Oleh: Faizah Khoirunnisa' Azzahro, S.Sn
Selama beberapa hari masyarakat Indonesia dilanda kecemasan nasional menanti kabar perihal nasib kapal selam KRI Nanggala 402 yang hilang kontak sejak Rabu, 21 April 2021, dini hari di laut utara Bali. Rencana awal, kapal selam tersebut hendak melakukan latihan penembakan torpedo di bawah permukaan laut.
Selama menanti kabar yang pasti, sosial media ramai oleh postingan netizen yang berharap dan mendoakan keselamatan 53 awak kapal yang berada dalam kapal selam tersebut. Namun, Allah berkehendak lain, karena pada 24 April 2021, TNI AL telah secara resmi menyatakan bahwa KRI Nanggala 402 berstatus subsunk alias tenggelam dan menewaskan 53 kru-nya. Indikasi kapal telah tenggelam berdasarkan temuan beberapa benda seperti pelumas periskop dan alat sholat. (www.fokus.tempo.co, 25/4/2021).
Status tenggelamnya KRI Nanggal 402 makin diperkuat dengan gambar yang diambil dari bawah laut menggunakan alat bantuan dari Singapura yang memperlihatkan kondisi kapal selam yang telah terpecah menjadi tiga bagian di kedalaman 838 meter di bawah permukaan laut.
Atas tragedi ini, masyarakat mengharapkan agar pemerintah segera melakukan investigasi penyebab pasti tenggelamnya kapal selam yang telah 40 tahun beroperasi tersebut. Mengingat usia kapal selam yang cukup tua, Co-founder Institute for Security and Strategi Studies (ISSES), Khairul Fahmi, melihat tragedi ini harus menjadi momen evaluasi akan pentingnya peremajaan dan modernisasi alutista RI.
Anggaran Terbatas, Kedaulatan Jadi Rentan
Kedaulatan negara merupakan hal yang penting untuk dijaga sehingga perlengkapan alutista yang memadai merupakan keharusan. Idealnya, pemerintah harus menyediakan anggaran yang cukup untuk meremajakan dan me-modernisasi alutista. Alangkah sangat berisiko, jika sistem pertahanan beserta perlengkapannya dibiarkan apa adanya, usang, dan memakai teknologi jadul. Dengan kondisi seperti ini, tak hanya nyawa, kedaulatan negara-pun dipertaruhkan.
Hal yang sama juga dikhawatirkan oleh mantan Danjen Kopassus yang mengatakan bahwa investasi di bidang pertahanan sangat mahal dan dilematis antara mengutamakan pembangunan kesejahteraan atau memilih tetap menjaga kemampuan pertahanan demi menjaga kedaulatan negara.
Anggaran ngepas dan terbatas merupakan hal yang wajar terjadi di negara yang mengadopsi kapitalisme. Sistem ini meniscayakan hitung-hitungan untung rugi dalam urusan mengatur negara. Tentu untung bagi kapitalis, dan rugi bagi pihak lainnya, termasuk rakyat. Kalaupun tersedia anggaran yang memadai, seringkali terjadi kebocoran dana disana-sini yang disebabkan oleh korupsi tersistematis. Dari atas cair sekian, turun ke bawah tinggal sekian, akibat kena pangkas pejabat amoral.
Di bawah rezim hari ini, dimana anggaran negara banyak terserap untuk infrastruktur dan investasi, sistem pertahanan tak jadi prioritas utama. Tak heran, dana untuk meng-upgrade alutista dibiarkan minimalis.
Bukan hanya faktor terbatasnya anggaran, dugaan keberadaan mafia bisnis alutista militer "Mister M" yang diungkap oleh pengamat militer, Connie Rahakundini Bakri, bisa jadi menjadi penyebab sulitnya proses modernisasi perlengkapan militer. Menurut Dave, anggota komisi I DPR RI, jika benar ada mafia alutista dan segera terkuak serta dibekuk pelakunya, maka modernisasi alutista Indonesia sangat mungkin dan lebih mudah untuk dilakukan. (www.cnnindonesia.com, 27/4/2021)
Selain faktor anggaran modernisasi alutista yang terbatas, muncul dugaan lain yang patut menjadi perhatian dan kewaspadaan. Pemerhati kemaritiman menduga tenggelamnya kapal selam Nanggala diakibatkan serangan torpedo bawah laut, bersamaan dengan Prancis yang baru saja melakukan misi bawah laut rahasia melintasi perairan Indonesia. Analisa yang berbeda, mengaitkan musibah ini dengan serentetan penemuan drone laut milik Cina di beberapa pantai di Indonesia. Jika dugaan ini benar, kedaulatan Indonesia benar-benar dalam ancaman.
Melihat buruknya riayah penguasa negeri ini, tragedi KRI Nanggala 402, tentu bukan murni musibah, melainkan ada peran kelalaian penguasa dalam memfasilitasi alutista armada laut Indonesia. Kedzaliman penguasa tak hanya telah mengorbankan patriot terbaik bangsa, namun juga membuat kedaulatan laut negeri ini jadi lemah.
Sungguh ironis, Indonesia yang dikenal sebagai negara maritim, tapi sistem pertahanan di lautnya tidak dilengkapi dengan alutista canggih dan memadai. Padahal lautan Indonesia yang sedemikian luas menyimpan kekayaan tak terhingga, yang sudah tentu mengundang syahwat negara penjajah untuk mengeruknya. Jika penjagaan di laut lemah, penjajah akan dengan mudah menjebol pertahanan laut Indonesia.
Kacaunya pengelolaan negara yang menyebabkan lemahnya sistem pertahanan, membuat Indonesia mudah diremehkan musuh dan negeri ini jadi ajang rebutan kepentingan negara yang lebih kuat.
Dengan Islam, Kedaulatan Negara Terjaga
Islam sangat memandang penting ketahanan dan kedaulatan negara. Jaminan keamanan harus diwujudkan agar muslim bisa menjalankan ibadah dengan semestinya. Di sisi lain, negara Islam harus kuat dan berdaulat, sehingga mampu melakukan ekspansi dan futuhat untuk menyebarluaskan Islam yang penuh rahmat ke seluruh penjuru dunia.
Tak hanya di darat, kedaulatan juga harus diwujudkan di udara juga lautan. Di sepanjang sejarah peradaban Kekhilafahan Islam, pasukan muslim dikenal tangguh, taktis, dan punya strategi yang tepat. Armada laut kaum muslimin yang pertama dibentuk di masa Khalifah Utsman bin Affan, melalui jasa Mu'awiyyah.
Pasukan angkatan laut Muslim yang pertama, telah menaklukkan kota Qaisariah yang membutuhkan waktu sekitar tujuh tahun untuk menjebolkan pertahanan kota itu. Berikutnya, Tripoli yang terkenal memiliki benteng yang kuat, juga berhasil ditaklukkan.
Prestasi armada laut muslim yang luar biasa tersebut, tidak lepas dari peran negara yang menerapkan syari'at Islam di segala aspek kehidupan, tak terkecuali sektor kemiliterannya. Pemimpin kaum muslimin wajib mengatur urusan rakyatnya dengan adil dan sesuai prioritas. Sektor-sektor penting, harus mendapatkan anggaran yang cukup, dengan prosedur yang tidak berbelit-belit.
Sistem kehidupan yang mengkondisikan agar rakyat sekaligus penguasanya senantiasa taat kepada Allah, akan mencegah terjadinya korupsi anggaran dan pelanggaran syariat lainnya. Jika pelanggaran itu terjadi, sanksi hukum yang diterapkan bersifat tegas, membuat jera, dan tak pandang bulu. Siapapun bisa terjerat hukum, sekalipun seorang putera Khalifah.
Berbeda dengan negara pengadopsi kapitalisme yang seringkali terjadi defisit anggaran, negara Islam mampu menghasilkan surplus jika kekayaan alam di negeri-negeri kaum muslimin dikelola dengan tepat sesuai panduan hukum syara'. Dengan kas negara yang sehat, tak akan sulit bagi negara Khilafah dalam menyediakan dana untuk memajukan sistem pertahanan dan alutista. Dengan demikian, negara Islam menjadi kuat, berdaulat dan disegani negara lainnya.
Sebagaimana dulu peradaban Islam pernah kuat dan menjadi super power dunia, muslim di era ini bisa mewujudkan kembali peradaban tersebut jika kapitalisme sebagai sumber kerusakan dibuang jauh-jauh dan Islam diterapkan kembali secara kaffah. Wallahu'alam bish-showwab.