Oleh : Ummu Karina
Momen lebaran adalah waktu yang tepat untuk pulang ke kampung halaman. Bertemu keluarga yang sudah lama ditinggalkan. Saat yang tepat untuk saling bersilaturahmi. Namun, semua itu tinggallah impian. Pandemi yang tak kunjung usai kembali menjadi alasan tertundanya lebaran di kampung halaman
Larangan mudik kembali diberikan. Pelarangan ini berlaku dari 6—17 Mei 2021.
Namun, tiba-tiba larangan tersebut diperluas. Tanggal pelarangan mudik dimajukan 22 April 2021. Kebijakan ini diambil untuk meminimalisir penyebaran Covid-19, juga untuk membantu kelancaran program vaksinasi. Demi mengurangi tingkat mobilitas masyarakat serta menutup kemungkinan arus mudik berjalan lebih awal, pemerintah berinisiatif mempercepat pemberlakuan larangan mudik.
Rakyat bukan karena tak setuju, tapi bingung dengan kebijakan yang ada. Rakyat bukan hanya dibuat bingung dengan rentang larangan mudik yang berubah-ubah, tetapi juga bingung terhadap tidak kompaknya kebijakan pejabat satu dengan yang lain.
Presiden melarang mudik, tetapi Wapres membolehkan, khususnya bagi santri. Gubernur Jatim pun membolehkan santri asal Jatim mudik lebaran. Para santri bisa bertemu sanak saudara hanya saat lebaran. Jadi, jika larangan mudik diberlakukan untuk semua, santri-santri tersebut tak bisa pulang kampung dan bertemu dengan keluarga.
Permintaan yang cukup mengherankan, bukan? Alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan mudik untuk menghambat penyebaran Covid-19. Jika para santri diizinkan pulang, kemudian melakukan perjalanan, apakah virus Corona akan tebang pilih? Para santri akan kebal dengan virus ini? Jika permintaan ini dipenuhi, tidak akan menutup kemungkinan akan ada permintaan dispensasi berikutnya. Pada akhirnya aturan hanya berlaku bagi rakyat jelata, bukan untuk penguasa.
Belum lagi kebijakan yang mendua. Di sisi lain mudik dilarang karena khawatir penyebaran virus. Namun di sisi lain, di tempat wisata yang sangat berpotensi terjadi perkumpulan massa, malah dibuka dan warga didorong untuk mendatanginya.
Kebijakan pemerintah ini betul-betul menyalahi pandangan para ahli epidemiologi sejak tahun lalu. Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko Wahyono menilai, seharusnya tempat wisata ditutup untuk mencegah penyebaran Covid-19. Sebab, menurut dia, jika tempat wisata tidak ditutup, masyarakat akan tetap pergi berlibur di tengah pandemi dan akan membuat lonjakan kasus Covid-19.
Dengan tetap dibukanya tempat wisata (bahkan sampai mendorong masyarakat mendatanginya), benar-benar menunjukkan pemerintah menutup mata dengan kondisi yang ada.
Sungguh miris, Pemerintah seolah lupa, esensi pelarangan mudik adalah menghindari kerumunan demi mengurangi penyebaran kasus yang rawan terjadi dalam rangkaian aktivitas mudik. Sementara, hal itu justru berpotensi terjadi bila wisata dibuka. Sungguh, kebijakan ini ibarat pembodohan terhadap masyarakat.. Rakyat seakan dijadikan pelengkap dari setiap kebijakan. Kebijakan yang tidak memihak rakyat.
Kebijakan pemimpin negara ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Umar bin Khaththab (seorang khalifah, pemimpin negara) saat terjadi wabah. Beliau dengan sigap mengambil kebijakan, seperti karantina total wilayah wabah, pemberian bantuan pangan dan obat-obatan, hingga kebijakan ekonomi di wilayah lain yang tak terdampak. Semua itu dilakukan karena Khalifah Umar memahami bahwa tugas pemimpin adalah mengurusi urusan rakyat.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Sebagaimana Khalifah Umar, seharusnya pemimpin yang baik itu memperhatikan rakyat, sehingga kebijakan yang diambil adalah untuk menyejahterakan mereka. Bukan untuk menindas, apalagi membuka pariwisata hanya untuk menaikkan ekonomi tapi abai dengan keselamatan rakyat.
Oleh karena itu, saat ini yang dibutuhkan adalah pemimpin yang memiliki iman dan taat syariat. Dengan keimanannya pemimpin tersebut hanya akan takut kepada Allah Swt., sehingga kebijakan yang diambil tidak akan mencederai rakyatnya. Sebab, pemimpin yang taat akan menyadari bahwa segala kebijakan yang diambil akan dimintai pertanggungjawaban.
Tags
Opini