak kebijakan-kebijakan yang paradoks terhadap upaya pencegahan penyebaran wabah. Perlu kerjasama antara masyarakat dan pemerintah yang solid agar pandemi ini bisa segera berakhir. Pemerintah harus menetapkan kebijakan-kebijakan yang selaras yang tidak bertolak belakang sehingga bisa menumbuhkan kepercayaan masyarakat untuk mau taat terhadap upaya pencegahan penyebaran wabah.
Kita juga bisa berkaca dari bagaimana sistem Islam mampu menyelesaikan persoalan pandemi. Dalam menghadapi pandemi para pemimpin Islam akan melakukan tanggungjawabnya sebagai pengurus rakyat dengan penuh amanah. Sikap ini lahir dari keimanan bahwa kepemimpinan kelak akan dimintai pertanggungjawab di hari akhir. Sehingga keselamatan rakyat pada saat pandemi menjadi hal yang utama bagi seorang pemimpin Islam. Kebijakan-kebijakan yang lahir semua berkorelasi terhadap upaya penyelesaian pandemi dan terintegrasi. Mulai dari dilakukannya karantina sejak awal pandemi terhadap masyarakat yang terjangkit penyakit, pengobatan yang terbaik hingga jaminan pemenuhan kebutuhan masyarakat tanpa memperhitungkan unsur untung rugi seperti dalam sistem kapitalisme saat ini.
Memang sistem kapitalismelah yang menjadi penyebab lahirnya penguasa-penguasa yang tidak amanah saat ini. Mereka yang hanya memikirkan untung dan rugi ketika mengurusi rakyat. Oleh karena itu sudah saatnya kita mencampakkan sistem ini dan mengambil sistem Islam yang terbukti mampu menyelesaikan segala persolan yang dihadapi manusia. Wallahu a'lam bish-showwab