Oleh : Ummu Hanif
“Wahai orang-orang yang beriman, Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. QS Al- Baqarah 2:183.
Tidak terasa, hampir satu bulan kita menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Sangat besar harapan agar Ramadan tahun ini bisa kita lewati dengan sukses, sebagaimana yang diharapkan sang pemilik aturan. Mesra dengan kesalehan, kian kukuh kesabaran, dan pada akhirnya, menjadikan kita sebagai manusia bertaqwa, dengan sebenar-benar taqwa.
Ketika kita berbicara tentang taqwa, tentu kita perlu mengacu bagaimana para ulama salaf mendefinisikan taqwa. Ibnu Qayyim pernah berkata, “Hakikat taqwa adalah menaati Allah atas dasar iman dan ihtisab (ikhlas hanya mengharap rida Allah), baik terhadap perkara yang diperintahkan atau pun perkara yang dilarang. Oleh karena itu, seseorang melakukan perintah itu karena imannya, yang diperintahkan-Nya disertai dengan pembenaran terhadap janji-janji-Nya. Dengan imannya itu pula, ia meninggalkan yang dilarang Allah dan takut terhadap ancaman-Nya.”
Ternyata meraih taqwa tak semudah yang kita kira. Tak bisa hanya sekadar dengan salat dan puasa. Karena taqwa adalah buah keimanan yang maknanya begitu dalam. Ia mewujud dalam ketaatan, mutlak pada seluruh titah Rabb-nya. Tak hanya dalam urusan ibadah, tapi di seluruh aspek kehidupan.
Kalau kita kaitkan tujuan puasa Ramadhan dan definisi taqwa sebagaimana yang dijelaskan ulama salaf, nyatanya telah berlalu Ramadan ke Ramadan. Namun tak sedikit aturan Allah yang dicampakkan. Kekufuran dan maksiat pun begitu merajalela. Bahkan sebagiannya dilegalkan oleh negara. sedangkan kita yang ingin meraih derajat taqwa nyatanya hanya bisa taat dalam sebagian syariat Allah saja. Sementara begitu banyak aturan Allah yang tak bisa diterapkan. Bahkan ada sebagian besar di antara umat ini, memilih hidup berkepribadian ganda. Ibadah iya, tapi maksiat juga.
Keadaan seperti ini terjadi sejak umat Islam hidup dalam sistem rusak sekularisme. Karena sistem ini memang menolak campur tangan agama dalam urusan-urusan kehidupan. Inilah yang menjauhkan umat dari kesempatan meraih sebenar-benar taqwa. Karena umat tercegah dari hidup dengan seluruh aturan Rabb-nya. Bahkan sekadar berwacana pun sudah dianggap durhaka pada negara. Maka taqwa akhirnya hanya ada pada tataran wacana. Lantaran sistem ini memang tak memberi ruang napas untuk taqwa, bahkan memaksa umat Islam terus bergelimang dosa.
Sungguh saat negara tak mau menerapkan aturan-aturan Islam, sementara dakwah amar makruf nahi mungkar dianggap kejahatan, akan sulit bagi umat untuk meraih ketaqwaan. Karena, sekali lagi, taqwa adalah kesiapan untuk taat pada seluruh perintah Allah, Rabb Semesta Alam.
Maka tepat kiranya jika di momentum Ramadan kali ini, kita melakukan introspeksi diri. Agar taqwa yang jadi tujuan Ramadan bisa benar-benar terealisasi. Wallahu a’lam bi ash showab.