Oleh: Rindoe Arrayah
Mudik atau pulang kampung sudah menjadi tradisi di negeri ini puluhan tahun lamanya. Aktifitas ini dilakukan demi menjalin silatuhami di tengah-tengah keluarga yang belum tentu bisa berkumpul dan berjumpa di setiap harinya dikarenakan adanya perbedaan kesibukan masing-masing anggota keluarga. Untuk itu, momen mudik dilakukan agar antar anggota keluarga yang jarang atau bahkan belum pernah bertemu bisa menjadikan mudik sebagai sarana menjalin ikatan kekeluargaan agar erat kembali.
Kebijakan larangan mudik yang digulirkan pemerintah pada Lebaran 2021 ini dinilai berpotensi menimbulkan kecemburuan di masyarakat. Pasalnya, pemerintah melarang mudik namun memberikan kelonggaran pada sektor pariwisata dan bisnis. Tempat wisata di luar zona merah Covid-19 tetap boleh beroperasi di masa larangan mudik. Begitu pula pusat perbelanjaan seperti mal dan pasar.
"Pariwisata dibolehkan, mal dan pasar dibolehkan. Itu kan bisa membuat masyarakat merasa tidak adil. Sementara mudik menjadi kegiatan yang dianggap sebagai ritual. Bukan hanya sekadar temu kangen. Itu bagian dari ritualitas mereka (masyarakat) juga," kata Asep dikutip dari Ayobandung.com-jejaring Suara.com, Sabtu (8/5/2021).
Tradisi mudik untuk bertemu keluarga yang sudah menubuh di sebagian besar masyarakat Indonesia, ditinjau Asep dapat berdampak kepada psikis dari orang-orang yang terbiasa melaksanakan tradisi itu, terutama jika mereka melihat adanya kelonggaran di sektor pariwisata.
"Kalau misalnya dilarang, mereka pasti akan ada problem dengan itu. Ini adalah sebuah kondisi situasi yang tidak mudah. Ada perbedaan yang menimbulkan kecemburuan di dalam perlakuan pemerintah," ujar Asep.
Pakar hukum dan kebijakan publik dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf menyoroti adanya ketidakkonsistenan pada upaya pemerintah dalam menekan kenaikan kasus Covid-19 dalam momen Idul Fitri 2021. Hal itu pada gilirannya dapat menimbulkan kesan diskriminasi dan memicu kecemburuan sosial.
Inilah fakta, manakala Kapitalisme-Sekularisme dijadikan sebagai aturan dalam kehidupan. Pastinya, untung rugi yang dijadikan sebagai tolok ukur dalam menilai sesuatu. Sehingga, tidak mengherankan jika beberapa mal dan tempat-tempat wisata tetap diberi peluang untuk buka.
Kebijakan setengah hati yang dikeluarkan oleh pemerintah semakin menampakkan ke arah mana mereka berpihak, yaitu kepada para sekelompok pengusaha yang selama ini telah memberikan banyak sumbangan di balik layar. Sehingga, tidak mengherankan jika berbagai kebijakan yang dimunculkan senantiasa menjadikan rakyat sebagi korban.
Masyarakat sendiri kebanyakan telah menyadari kondisi yang teramat jauh dari kata ideal. Yang dibutuhkan saat ini adalah sosok pemimpin yang mampu mengantarkan masyarakat pada kehidupan yang lebih baik lagi.
Hanya ada satu solusi yang mampu menuntaskan segala problematika yang ada, yaitu menegakkan kembali sebuah institusi yang akan menerapkan syari’at-Nya di seluruh sudut bumi. Institusi yang dimaksud ialah Khilafah Islamiyah yang telah terbukti selama kurun waktu 14 lamanya telah berhasil mewujudkan masyarakat hidup dalam keberkahan.
Wallahu a’lam bishshowab.