Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Tanggal 6 mei telah datang. Tanggal yang menjadi angka keramat bagi para perantau yang hendak pulang ke kampung halaman. Tahun ini, pemerintah resmi melarang mudik Lebaran 2021 untuk mencegah meningkatnya virus corona Covid-19 di masyarakat. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah selama 6-17 Mei 2021.
Sebelumnya, pemerintah juga menerbitkan addendum yang mengatur aturan perjalanan yang dimulai 22 April lalu, sampai 24 Mei 2021. Melansir Kompas.com, Rabu (5/5/2021), ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo, menegaskan bahwa mudik lokal juga dilarang. "Jangan dibiarkan terjadi mudik lokal, kalau terjadi mudik lokal artinya ada silaturahmi, ada salam-salaman, ada cipika-cipiki, artinya apa? Bisa terjadi proses penularan satu sama lainnya," kata Doni melalui siaran kanal YouTube Pusdalops BNPB, Minggu (2/5/2021).
Kalau kita perhatikan di akar rumput, larangan mudik sukses membuat rakyat gigit jari. Bukan karena tak setuju, tapi bingung dengan kebijakan yang ada. Pasalnya, pariwisata saat ini nyatanya telah dibuka. Jika larangan mudik bertujuan menghambat laju penularan Covid-19, bukankah pariwisata juga bisa menimbulkan dampak yang sama? Tapi mengapa justru dibuka meski ada alasan untuk memperlancar pertumbuhan ekonomi negara? Bagi rakyat kecil, sangat membingungkankarena ada dua kebijakan yang saling kontradiksi.
Seorang pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, memberikan kritikan atas kebijakan ini. Menurutnya, dua kebijakan yang saling berlawanan ini justru akan meningkatkan penularan Covid-19. Seharusnya, ada upaya tegas 100 persen menanggulangi Covid-19.
Pernyataan yang sama juga dikeluarkan Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul. Ia merasa tidak heran dengan kebijakan ini. Adanya ketaksinkronan dalam pengambilan keputusan memperlihatkan kegagapan dalam menangani pandemi. (gelora.co, 27/3/21)
Masalah seperti ini memang sering terjadi. Tak heran jika masalah pandemi susah diatasi. Standar pengambilan keputusan antara satu masalah dengan yang lainnya berbeda. Dalam bidang kesehatan, alasan kesehatan masyarakat menjadi prioritas utama. Namun, kebijakan ini tak bersinergi dengan kebijakan bidang ekonominya. Adanya target pertumbuhan, membuat pemerintah mengambil kebijakan membuka pariwisata. Tentu, akhirnya nasib rakyat yang dikorbankan. Rakyat seakan dijadikan pelengkap dari setiap kebijakan.
Kebijakan yang memihak rakyat hanya terlihat pada Islam selama 13 abad Islam memimpin dunia di bawah naungan Khilafah. Sebut saja di masa Umar bin Khaththab. Saat terjadi wabah, beliau dengan sigap mengambil kebijakan, seperti karantina total wilayah wabah, pemberian bantuan pangan dan obat-obatan. Adapun daerah lain yang tidak terkena wabah, tetap dilakukan aktivitas seperti biasa, tanpa sedikitpun pun mengganggu aktivitasnya, termasuk kegiatan ekonominya. Sehinggah pandemi bisa segera teratasi, dan kehidupan segera pulih kembali. Semua itu dilakukan karena Khalifah Umar karena memahami, bahwa tugas pemimpin adalah mengurusi urusan rakyatnya.
Sebagaimana Khalifah Umar, seharusnya pemimpin yang baik itu memperhatikan rakyat, sehingga kebijakan yang diambil adalah untuk menyejahterakan mereka. Oleh karena itu, saat ini yang dibutuhkan adalah pemimpin yang memiliki iman dan taat syariat. Dengan keimanannya pemimpin tersebut hanya akan takut kepada Allah Swt., sehingga kebijakan yang diambil tidak akan mencederai rakyatnya. Sebab, pemimpin yang taat akan menyadari bahwa segala kebijakan yang diambil akan dimintai pertanggungjawaban. Selain itu, pemimpinnya harus taat syari’at, karena dengan itu Allah akan turunkan berkahnya, dari langit dan bumi.
Wallahu a’lam bi ash showab.