Oleh : Zahrul Hayati
Mudik, pulang kampung adalah tradisi yang sering dilakukan masyarakat kita ketika libur lebaran hari Raya Idul Fitri. Saat hari raya idul Fitri dijadikan momen bagi para perantau untuk menengok kampung halaman, berkumpul bersama keluarga dan orang tua. Namun kebiasaan ini terkendala sejak pandemi Covid -19 melanda negeri ini.
Muslimah News.com, OPINI - Tahun lalu, tak ada perantau yang balik kampung. Bukan mereka tak mau, tapi peraturan pemerintah melarang mudik karena pandemi. Setahun berlalu, pandemi belum juga usai. Entah karena sulit diatasi atau memang kepengurusan nya yang abai.
Larangan mudik kembali di berikan. Pengumuman itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhajir Effendi yang menegaskan larangan mudik untuk mengoptimalkan program vaksinasi yang sedang berlangsung,(medcom,id,27/3/2021 ).
Sebagai mana tahun-tahun sebelumnya, kita bisa berkumpul berbahagia bersama keluarga, orang tua dan saudara, menyambung silaturahmi. Semenjak pandemi Covid -19 melanda negeri ini menjadikan kita tidak dapat beraktivitas seperti biasanya, dan juga tidak bisa kemana-mana. Dibarengi juga dengan keadaan perekonomian kita yang semakin drop.
Sungguh hanya orang-orang yang beriman yang bisa mengambil pelajaran ini. Betapa tidak berdayanya kita sebagai manusia, hanya dengan mahluk Allah yang tidak kasat mata virus Corona, manusia sedunia tak berdaya dibuat nya. Lalu apa yang patut kita banggakan kita sombong kan? Kekayaan, jabatan, atau kekuasaankah? Semuanya tak berarti apa-apa, tiada berguna, betapa lemahnya kita sebagai manusia.
Mudik dilarang membuat para perantau merasa sangat kecewa dengan adanya kebijakan ini, mereka yang rindu akan kampung halaman dan ingin berkumpul dengan sanak saudara saat libur lebaran. Mudik dilarang dengan alasan bertujuan menghambat laju penyebaran Covid-19 selama bulan suci Ramadhan 1442Hijrah. Sementara pemerintah malah membuka pariwisata untuk memperlancar pertumbuhan ekonomi negeri, dan juga pasar Tanah Abang yang membludak.
Kebijakan yang aneh.
Kebijakan yang dibuat ini memang dianggap cukup aneh. Masyarakat dilarang mudik disisi lain mendorong masyarakat untuk mengunjungi pariwisata, dengan alasan wisata berguna untuk melepaskan lelah bagi mereka yang dilarang mudik.
Dari sistem Kapitalis tak heran jika kebijakan-kebijakan yang diambil selalu didasarkan untung dan rugi. Jika kebijakan itu menguntungkan maka akan diambil, begitupun sebaliknya. Oleh sebab itu, membuka pariwisata akan di lakukan karena dinilai menguntungkan dari sisi menambah pertumbuhan ekonomi. Bukankah kebijakan diperbolehkannya berwisata dan belanja sama-sama kontra produktif terhadap penyebaran virus? Lihatlah kerumunan yang terjadi dipasar Tanah Abang dan sejumlah tempat pariwisata, sungguh sangatlah memperihatinkan. Dibeberapa kebijakan seolah berpihak kepada rakyat, tetapi di kebijakan yang lain malah mengorbankan rakyat banyak.
Mirisnya negeriku
yang mengadopsi sistem Kapitalis Sekuler.
Islam Mengutamakan Rakyat.
Kebijakan yang memihak rakyat hanya terlihat pada Islam selama 13 abad Islam memimpin dunia dibawah naungan Khilafah. Dengan aturan Islam yang diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, hidup rakyat sangat sejahtera. Tak peduli apakah mereka beragama Islam atau bukan.
Seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab saat terjadi wabah. Beliau dengan sigap mengambil kebijakan, seperti karantina total wilayah wabah, pemberian bantuan pangan dan obat-obatan, hingga kebijakan ekonomi di wilayah lain yang tidak terdampak. Semua itu dilakukan karena Khalifah Umar memahami bahwasanya tugas pemimpin adalah mengurusi urusan rakyatnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
"Imam ( Khalifah adalah raa'in ( pengurus ) dan ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya". (HR al-Bukhari)
Sebagaimana Khalifah Umar, seharusnya pemimpin yang baik itu memperhatikan rakyatnya, sehingga kebijakan yang dibuat adalah untuk mensejahterakan mereka. Bukan untuk menindas, apalagi membuka pariwisata hanya untuk menaikkan perekonomian tapi abai dengan keselamatan rakyatnya.
Oleh karena itu, saat ini yang dibutuhkan adalah pemimpin yang memiliki iman dan taat syari'ah. Dengan keimanannya pemimpin tersebut hanya akan takut kepada Allah SWT, apapun kebijakan yang akan dibuat selamanya tidak akan menzalimi rakyatnya. Sebab pemimpin yang taat akan menyadari bahwa segala kebijakan yang dibuat akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat.
Wallahu a'lam bis showaab.
Tags
Opini