Oleh:
Nurlinda/ Pemerhati Sosial
Baru-baru
ini da seseorang Kiai, dengan mengatakan bahwa perempuan haid di perbolehkan
berpuasa. Tulisan tersebut berada di situs mubadalah.id dan sudah di lihat 1,6
ribu kali.
Dengan
adanya tulisan ini langsung kaum muslim mencercanya. Sehingga kiai tersebut
lansung mengaku sudah menghapus unggahannya di akun pribadinya.
Alasannya
menggunakan dalil wanita haid boleh berpuasa. Karena menurutnya Al Qur’an tidak
menjelaskannya (tidak ada dalil Al Qur’an). Ini adalah suatu tindakan yang
sembrono. Karena sumber dalil bukan hanya pada al Qur’an saja akan tetapi hadis
juga di jadikan sebagai rujukan. Dimana kedudukan Al hadis terhadap Al Qur’an
untuk melengkapi hukum yang tidak di dijelaskan oleh al Qur’an.
Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Sayyid Abdul Majid Al Ghory dalam kitabnya yang berjudul
Al madkhol ila dirasati as Sunnah an Nabawiyah. Yang diriwayatkan oleh Aisyah
Ra:
“Kami
pernah kedatangan hal itu (haid), maka kami diperintahkan meng-qada puasa dan
tidak diperintahkan meg-qada salat.” (HR Muslim).
Kemudian
hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Nabi Muhammad SAWdalam bentuk
dialog, beliau bersabda:
“Bukankah
wanita itu jika sedang haid, tidak salat dan tidak berpuasa?” Mereka menjawab,
Ya.” (HR Bukhari).
Dengan
adanya hadis tersebut itu menunjukkan bahwa dari zaman Rasulullah Saw sudah
diketahui bahwa perempuan haid tidak berpuasa dan tidak shalat. Dalam konteks
larangan wanita haid berpuasa di jelaskan oleh riwayat Aisya ra.
Munculnya
pandangan yang nyeleneh ini akibat dari abainya negara dalam melindungi syariah
islam. Seharusnya dalam hal ini negara
lah yang berperang dalam melindungi akidah dan syariah Islam. Namun dalam hal
ini negara tidak menggunakan perangnya tersebut. Malahan peran ini tunduk
dengan ide kebebasan beragama. Sehingga
negara tidak ikut campur dalam menjaga urusan yang berkaitan dengan agama.
Penjagaan Ajaran Islam itu diserahkan kepada kaum muslim itu sebdiri.
Peran
negara tunduk di bawah slogan kebebasan berpendapat. Sebuah kebebasan yang
menjanjikan setiap indivindu-individu. Yang mampu membuat mereka tidak taat
pada syariah. Akhirnya pendapat yang sudah jelas dilarang syariat bisa lolos
begitu saja. Faktor ini lah yang menyebabkan penyesatan agama timbul tenggelam
dengan kasus yang berbeda-beda. Ditambaha lagi dengan sistem sanksi yang tidak
tegas. Sehingga membuat mereka tidak jera dan terus berinovasi.
Beginilah
jika umat Islam tinggal dalam sistem hasil kesepakatan manusia yang disebut
dengan demokrasi. Benar salah, halal haram, terpuni dan tercela berasal dari suara
payung hitam. Begitu juga dengan sistem
hukumnya yang sama sekali tidak memberikan ruang dalam penerapan sansi Islam
kepada para pelaku pelecahal. Hanya dengan menggunakan sanksi di balik jeruji
atau sanksi lainnya yang tidak tegas. Oleh karena itu liberalisasi syariah semakin
tidak karuang, dan pandangan yang mampu menyesatkan umat semakin meraja Lela.
Kondisi
ini akan berbeda jika sistem Islam yang diterapkan dalam bermasyarakat. Karena
hanya dengan sistem sanksi Islam yang memiliki ciri khas yang tidak dikenal
dalam sistem sanksi manapun. Sanksi dalam Islam itu adalah sebagai pencegah,
agar para pelaku tidak melakukan perbuatan yang sama. Dan sebagai penebus dosa
pelaku agar para pelaku tidak mendapatkan lagi sanksi di akhirat.
Seperti
sabda Nabi dari Ubadah bin:
“Siapa
diantara kalian yang memenuhinya maka pahalanya di sisi Allah, siapa yang
melanggarnya lalu diberi sanksi maka itu sebagai penebus dosa baginya. Siapa
yang melanggarnya namun (kesalahan itu) ditutupi oleh Allah, jika Allah
menghendaki, dia akan mengampuninya, jika ia menghendaki. Dia akan mengazabnya.
(HR Bukhari). Semua tindakan kriminalitas akan dipastikan akan mendapatkan
kedua sanksi tersebut.
Kriminal
dalam Islam dalam semua tindakan yang melanggar syariat. Maka kasus pandangan
yang nyeleneh di kategorikan melecehkan ajaran Islam. Sanksi yang akan diterima
oleh palaku adalah hukuman ta’zir. Dimana ta’zir adalah sanksi atas kemaksiatan
yang di dalamnya tidak had dan kafarah.
Sehingga
tidak ada lagi kemaksiatan yang terulang dilakukan oleh umat. Namun yang bisa menerapkan sanksi tersebut bisa di
tetap akan dengan adanya negara islam. Karena hanya negara yang mampu
menjalankan sanksi-sanksi tersebut. Allahu
alam bissawab.