Penulis : Dwi Susanti (Praktisi Pendidikan)
Korupsi dan demokrasi sepertinya memang sesuatu yang tidak bisa dilepaskan. Karena itu tidak heran di setiap negara yang menerapkan sistem demokrasi, maka pasti ditemukan kasus korupsi. Contohnya apa yang terjadi di negeri kita tercinta ini. Wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK ) Nurul Ghufron saat menjadi pembicara dalam acara Anti-Corruption Summit (ACS) ke-4 Tahun 2020 membeberkan tujuh fenomena tindak pidana korupsi yang ditangani lembaganya selama 2020. Diantaranya kejahatan tindak pidana korupsi hampir merata dari Sabang sampai Merauke, tidak membedakan partai, suku bangsa,dan agama. Pelakunya relatif sama yaitu unsur swasta, kepala daerah, anggota dewan, dan pejabat pusat maupun daerah. Locus yang terjadi hampir sama yaitu suap dalam pengadaan barang dan jasa, perizinan dan SDM. Pendidikan pelaku rata-rata Sarjana. (antaranews.com Rabu,18 November 2020).
Yang terbaru Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Menpan RB) Tjahyo Kumolo tidak menampik masih mendapati PNS atau ASN yang masih korupsi. Tjahyo menyebut setiap bulan Kemenpan RB memecat tidak hormat para PNS korup. Ini semakin menguatkan bahwa korupsi telah menjadi virus yang bersifat sistemik yang menyerang di segala pilar demokrasi. Lalu apa penyebab korupsi ini makin marak dan menggurita di negeri ini? Apa solusi terbaik untuk menghentikan korupsi?
*Pangkal Dorongan Korupsi*
Setiap manusia Allah bekali dengan naluri mempertahankan diri / naluri hidup. Naluri ini salah satu manifestasinya adalah manusia suka berkepemilikan terhadap sesuatu misal harta/uang, barang-barang mewah, juga suka terhadap jabatan. Ketika naluri ini muncul maka perlu dipenuhi agar tidak menimbulkan rasa gelisah.
Keinginan untuk memiliki jabatan dan harta inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai upaya untuk merealisasikannya.
Apalagi sistem hidup yang diterapkan adalah demokrasi kapitalis sekuler. Dimana kebahagiaan hidup maupun kesuksesan seseorang diukur dari hal-hal yang bersifat materi atau fisik. Maka keinginan untuk menjabat semakin terdorong kuat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya politik di negeri ini sangat mahal. Ada yang mengatakan bahwa untuk menjabat sebagai bupati diperlukan modal sekitar 30-50 miliar rupiah. Tentu semakin tinggi jabatan modal yang dibutuhkan juga semakin besar. Padahal gaji setingkat bupati sekitar 200 juta per bulan. Jika dibandingkan dengan modalnya tentu rugi bandar. Maka hampir semua kepala daerah berpotensi melakukan korupsi. Karena mereka memiliki kesempatan yang terbuka lebar untuk melakukan korupsi jika mereka mau.
Atau terkadang seseorang yang ingin menjabat dia tidak memiliki modal yang cukup untuk membiayai pemilu. Karena untuk memenangkan pemilu dia butuh dikenal oleh publik sehingga dia harus berkampanye. Sehingga dia butuh modal yang sangat besar untuk menyediakan media kampanye bahkan membayar jurkam. Akhirnya ada orang lain yang memodali dia yang biasanya para pengusaha. Tentunya semua bantuan itu tidak gratis tetapi harus ada deal-deal politik yang disepakati. Misalnya mengembalikan modal dengan tambahan tertentu atau membuat kebijakan yang menguntungkan pengusaha tersebut saat berhasil menjabat nanti.
Nah akhirnya para pejabat baik yang ada di yudikatif, legislatif maupun eksekutif tadi terdorong untuk melakukan korupsi. Artinya dalam diri manusia sudah ada potensi berkuasa, ditambah lagi sistem yang ada semakin mendorong seseorang untuk melakukan apa saja untuk dapat berkuasa salah satunya dengan korupsi agar kekuasaannya tetap langgeng.
Apalagi hukuman para koruptor tidak sampai pada hukuman mati. Bahkan seperti pidana lain para pesakitan korupsi ini berhak mendapatkan pengurangan masa tahanan dari presiden jika berkelakuan baik. Tentu kita masih ingat bagaimana koruptor pengemplang pajak Gayus Tambunan yang saat itu berstatus sebagai tahanan bisa pergi ke Bali menonton pertandingan tenis, bahkan ke Macau , Malaysia dan Singapura.( Liputan 6.com 19 januari 2018)
Atau Artalita suryani terpidana korupsi BLBI
yang beritakan sejumlah media memiliki penjara mewah, dan lain-lain Tentunya hukuman yang semacam ini membuat para pelaku korupsi tidak jera untuk mengulangi lagi dan ditiru orang lain.
*Pandangan Islam tentang Korupsi*
Dalam Islam setiap pelanggaran hukum syariat adalah kejahatan. Termasuk dalam hal ini adalah korupsi. Islam menetapkan sanksi uqubat terhadap setiap pelanggaran hukum syariat ini. Sanksi ini berupa hudud misal potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina yang sudah menikah; qishas bagi pembunuh maupun takzir oleh Khalifah.
Takzir ini adalah hukuman yang ditentukan oleh khalifah sesuai dengan besar kecilnya kejahatan yang dilakukan. Bisa jadi hanya dikurung di penjara, dicambuk, didenda sejumlah uang bahkan dihukum mati. Untuk korupsi maka harta yang diambil harus dikembalikan kepada yang berhak. Dan pelakunya dikenai takzir sesuai kehendak Khalifah.
*Cara Khilafah menghentikan Korupsi*
Negeri kita tercinta telah berkali-kali ganti pemimpin, ganti menteri, ganti DPR MPR tapi kasus korupsi tetap tiada henti. Untuk itu tidak cukup hanya ganti rezim saja tapi juga harus ganti sistem.
Satu-satunya sistem alternatif yang telah terbukti berjaya selama 13 abad memimpin dunia yaitu Khilafah Islam.
Khilafah Islam adalah negara yang berlandaskan akidah Islam dan menerapkan syariat Islam kaffah dalam seluruh asepek kehidupan. Isalm mampu menghentikan terjadinya korupsi ini dengan dua hal :
1. Dari sisi orangnya
Islam mensyaratkan 7 hal yang harus ada pada seseorang yang ingin menjadi pemimpin diantaranya muslim, laki-laki, berakal, baligh, merdeka, adil dan kafaah( mampu memimpin). Adil disini adalah lawan dari dzalim. Sifat ini lahir dari keimanan kepada Allah SWT yang kuat. Maka dia akan meyakini wajibnya taat terhadap perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya.
Standar kebahagiaan bagi seorang muslim adalah menggapai ridho Allah semata. Sehingga keinginannya untuk menjabat motivasinya adalah untuk beribadah kepada Allah SWT bukan untuk mendapatklan harta. Apalagi penguasa dalam Islam tidak akan digaji tetapi hanya akan diberikan santunan sesuai dengan kebutuhannya.
2. Dari sisi sistemnya
Prinsip dasar negara Khilafah Islam adalah kekuasaan ada di tangan umat dan kedaulatan ada di tanagn syara’. Maka dalam Khilafah hak untuk membuat hukum hanya ada pada Allah SWT. Sedangkan yang berhak melegislasi hukum berdasarkan hukum syariat adalah khalifah/ kepala negara Islam.
Dalam memilih kepala negara boleh dengan pemilu, itupun hanya sekali untuk memilih Khalifah saja. Setelah Khalifah terpilih maka struktur dibawahnya dipilih oleh Khalifah langsung. Masa jabatan Khalifah tetap ada selama 7 syarat diatas masih melekat padanya. Namun jika satu saja dari 7 syarat tadi hilang maka jabatan Khilafah pun berakhir.
Para pejabat yang akan dipilih akan diterapkan kepadanya perhitungan harta saat akan menjabat dan setelah dia selesai menjabat. Ketika selesai menjabat terdapat peningkatan harta yang tidak wajar maka negara akan mengambilnya dan memasukkan ke dalam baitul mal. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah umar bin khattab kepada para gubernur beliau.
Para pejabat / pegawai negara selain penguasa akan diberikan gaji dan fasilitas yang memadai. Sehingga mereka dapat melaksanakan tugasnya dalam mengurusibrakyat secara maksimal. Mereka juga tidak akan tergoda untuk berkorupsi karena semua kebutuhan hidupnya telah tercukupi secara layak.
Nah demikianlah cara Khilafah menghenntikan korupsi yang ada pada para penguasa. Ketakwaan individu yang tinggi, kontrol sosial masyarakat yang baik juga aturan tegas dari negara membuat sistem ini makin kokoh. Untuk itu jika kita ingin korupsi di negeri ini berhenti satu-satunya cara hanya dengan menerapkan syariah Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Allahu a’lamu bisshawab